Minggu, 18 Maret 2012

SAJAH DAN MALIK BIN NUWAIRAH


SAJAH DAN MALIK BIN NUWAIRAH
dari pemuka-pemuka mereka kemudian datang ke Medinah dan masuk
ke dalam mesjid dengan memanggil-manggil Nabi dari luar biliknya.
Mereka meminta para tawanan itu dikembalikan dan menyebutkan juga
peristiwa mereka dengan Nabi di Hunain dulu serta kabilah mereka yang
terpandang di kalangan orang-orang Arab. Tiba waktu salat Nabi keluar
menemui mereka. Mereka mengatakan bahwa kedatangan mereka itu
hendak berlomba dengan Nabi. Tetapi setelah ternyata bahwa ahli pidato
Nabi lebih unggul ahli pidato mereka, penyairnya lebih unggul dari penyair
mereka dan suaranya lebih nyaring dari suara mereka, mereka
masuk Islam. Semua tawanan oleh Nabi dibebaskan dan dikembalikan
kepada kaumnya. Peristiwa ini membuat mereka sangat gembira.
Ketika Rasulullah wafat ada beberapa orang wakil Nabi di Banu
Tamim, di antaranya Malik bin Nuwairah yang memimpin Banu Yarbu'.
Para wakil itu berselisih pendapat mengenai apa yang harus diperbuat
setelah mereka mendapat berita bahwa Nabi telah wafat: akan menunaikan
zakat itu kepada Abu Bakr, ataukah akan membagi-bagikannya di
antara sesama mereka. Persaingan mereka ini tampak jelas sekali dalam
perselisihan itu. Bahkan persaingan ini mengakibatkan terjadinya saling
bunuh di antara mereka. Yang sebagian mengakui kekuasaan Medinah,
dan yang sebagian lagi menentang.
Malik bin Nuwairah termasuk orang yang membagikan zakat itu
dan ia menganggap Abu Bakr tidak berhak memungutnya. Dengan begitu
berarti ia sudah membuat permusuhan dengan Muslimin dan patut
diperangi.
Kedatangan Sajah kepada Tamim
Sementara mereka sedang berselisih tiba-tiba datang Sajah bint Haris
dari barat laut Mesopotamia di Irak bersama-sama sekelompok orang
Taglib dengan membawa pasukan tentara dari kabilah Rabi'ah, Nimr,
Iyad dan Syaiban. Sajah ini dari kelompok Yarbu' yang masih termasuk
Banu Tamim. Orang-orang Taglib di Irak masih pernah paman dari pihak
ibu. Ia kawin dengan kalangan mereka dan tinggal di tengah-tengah
mereka pula, dan menganut agama Nasrani bersama beberapa orang di
antara mereka. Seperti juga orang-orang Yahudi dan Nasrani, ia menaruh
dendam kepada Muhammad dan kepada pengikutnya, sama halnya
dengan pihak Persia dan Rumawi. Dia memang perempuan cerdas,
menempatkan diri sebagai dukun dan tahu bagaimana memimpin kaum
laki-laki. Setelah ia mendengar Muhammad sudah wafat, ia mendatangi
golongannya dan kabilah-kabilah di sekitarnya dengan tujuan hendak rnengerahkan
mereka menyerbu Medinah dan memerangi Abu Bakr.
Sebab kedatangan Sajah dari utara Irak
Beberapa sejarawan berpendapat — adakalanya benar juga pendapat
mereka — bahwa kedatangan Sajah dari Irak utara ke Semenanjurig
Arab yang diikuti oleh orang-orangnya dan kabilah-kabilah sekitarnya,
bukan karena kedukunannya atau karena ambisi pribadi, tetapi karena
dorongan pihak Persia dan pejabat-pejabatnya di Irak, supaya pemberontakan
di Semenanjung itu makin berkobar. Maksudnya untuk mengembalikan
kekuasaan Persia di beberapa terapat yang sudah mulai
menurun setelah Muhammad menempatkan Bazan sebagai wakilnya di
Yaman, dan yang sebelum itu sebagai penguasa Kisra.
Adakalanya yang juga dibenarkan ialah sumber para sejarawan yang
berpendapat bahwa Sajah adalah satu-satunya perempuan yang mendakwakan
diri nabi, sedang biasanya, pada setiap zaman perempuanperempuan
semacam itu digunakan sebagai mata-mata dan alat propaganda.
Jadi kehadirannya di tanah Arab itu hanya untuk menyebarkan
propaganda pembangkangan, kemudian kembali ke Irak dan tinggal menetap
di sana. Tidak heran bila Persia memperalatnya untuk menimbulkan pemberontakan
di tanah Arab. Sebelum itu Persia memandang kawasan itu
ringan, tak perlu diperangi dengan pasukan bersenjata, walaupun harus
dikembalikan kepada keadaan semula yang terisolasi, sebelum kekuasaan
Muhammad dan sebelum Islam berkembang di sana. Tak ada yang lebih
tepat untuk mencapai tujuan itu selain harus mengikis habis agama baru
ini, yang telah membuat penduduk tahu harga diri, kendati pihak Persia
tidak menghargainya.
Sikap Banu Tamim terhadap Islam setelah kedatangan Sajah
Sajah datang ke Semenanjung ini karena terpengaruh oleh keadaan
itu. Wajar saja bila yang menjadi tujuannya yang utama kedatangannya
ke daerah itu ialah kaumnya sendiri, yakni Banu Tamim. Kedatangannya
ini sangat mengejutkan mereka, yang saat itu sedang berselisih
antara sesama mereka: satu kelompok berpendapat zakat harus ditunaikan
dan taat kepada Khalifah Rasulullah, yang sekelompok lagi
berpendapat sebaliknya, dan ada pula kelompok-kelompok yang dalam
kebingungan. Akibat perselisihan itu kemudian timbul perkelahian antara
sesama mereka, kadang keras dan kadang lunak.
Suku Banu Tamim yang melihat kedatangan Sajah ini dan mengetahui
maksudnya hendak memerangi Abu Bakr, permusuhan antara
kaum murtad dengan Islam makin marak. Mereka yang masih bertahan
dalam Islam merasa lebih menderita dari sebelumnya. Sekarang dia
dengan pasukannya yang besar gegap gempita dibandingkan dengan kelompok-
kelompok mereka yang saling berselisih. Mereka merasa dikejutkan
dengan kedatangannya yang tiba-tiba sekali itu dan mengumumkan
kepada mereka kenabiannya dan mengajak mereka beriman
kepadanya. Tentang perempuan ini, adakah mereka juga akan berkata
seperti yang dikatakan Uyainah bin Hisn tentang Tulaihah?: "Seorang
nabi perempuan dari Banu Yarbu' lebih baik daripada nabi dari Kuraisy.
Muhammad sudah mati, tetapi Sajah masih hidup," yang dengan begitu
mereka akan menjadi pengikut perempuan itu dan bersama-sama memerangi
Abu Bakr dan kaum Muslimin, — ataukah biarkan saja dia sendiri
memerangi Abu Bakr? Mungkin dia akan hancur dan kerusuhan dapat
dibasmi, atau dia yang akan menang yang juga kemenangan mereka,
sebab mereka masih termasuk keluarga dekatnya. Kemenangan dan kenabiannya
itu akan menjadi kebanggaan mereka juga.
Sajah dan Malik bin Nuwairah
Sajah sekarang memimpin pasukannya di perbatasan Banu Yarbu'.
Pemimpin kabilah itu, Malik bin Nuwairah, dipanggilnya dan diajaknya
berkompromi. Diberitahukannya juga maksudnya hendak menyerbu Medinah.
Ajakan berkompromi itu oleh Malik disambut tetapi dimintanya
agar ia membatalkan niatnya hendak menyerang Abu Bakr dan diajaknya
ia memerangi mereka yang berselisih dengan pihaknya di daerah
Banu Tamim itu. Sajah tampaknya senang dengan pendapatnya itu, dan
katanya: "Ya, terserah pendapatmu dan orang-orang yang bersamamu.
Tetapi aku perempuan Banu Yarbu'. Kalau dia seorang raja, maka dia
raja kamu sekalian."
Bagaimana Sajah cepat-cepat berbalik dari niatnya semula dan menyetujui
pendapat Malik? Tak ada sumber yang dapat memberi penjelasan
kepada kita mengenai rahasia perubahan itu. Tetapi sumbersumber
yang ada menyebutkan bahwa Malik adalah orang terpandang,
pahlawan dan penyair. Ia sangat membanggakan diri, seperti kaumnya,
punya pengikut cukup besar, sedap budi bahasanya dan pandai bergaul.
Mutammam bin Nuwairah, saudaranya, yang sebagai penyair kedudukannya
lebih penting dari Malik, tetapi matanya buta sebelah dan bermuka
buruk. Pernah ia ditawan oleh salah satu suku, dibelenggu dan
dilemparkan ke halaman. Berita itu sampai kepada Malik. Dia datang
dengan kendaraannya ke tempat itu menemui mereka. Setelah memberi
salam, mengajak mereka bicara, tertawa-tawa dan membacakan sajaksajak,
mereka senang sekali, begitu senangnya mereka sehingga Mutammam
dibebaskan tanpa tebusan. Pada zaman jahiliah Mutammam
juga pernah ditawan oleh Banu Taglib. Kemudian datang Malik hendak
menebusnya. Setelah melihat Malik, wajahnya yang tampan menarik
perhatian mereka. Setelah diajak bicara, tutur katanya juga menarik.
Tawanan pun itn akhirnya dibebaskan tanpa mau menerima tebusan.
Adakah Sajah juga merasa puas dengan rupa dan kata-kata Malik,
seperti yang dilakukan oleh paman-pamannya dari Banu Taglib dan pendukung-
pendukungnya yang lain? Kita sebutkan semua ini untuk mengartikan
jauhnya jarak antara Sajah dengan Musailimah. Benar tidaknya
cerita-cerita itu, yang jelas Sajah telah mengundang pemuka-pemuka
Banu Tamim. Tetapi, kecuali Waki', dari pihak mereka tak ada yang
mau berkompromi dengan Malik. Oleh karena itu Sajah dengan pasukannya
dan pasukan Malik dan Waki' menyerang satuan-satuan mereka
dan mereka segera terlibat dalam pertempuran yang mengakibatkan
banyak jatuh korban dari kedua belah pihak, dan yang sebagian saling
menahan tawanan perang. Kemudian mereka damai kembali dan dilanjutkati
dengan saling menukar tawanan. Perdamaian pun kembali pada
Banu Tamim.
Hancurnya Sajah di Nibaj
Dengan memimpin pasukan Mesopotamia itu niat Sajah bangkit
lagi hendak menghadapi Abu Bakr. Tetapi Malik dan Waki' sudah
berdamai dengan kaumnya setelah melihat kebencian mereka yang
telah menjadi pengikut nabi palsu itu. Sajah sudah sampai di Nibaj.
Di sini ia berhadapan dengan Aus bin Khuzaimah dan Sajah dapat
dikalahkan. Kemudian mereka saling bertukar tawanan dan diajaknya
berdamai dengan syarat tak boleh ke Medinah menyeberangi daerah
Aus. Pada waktu itu pemimpin-pemimpin Semenanjung itu berkumpul
dan mereka berkata:
"Apa perintahmu kepada kami. Malik dan Waki' sudah berkompromi
dengan kaumnya dan mereka tidak akan membela dan membiarkan kita
melalui daerah mereka. Mereka sudah mengadakan perjanjian dengan
kami."
Tetapi Sajah menjawab: "Yamamah."
Mereka mengingatkan, bahwa pengaruh pihak Yamamah sangat
kuat dan bahwa pengikut Musailimah besar. Di sini ada cerita beredar
yang menyebutkan bahwa dalam hal ini Sajah berkata: "Tugas kamu
berangkat ke Yamamah, Berjalanlah beriring seperti merpati, Itulah perang
yang sengit, Setelah itu kamu tak akan menyesal."
Tak ada jalan lain setelah dibacakan sajak mantra yang mereka kira
wahyu itu, selain harus tunduk.
Berangkat ke Yamamah
Kenapa ia berbalik akan pergi ke Yamamah setelah kaumnya sendiri,
Banu Tamim, mengkhianatinya dan mengkhianati perjalanannya hendak
menyerbu Abu Bakr? Tak adakah orang-orang di sekitarnya yang mau
memberikan pendapat kepadanya? Ataukah mereka memang sudah percaya
pada kenabiannya dan segala kekonyolan yang dikatakannya wahyu
itu dan mereka tidak lagi ragu mengikutinya?
Sebenarnya segala cerita tentang Sajah ini memang aneh semua.
Segala yang diceritakan orang mengenai dirinya lebih menyerupai ceritacerita
rekaan. Disebutkan bahwa setelah ia dan pasukannya sampai di
Yamamah, Musailimah takut dan khawatir, bahwa bila ia sibuk menghadapinya,
ia akan dikalahkan oleh pasukan Muslimin atau oleh kabilah-
kabilah berdekatan. Karenanya ia memberikan hadiah kepada Sajah
yang dikirimkan sebagai tanda meminta keamanan untuk dirinya sampai
ia datang menemui perempuan itu. Sajah dan pasukannya berhenti di
sebuah mata air dan Musailimah diizinkan datang. Setelah datang dengan
empat puluh orang dari Banu Hanifah, ia berbicara berdua dengan
Sajah dan ia mengatakan kepada Sajah, bahwa tadinya ia berpendapat
bumi ini separuh untuk Kuraisy, tetapi orang-orang Kuraisy itu kejam.
Oleh karena itu, biarlah separuh bumi ini untuk Sajah.
Perkawinan Musailimah dengan Sajah
Musailimah membacakan sebuah sajak yang sangat menyenangkan
hati perempuan itu. Dia pun membalasnya dengan sajak serupa. Setelah
itu mereka berdua berbincang-bincang lama sekali. Ternyata Sajah sangat
mengagumi Musailimah dan mengagumi tutur katanya yang serba
manis. Rencananya mengenai kaumnya juga menarik perhatiannya, dan
dengan begitu akhirnya ia mengakui keunggulannya. Setelah Musailimah
menawarkan agar kenabiannya digabung saja dengan kenabian Sajah
dan mengadakan ikatan perkawinan antara keduanya, hatinya goyah
juga dan lamaran itu pun diterima.
Sekarang Sajah pindah ke kemah Musailimah dan tinggal bersama
selama tiga hari. Setelah kembali kepada masyarakatnya sendiri, Sajah
mengatakan bahwa ia melihat Musailimah benar, dan karenanya ia menikah
dengan laki-laki itu.
Dua sembahyang dicabut untuk kaumnya sebagai maskawin
Tetapi setelah kaumnya tahu perkawinan itu tanpa maskawin, mereka
'berkata kepada Sajah: "Kembalilah kepadanya. Tidak baik orang seperti
kau kawin tanpa maskawin." Setelah Sajah kembali, Musailimah menutup
pintu bentengnya dan hanya mengutus orang menanyakan apa
maksudnya. Kemudian ia mencabut dua macam sembahyang demi menghormati
Sajah, sembahyang malam dan sembahyang subuh. Dengan
demikian persoalan mereka berdua selesai dengan ketentuan separuh
penghasilan Yamamah akan dibawa oleh Sajah dan yang separuh lagi
akan dikirim sesuai dengan isi persetujuan. Sajah membawa penghasilan
itu kemudian ia kembali ke Mesopotamia. Beberapa orang ditinggalkan
di tempat itu untuk membawa yang separuh lagi. Tetapi orang-orang itu
hanya sekadar menunggu kedatangan pasukan Muslimin yang kemudian
menyerang Musailimah dan membunuhnya. Selama itu Sajah tetap di
Taglib hingga kemudian dipindahkan oleh Muawiyah ke Banu Tamim
tatkala terjadi musim paceklik dan dia tinggal di sana sebagai seorang
Muslimah yang baik hingga matinya.
Tentang Sajah yang aneh
Demikianlah cerita tentang Sajah bint Haris. Seperti saya sebutkan
di atas, yang memang aneh sekali ceritanya. Adakah yang lebih aneh
daripada petualangannya yang keluar dari Mesopotamia untuk memerangi
Abu Bakr, kemudian begitu cepat membatalkan niatnya setelah
berbicara dengan Malik bin Nuwairah. Setelah itu berbalik pergi ke
Yamamah hendak menemui Musailimah lalu kawin dengan laki-laki itu
dan kembali lagi ke daerahnya, dan selanjutnya tinggal dengan sesama
kaumnya seolah ia tak pernah keluar dari lingkungannya itu dan tak
pernah kawin dengan orang luar!
Tetapi apa yang terjadi dengan Musailimah lebih aneh lagi. Kalaupun
benar ia telah kawin dengan perempuan itu, tentu itu merupakan
suatu bukti kemahirannya dalam politik serta kepandaiannya merajuk
hati orang. Ia sudah ingin melepaskan diri dari Sajah gurta melapangkan
jalan dalam memerangi kabilah-kabilah di sekitarnya dan Muslimin
yang diutus oleh Abu Bakr untuk memeranginya. Dilihatnya perempuan
itu begitu lemah dan sifat betinanya cukup menggoda hatinya. Setelah
perempuan itu menyerah dan mengikutinya, ditinggalkannya begitu saja.
Sebenarnya pembicaraan perempuan ini dengan Malik bin Nuwairah
kemudian dengan rekannya yang mengaku nabi itu, membuktikan bahwa
di samping ia pandai membaca sajak-sajak mantra dalam kapasitasnya
sebagai dukun, juga sebagai perempuan ia sangat lemah lembut. Kebalikannya
Musailimah, seorang laki-laki bersosok kecil, kerdil, tampangnya
tidak menarik selain tutur katanya yang manis, tidak banyak
tertarik pada perempuan atau pada kecantikannya. Oleh karena itu,
salah satu ketentuan yang diterapkan pada kaumnya ialah barang siapa
mempunyai anak laki-laki tak boleh ia mendekati istrinya kecuali jika
anak itu mati. Kalau anaknya meninggal, ia boleh mencampuri istrinya
untuk memperoleh anak lagi. Maka barang siapa sudah mempunyai
anak laki-laki, semua perempuan diharamkan buat dia!
* * *
Malik setelah hancurnya Tulaihah
Sementara peristiwa Musailimah dan Sajah ini terjadi di Yamamah,
Khalid bin Walid naik ke Buzakhah dan mengadakan serangan. Mereka
yang sadar dan bertobat dikembalikan kepada Islam, dan yang membunuh
orang Islam atau memusuhinya dijatuhi hukuman, dan berakhir
dengan perang menghadapi Umm Ziml hingga dapat diporakporandakan,
seperti halnya dengan pasukan Tulaihah yang akhirnya melarikan
diri. Berita tentang Khalid ini sudah tersebar luas, yang kemudian sampai
juga kepada Malik bin Nuwairah di Butah, yang membuatnya gelisah
dan kebingungan. Dia termasuk yang menolak zakat dan bersama-sama
dengan Sajah menentang Muslimin yang tinggal di kalangan Banu Tamim.
Dengan tindakan itu berarti mereka telah melakukan permusuhan terhadap
Muslimin, dan dengan demikian boleh diserang. Sekarang apa
yang harus mereka lakukan setelah pasukannya dan pasukan Sajah
mengalami kegagalan dan kehancuran? Tetapi Waki', temannya, yang
sudah kembali kepada Islam dan mengeluarkan zakat, melihat Malik
telah salah bertindak. Sebaliknya Malik masih dalam kebingungan: meninggalkan
apa yang sudah dilakukannya itu dan kembali kepada Islam
bersama-sama dengan Abu Bakr seperti ketika dengan Muhammad serta
menunaikan kewajiban salat dan zakat, ataukah akan tetap bertahan dengan
Sajah seperti sekarang. Segala persoalan memang di tangan Allah!
Khalid memutuskan akan ke Butah dan sikap Ansar
Tugas Khalid selesai sudah menghadapi Banu Asad dan Gatafan
serta kabilah-kabilah sekutunya yang masih tersisa setelah mereka semua
kembali kepada Islam dan tunduk kepada pemerintahan Medinah.
Sekarang dia memutuskan akan berangkat ke Butah menghadapi Malik
bin Nuwairah dan kawan-kawannya yang masih ragu. Niatnya ini diketahui
oleh Ansar. Dengan agak maju mundur mereka berkata:
"Bukan ini yang ditugaskan Khalifah kepada kami. Kami mendapat
tugas; bila sudah selesai urusan di Buzakhah dan sudah kita bebaskan
negeri itu, kami diminta tinggal sampai ada surat buat kami." .
Khalid menjawab: "Kalau itu yang ditugaskan kepada kalian, aku
mendapat tugas supaya meneruskan perjalanan. Di sini aku yang menjadi
dan keputusan ada di tanganku. Sekalipun aku menerima
surat atau perintah tetapi aku melihat ada kesempatan. Kalau kuberitahukan
kesempatan itu akan hilang; maka aku tidak akan memberitahukan
sebelum aku dapat menggunakan kesempatan itu..." Lalu ia
pergi bersama pasukannya, kecuali orang-orang Ansar, dan dia menuju
Butah.
Malik bin Nuwairah menasihati kaumnya agar kembali kepada Islam
Kalangan Ansar sudah merasa jemu juga dengan keadaan semacam
itu. Mereka bermusyawarah, dan kemudian mengambil keputusan hendak
menyusulnya. Oleh karena itu mereka berkata: Kalau Khalid beruntung,
kamu tak akan ikut mengalaminya; kalau dia dan pasukannya mendapat
malapetaka kalian akan dijauhi orang.
Kemudian mereka mengutus orang kepada Khalid memintanya menunggu
sampai mereka dapat menyusul dan pergi bersama-sama. Setelah
mereka di Butah tak seorang pun dijumpainya. Malik bin Nuwairah
telah melepaskan kaumnya ke rumah masing-masing dan melarang
mereka berkumpul.
"Hai Banu Yarbu'," katanya kepada mereka, "Dulu kita telah menentang
pemimpin-pemimpin sendiri kita tatkala mereka mengajak kita;
dan kita berusaha merintangi orang jangan mengikuti mereka, tetapi
ternyata tak berhasil. Setelah kupertimbangkan, aku berpendapat sebaiknya
kita bersiap-siap tanpa terlalu banyak urusan. Hal ini sudah ada
yang mengurus. Janganlah kalian mencari-cari permusuhan dengan golongan
yang sudah diperlakukan dengan baik." Dinasihatinya mereka
agar kembali kepada Islam dan tinggal di rumah masing-masing, dan
dia sendiri pun pulang ke rumahnya.
Karena di Butah Khalid tidak menemukan orang, pasukan itu terpencar
dan diperintahkannya supaya membawa orang yang tidak mau
memenuhi seruan Islam, dan kalau menolak supaya dibunuh. Sedang
pesan Abu Bakr, bila pasukan Muslimin memasuki suatu pemukiman
supaya menyerukan azan. Kalau mereka menyambut seruan itu, janganlah
mereka diganggu, dan kalau tidak bunuhlah sebagian dan rampaslah.
Jika kemudian mereka menerima ajakan Islam, tanyakanlah tentang
zakat, kalau mereka setuju terimalah dari mereka, kalau menolak perangilah
mereka.
Pasukan Khalid membawa Malik
Pasukan itu membawa Malik bin Nuwairah dan beberapa orang lagi
dari Banu Yarbu' kepada Khalid. Dan yang seharusnya terjadi setelah
itu ialah jika Malik dan kawan-kawannya menerima Islam, Khalid harus
memperlakukan mereka sebagai orang yang sudah tobat. Tetapi yang
terjadi Khalid memerintahkan siroaya Malik dibunuh. Dan pembunuhan
inilah yang telah menimbulkan gejolak berkepanjangan di Medinah, sebelum
dapat diredakan. Dampak inilah yang berpengaruh dalam kebijaksanaan
Umar bin Khattab terhadap Khalid bin Walid setelah kemudian
ia memangku jabatan Khalifah. Itu pula sebabnya, cerita-cerita
sekitar kematian Malik bin Nuwairah itu jadi berpanjang-panjang dan
berlain-lainan.
Terbunuhnya Malik dan cerita-cerita di sekitar ini
Konon pimpinan militer yang membawa Malik dan teman-temannya
itu berselisih pendapat: adakah Malik dan golongannya itu mengakui
Islam dan menyambut seruan azan, atau mereka ingkar dan pura-pura
tak peduli? Dengan mengacu kepada Abu Qatadah al-Ansari yang
menjadi salah seorang pimpinan pasukan itu at-Tabari menyebutkan
bahwa ia menceritakan bahwa setelah mendatangi mereka malam hari
mereka terkejut dan senjata pun mereka ambil. Kami berkata: kami
Muslimin. Mereka menjawab: Kami juga Muslimin. Lalu kami berkata:
mengapa kamu bersenjata? Mereka berkata kepada kami: mengapa
kamu juga bersenjata? Kami berkata: kalau begitu letakkanlah senjata.
Mereka pun meletakkan senjata. Lalu kami salat, dan mereka pun salat.
Sampai di sini sumber-sumber itu masih senada. Dan dari sini pula
mulai timbul perbedaan. Abu Qatadah berkata: mereka menyetujui zakat
dan segala ketentuannya. Yang lain berkata: Mereka tidak mengakui dan
berkeras menolaknya. Apa yang dilakukan Khalid menghadapi perbedaan
antara saksi-saksi mata itu, dan bagaimana ia mengambil keputusan?
Terbunuhnya Malik dan kaumnya karena salah paham
Ada sumber yang menyebutkan bahwa ia memerintahkan supaya
Malik dan kawan-kawannya itu dipenjarakan sementara perkara mereka
akan diperiksa. Mereka dipenjarakan waktu udara malam dingin sekali,
makin larut malam udara makin dingin. Merasa kasihan melihat mereka
Khalid memerintahkan seraya berseru: "Berikanlah pendiangan1 kepada
tawanan-tawanan itu!" Dalam bahasa suku Kinanah kata-kata itu berarti
pembunuhan, sementara pengawal-pengawal itu dari suku Kinanah tersebut.
Mendengar perintah itu mereka mengira bahwa yang dimaksudkan
Khalid supaya mereka dibunuh, lalu mereka dibunuh. Mendengar
ada ribut-ribut Khalid keluar. Tetapi mereka sudah dihabisi. Maka ia
berkata: "Jika Allah menghendaki sesuatu maka akan terjadi juga."
Dialog Malik dengan Khalid
Sumber kedua menyebutkan bahwa Khalid mengundang Malik berdiskusi
untuk mengetahui kedua kesaksian itu, mana yang benar: kesaksian
tentang keislamannya, atau tentang kegigihannya mau jadi murtad
atau menolak membayar zakat. Sementara mereka berdiskusi itu Malik
mengoreksi Khalid dengan berkata: "Harapan yang diberikan teman
kamu itu karena ia berkata begini dan begini." Khalid menjawab:
"Bukankah dia termasuk temanmu?" Kemudian diperintahkan supaya
dia dan teman-temannya dibunuh. Mengomentari percakapan antara Khalid dengan Malik itu Abul-
Faraj dalam al-Agani mengatakan sebagai berikut: "Ibn Sallam berkata:
Orang yang tidak menerima alasan Khalid mengatakan bahwa Malik
berkata kepada Khalid: "Atau dengan itu engkau diperintah oleh temanmu
itu  yakni Rasulullah Sallalldhu 'alaihi wasallam  ia menginginkan
kepahlawanan." Dan orang yang menerima alasan Khalid mengatakan
bahwa ia ingin menghilangkan soal kenabian dengan alasan
kata-kata dalam puisi Malik sendiri: Aku berkata ambillah harta kamu tanpa merasa takut
Tanpa melihat apa yang akan terjadi besok Jika ada orang yang menakut-nakuti
Kita tolak dan kita katakan: agama adalah agama Muhammad.
Yakni bahwa dia menolak membayar zakat dan berkata kepada
kaumnya, ambil sajalah harta kamu; agama itu agama Muhammad, bukan
agama Abu Bakr. Tetapi Ibn Khali ikan menyebutkan tentang percakapan kedua orang
itu sebagai berikut: "Maka Malik berkata, 'Aku dapat menerima salat,
tapi zakat tidak,' yang dijawab oleh Khalid, 'Engkau tidak tahu bahwa
salat dan zakat satu sama lain tak dapat dipisahkan?!'
'Sahabatmu itu memang mengatakan begitu,' jawab Malik.
'Jadi engkau tidak melihatnya sebagai sahabatmu juga!' Demi Allah!
Aku memang sudah berniat memenggal lehermu. Kemudian setelah mereka
lama berdebat, Khalid berkata: 'Akulah yang akan membunuhmu.'
'Memang begitu perintah sahabatmu itu?' 'Sungguh aku akan membunuhmu.'
 Lalu dikeluarkan perintah dan dia pun dibunuh."
Sebagian ada yang lebih memperkuat suraber ini dari yang
pertama. Tetapi mereka yang memperkuat itu melihat ada kelemahan
dalam sumber itu. Mereka berpendapat bahwa jika tidak lengkap akan
bertentangan dengan sikap Khalid dalam menghadapi Qurrah bin
Hubairah, Fuja'ah as-Sulami dan Abu Syajrah dan sebangsanya yang
sudah kita ceritakan di atas. Mereka dikirimkan kepada Abu Bakr untuk
meminta pendapatnya. Kesalahan Malik bin Nuwairah tidak lebih besar
dari kesalahan mereka; mengapa ia dibunuh dan tidak dikirimkan
kepada Khalifah, padahal kedudukannya di kalangan Banu Tamim lebih
penting daripada kedudukan siapa pun dari mereka!
Mempertalikan pembunuhan Malik dengan Khalid yang mengawini istrinya
Puncak cerita itu menurut pendapat mereka bahwa Khalid telah
mengawini Umm Tamim, istri Malik pada hari pembunuhannya itu dan
bumi pun belum kering dari darahnya. Ini samasekali bertentangan
dengan tradisi Arab. Mereka hendak mempertalikan pembunuhan Malik
itu dengan perkawinan Khalid dengan istrinya, dan menjadikan perkawinan
itu sebagai motif pembunuhannya. Mungkin mereka benar,
tapi mungkin juga salah. Dalam kitab Tdrikh-nya Ya'qubi menyebutkan: Malik bin Nuwairah
menemuinya dan berdiskusi, disertai istrinya. Khalid kagum melihat istrinya
itu, lalu katanya: "Aku tak akan memperoleh apa yang ada padamu
itu sebelum kubunuh engkau. Ia melihat kepada Malik lalu membunuhnya
dan mengawini istrinya." Dalam al-Agdni Abul-Faraj menyebutkan:
"Setelah Sajah mendakwakan diri nabi, Malik menjadi pengikutnya,
kemudian ia memperlihatkan diri bahwa dia Muslim. Maka oleh Khalid
ia dibunuh. Ada sekelompok sahabat yang mengecam tindakannya itu,
sebab setelah itu ia mengawini istri Malik. Memang ada juga yang mengatakan
bahwa ia sudah mencintainya sejak zaman jahiliah. Karenanya
ia dituduh membunuh seorang Muslim supaya kemudian dapat mengawini
istrinya." Abul-Faraj juga menceritakan dengan mengatakan "Muhammad
bin Sallam berkata: "Suatu hari Yunus mengatakan kepadaku sementara
aku menggoda perempuan Tamim itu untuk Khalid tetapi aku memaafkannya.
Lalu katanya kepadaku: Abu Abdullah, engkau belum mendengar tentang betis
Umm Tamim! Kata orang belum pernah ada orang yang melihat betis seindah itu."
Sikap Laila tentang dialog Malik dengan Khalid
Atas peristiwa ini kemudian terjalin cerita-cerita dengan lukisan
yang lebih menyerupai cerita rekaan karya sastra daripada kejadian
sejarah yang sebenarnya. Laila mendampingi suarainya yang ketika itu
sedang berdialog dengan Khalid. Setelah didengarnya Khalid berkata
kepada suaminya 'Akulah yang akan membunuhmu', ia bersimpuh di kaki
penakluk itu mengharapkan ampun, dengan rambut yang sudah terurai
ke bahunya dan air mata bersimbah membasahi kelopak matanya, sehingga
sepasang mata itu tampak makin jelita. Khalid menatap wajahnya
yang cantik itu, sementara perempiian itu mengerling kepadanya
memohonkan belas kasihan, dengan pandangan penuh cinta dan rasa
kagum. Malik berteriak: 'Aku pasti dibunuh!' Khalid menjawab, 'Bukan
karena ini, tetapi hukuman ini berlaku karena kekufuranmu.' Lalu diperintahkannya
agar orang itu dibunuh. Bukan maksud kita hanya sampai pada cerita rekaan sastra dengan
segala pemeriannya itu saja, tetapi yang pasti Laila memang mengagumi
Khalid, dan karenanya sesudah itu Khalid menahannya dan tidak melepaskannya
kendati perkawinan itu akan menimbulkan kesulitan buat dia sendiri.
Kemarahan Abu Qatadah al-Ansari
Barangkali kita sudah dapat memperkirakan betapa besarnya kesulitan
itu bila kita mengetahui bahwa Abu Qatadah al-Ansari sampai
begitu marah karena perbuatan Khalid yang membunuh Malik dan mengawini
istrinya itu. Khalid ditinggalkannya dan ia pergi ke Medinah,
dengan bersumpah tidak sekali-kali lagi mau berada di bawah satuan
Khalid. Kita tahu apa yang sudah disebutkan dalam sumber itu, bahwa
pasukan Khalid yang telah memenjarakan Malik dan teman-temannya
itu mereka itulah yang menghabiskan riwayatnya tatkala mendengar
perintah Khalid, "Berikanlah pendiangan kepada tawanan-tawanan itu"
dan bahwa Khalid marah sekali karenanya, yang kemudian berkata:
"Jika Allah menghendaki sesuatu maka akan terjadi juga." Sumbersumber
itu menambahkan bahwa Abu Qatadah menduga, apa yang terjadi
itu hanya muslihat Khalid saja, dan menemuinya seraya berkata:
"Inilah perbuatanmu," tetapi Khalid membentaknya dan ia pun pergi ke Medinah.
Percakapan Abu Qatadah dengan Abu Bakr
Yang lain menyebutkan bahwa Abu Qatadah pergi ke Medinah setelah
Khalid mengawini Laila, dan bahwa Mutammam bin Nuwairah,
saudara Malik juga pergi bersama-sama. Sesampainya di Medinah, masih
dalam keadaan marah Abu Qatadah menemui Abu Bakr. Dilaporkannya
soal Khalid yang membunuh Malik serta perkawinannya dengan Laila
itu, dan ditambahkannya bahwa ia sudah bersumpah tak akan mau lagi
berada di bawah komando Khalid. Tetapi Abu Bakr sangat memuji
Khalid dan kemenangan-kemenangannya itu. la tidak senang dengan
sikap Abu Qatadah, bahkan ia merasa heran mengapa berkata demikian
tentang Saiful Islam — Pedang Islam.
Umar bin Khaltab mendukung Abu Qatadah di depan Khalifah
Adakah kemarahan Khalifah itu membuat hati Abu Qatadah jadi
kecut lalu diam? Tidak! Ia memang marah besar kepada Khalid. Ia menemui
Umar bin Khattab dan melaporkan segala peristiwa itu; dilukiskannya
Khalid sebagai orang yang telah mengalahkan kewajibannya
dengan nafsunya. Karena memperturutkan keinginannya ia menggampangkan
hukum Allah. Umar mendukung pendapatnya itu dan ia juga
mengecam Khalid. Umar pergi menemui Abu Bakr. Ia marah sekali karena perbuatan
Khalid itu, dan dimintanya supaya Khalid dipecat.
"Pedang Khalid itu sangat tergesa-gesa,' dan harus ada sanksinya,"
katanya. Abu Bakr tak pernah menjatuhkan sanksi pejabat-pejabatnya.
Itu sebabnya, ketika Umar mendesak berulang kali ia berkata:
"Ah, Umar! Dia sudah membuat pertimbangan tapi salah. Janganlah
berkata yang bukan-bukan tentang Khalid." Umar tidak puas dengan
jawaban itu dan tidak pula henti-hentinya berusaha supaya usulnya itu
dilaksanakan. "Umar!" kata Abu Bakr yang mulai merasa kesal karena desakan
Umar itu, "aku tak akan menyarungkan pedang yang oleh Allah sudah
dihunuskan kepada orang-orang kafir!"
Kemarahan Umar atas perbuatan Khalid
Tetapi Umar melihat perbuatan Khalid itu tak dapat diterima. Perasaan
dan hati kecilnya menolak. Bagaimana ia akan diam, bagaimana
akan membiarkan Khalid tenang-tenang begitu saja, merasa tak pernah
berbuat kesalahan, tak pernah berdosa! Ia harus mengulangi lagi katakatanya
kepada Abu Bakr dan mengatakannya terus terang, bahwa
musuh Allah ialah orang yang melanggar hak seorang Muslim lalu
membunuhnya dan mengawini istrinya. Samasekali tidak jujur perbuatan
demikian itu jika tidak dijatuhi hukuman. Menghadapi kemarahan
Umar itu tak ada jalan lain buat Abu Bakr harus memanggil Khalid dan
menanyakan segala yang diperbuatnya itu.
Tatkala kemudian Khalid datang dari medan perang ke Medinah,
dan masuk ke mesjid dengan perlengkapan perang, mengenakan pakaian
luar berbercak karat besi, di ikat kepalanya diselipkan beberapa anak
panah. Begitu dilihatnya melangkah ke dalam mesjid, Umar berdiri, direnggutnya
anak panah itu dari kepalanya dan diremukkannya seraya
berkata: "Engkau membunuh seorang Muslim kemudian mengawini istrinya
heh! Sungguh akan kurajam engkau dengan batu!"
Khalid diam, tidak melawan dan tidak berkata sepatah kata pun.
Menurut dugaannya, Abu Bakr pun akan sependapat dengan Umar. la
terus menemui Abu Bakr dan dilaporkannya keadaan Malik dan pembelaannya
terhadap Sajah serta sikapnya yang maju mundur setelah itu.
Pelbagai alasan dikemukakannya mengenai pembunuhan itu. Abu Bakr
memaafkannya dan dapat memahami atas segala kejadian yang masih
dalam suasana perang itu. Tetapi ia mendapat teguran keras karena perkawinannya
dengan seorang perempuan sementara darah suaminya belum
lagi kering. Dalam perang orang Arab sangat menjauhi perempuan, dan
berhubungan dengan mereka selama itu dipandang sangat tercela.
Khalid keluar dari tempat Khalifah dengan tetap sebagai seorang
pemimpin pasukan. Ia bersiap-siap akan kembali kepada mereka dan
akan memimpin mereka ke Yamamah.
Ketika melewati Umar yang masih ada di mesjid Khalid berpaling
kepadanya seraya berkata: "Marilah, anak Umm Salamah!"
Ia mengeluarkan kata-kata itu dengan pandangan mata mengejek,
dan nada suaranya menyiratkan kemenangan seolah ia hendak berkata:
simpanlah batu-batumu itu, dan rajamkanlah kepada orang lain.
Umar yakin sudah bahwa Abu Bakr telah memaafkannya dan rupanya
ia diterima dengan baik. Sekarang giliran Umar yang diam. Hari itu
persoalan antara kedua orang itu selesai sudah dengan sekadar tukarmenukar
kata-kata.
Sikap Umar terhadap Khalid setelah menjadi Khalifah
Pendirian Umar tidak berubah apa pun yang telah dilakukan Khalid.
Setelah Abu Bakr wafat, dan Umar kemudian dibaiat sebagai penggantinya,
yang pertama sekali dilakukan ialah mengutus orang ke Syam
mengabarkan kematian Abu Bakr, dan bersamaan dengan utusan yang
membawa berita itu dibawanya pula sepucuk surat keputusan memecat
Khalid dari pimpinan militer. Ketika kembali ke Medinah Khalid langsung
menegurnya atas pemecatannya itu.
"Aku memecat engkau bukan karena menyangsikan engkau," jawab
Umar. "Tetapi orang banyak akan terpengaruh kepadamu, maka aku
khawatir engkau pun akan terpengaruh oleh mereka." Alasan itu masuk
akal juga. Tetapi ahli-ahli sejarah umumnya sependapat bahwa Umar
masih terpengaruh oleh pendiriannya yang dulu juga, tentang Khalid
yang membunuh Malik bin Nuwairah serta mengawini istrinya itu. Dan
pendirian ini berdampak juga pada pemecatan Khalid.
Mutammam setelah pembuniihan saudaranya
Usaha Mutammam bin Nuwairah tidak pula kurang dari usaha Abu
Qatadah sejak ia tiba di Medinah. la menuntut diat (uang tebusan) atas
kematian Malik itu kepada Abu Bakr, yang kemudian dipenuhinya. Selanjutnya
ia membicarakan masalah tawanan perarig. Abu Bakr menulis
surat supaya tawanan itu dikembalikan.
Di Medinah Mutammam masih tinggal agak lama, sampai sesudah
ekspedisi Yamamah. Umar menaruh simpati kepadanya karena pendiriannya
mengenai Khalid yang begitu gigih. Dalam pada itu Mutammam
banyak membuat elegi  sajak-sajak meratapi kematian saudaranya itu
yang dinilai termasuk karya sastra Arab bermutu. Mengenai hubungan
Mutammam dengan Umar disebutkan, bahwa ketika pada suatu pagi
Umar bin Khattab usai salat subuh, ia melihat ada seorang laki-laki
pendek dan bermata sebelah sedang bertelekan pada sebuah busur dengan
memegang sebatang gada (tongkat besar). Setelah ditanya barulah
tahu dia bahwa orang itu Mutammam bin Nuwairah. Dimintanya ia
membacakan sajaknya tentang saudaranya itu. Mutammam membacakan
salah satu puisinya sampai pada kata-kata:
Kami seperti menyesali Jazimah selama bertahun-tahun,
Sehingga dikatakan tak akan pernah bercerai;
Setelah kami berpisah, aku dan Malik,
Karena lama berkumpul, seolah tak pernah bermalam bersama.
"Sungguh ini suatu kenangan mengharukan," kata Umar. "Kalau
aku pandai bersajak aku akan meratapi saudaraku Zaid seperti simpatimu
untuk saudaramu ini." "Tetapi kalau saudaraku mati seperti kematian saudaramu, aku tak
akan meratapinya," kata Mutammam. Zaid gugur di Yamamah sebagai
syahid di bawah pimpinan Khalid bin Walid.
Mendengar jawaban Mutammam itu Umar berkata lagi:
"Tak pernah ada orang menghibur hatiku seperti yang dilakukan
oleh Mutammam ini."
Perbedaan pendapat Abu Bakr dengan Umar
Kita sudah melihat perbedaan pendapat antara Abu Bakr dengan
Umar mengenai apa yang terjadi sekitar Malik bin Nuwairah itu. Sudah
tentu kedua tokoh ini menghendaki yang terbaik untuk Islam dan kaum
Muslimin. Adakah perselisihan mereka itu disebabkan oleh perbedaan
dalam menilai apa yang sudah dilakukan Khalid, atau karena perbedaan
kebijakan yang harus berlaku dalam situasi yang begitu genting dalam
sejarah kaum Muslimin serta situasi pembangkangan (riddah) dan adanya
pemberontakan di kawasan Semenanjung Arab itu?!
Pendapat Umar dan alasannya
Mengenai perbedaan ini, menurut hemat saya adalah perbedaan kebijakan
yang mesti terjadi dalam situasi semacam ini. Perbedaan itu
sesuai dengan watak mereka masing-masing. Umar, adalah contoh keadilan
yang sangat ketat. la melihat Khalid telah berlaku tak adil terhadap
seorang Muslim lalu mengawini istrinya sebelum habis masa idahnya.
Tak boleh ia tetap memimpin angkatan bersenjata, agar yang serupa itu
tak terulang lagi. Yang demikian ini akan merusak keadaan umat Islam,
dan akan meninggalkan citra yang buruk sekali di mata orang-orang
Arab. Atas perbuatannya terhadap Laila tak boleh dibiarkan tanpa mendapat
hukuman. Andaikata benar bahwa ia sudah membuat pertimbangan
mengenai Malik itu tapi salah — dan ini tak dapat diterima oleh
Umar — maka apa yang telah diperbuatnya terhadap istrinya sudah
cukup untuk menjatuhkan hukuman kepadanya. Bukan alasan bahwa
karena dia Saifullah, bahwa karena dia panglima yang telah memberikan
kemenangan gemilang. Sekiranya alasan semacam ini dibenarkan
tentu Khalid dan yang semacamnya akan dibolehkan melakukan segala
pelanggaran, dan niscaya ini pulalah contoh yang buruk sekali diberikan
kaum Muslimin dalam menghormati Qur'an. Itulah sebabnya Umar
tak henti-hentinya mengingatkan Abu Bakr dan terus mendesak supaya
Khalid dipanggil dan diberi teguran keras atas perbuatannya itu.
Pendapat Abu Bakr dan alasannya
Menurut pendapat Abu Bakr, dalam situasi demikian lebih berbahaya
untuk membuat perhitungan serupa ini. Terbunuhnya satu orang atau
sekelompok orang bukanlah soal salah atau tidak salah. Bahaya itu
akan mengancam seluruh negara, pemberontakan akan berkecamuk di
sana sini. Dan panglima ini, yang dituduh bersalah, akan memicu bahaya
dan bencana besar yang selama itu sangat dikhawatirkan. Perkawinannya
dengan perempuan di luar kebiasaan orang Arab, bahkan sebelum
habis idahnya, jika itu terjadi pada seorang panglima dalam suasana
perang, sesuai dengan hukum perang perempuan itu akan menjadi miliknya!
Menerapkan hukum secara kaku tidak berlaku terhadap orang-orang
jenius dan orang-orang besar semacam Khalid, terutama bilamana hal
itu membahayakan atau mengancam kedaulatan negara. Kaum Muslimin
memang memerlukan pedang Khalid, dan yang lebih mereka perlukan
lagi ialah ketika Abu Bakr memanggilnya dan memberikan teguran
keras kepadanya. Ketika itu Musailimah di Yamamah, tak jauh dari Butah, dengan
empat puluh ribu pengikutnya dari Banu Hanifah yang sedang keraskerasnya
memberontak kepada Islam dan kaum Muslimin. Mereka
dapat mengalahkan Ikrimah bin Abi Jahl yang telah memimpin pasukan
Muslimin. Maka untuk mengalahkannya harapan satu-satunya kini terletak
di pedang Khalid. Adakah karena pembunuhan atas Malik bin Nuwairah
itu, atau karena Laila yang cantik jelita, yang telah menggoda
Khalid, lalu Khalid dipecat dan pasukan Muslimin menjadi korban pasukan
Musailimah, dengan segala akibat yang akan dihadapi agama Allah
ini!? Khalid adalah suatu mukjizat Allah dan pedangnya adalah pedang
Allah — Saifullah. Itulah kebijakan Abu Bakr ketika memanggil Khalid,
cukup hanya dengan menegurnya, dan dalam waktu bersamaan diperintahkannya
ia berangkat ke Yamamah guna menghadapi Musailimah.
Perintah Abu Bakr kepada Khalid
Inilah menurut hemat saya gambaran yang sebenarnya sehubungan
dengan perbedaan pendapat antara Abu Bakr dengan LImar khusus
mengenai hal ini. Barangkali Abu Bakr mengeluarkan perintah kepada
Khalid untuk berangkat menghadapi Musailimah setelah peramal Banu
Hanifah itu mengalahkan Ikrimah, untuk memperlihatkan kepada orangorang
Medinah dan terutama mereka yang sependapat dengan Umar,
bahwa Khalid adalah orang yang akan mengantarkan malapetaka itu,
akan memberi pukulan telak, dan ketika perintah itu dikeluarkan ia
akan melemparkannya ke neraka, — atau dia akan habis tenggelam.
Itulah hukuman yang paling tepat atas perbuatannya terhadap Umm Tamim
Laila dan suaminya. Atau kemenangan itu pula yang akan membersihkan
namanya, lalu ia muncul sebagai orang yang datang dengan
kemenangan yang membawa hasil, sekaligus menenteramkan hati kaum
Muslimin. Dengan demikian apa yang terjadi di Butah sudah tak berarti
apa-apa lagi. Yamamah sudah membersihkan nama Khalid walaupun dalam pada
itu, sebelum darah Muslimin dan darah pengikut-pengikut Musailimah
kering, ia telah menikah pula dengan seorang gadis perawan, seperti
yang dilakukannya dengan Laila. Atas perbuatannya ini pun Abu Bakr
memberikan teguran, bahkan lebih keras lagi dari ketika mengawini
Laila. Tetapi itu tak lebih dari sekadar teguran dan Khalid pun tak lebih
dari sekadar mendengarkan. Saya rasa teguran Abu Bakr hanya untuk
menenangkan kemarahan orang-orang semacam Abu Qatadah. Kalau
saya harus merasa heran, keheranan saya kepada penulis-penulis dan
para ahli sejarah yang dengan peristiwa itu mereka berusaha hendak
menjelek-jelekkan Khalid. Juga tidak kurang keheranan saya kepada
mereka yang berusaha hendak membelanya atau mencari-carikan alasan.
Apa artinya Malik, apa artinya Laila dan apa pula artinya Bint Mujja'ah
dibandingkan dengan ratusan bahkan ribuan kepala yang sudah ditebas
oleh pedang Khalid atau atas perintahnya. Ratusan, bahkan ribuan kepala
yang sudah lepas dari tubuh itu merupakan kebanggaan Khalid,
dan itulah yang membuat dia sebagai Saifullah. Jika pada suatu saat
pedangnya itu pernah menimbulkan keonaran, selama bertahun-tahun
pedang itu juga telah memberikan kemenangan dan kebanggaan.
Khalid bertolak dari Medinah ke Butah setelah Abu Bakr mengeluarkan
perintah agar berangkat menghadapi Musailimah di Yamamah.
Sekarang ia kembali ke sana sesudah tempat itu bebas dari pembangkangan
kaum murtad dan bekas-bekasnya. Ia tinggal di sana bersama
pasukannya sambil menunggu datangnya bantuan dari Abu Bakr yang
memang sudah dipersiapkan untuk memperkuatnya. Setelah kemudian
bantuan datang, ia berangkat memimpin angkatan bersenjatanya menuju
tempat orang yang mengaku nabi itu, yang di Semenanjung itu ia dipandang
paling berbahaya. Ia berangkat dengan penuh rasa percaya diri
dan keimanan kepada Allah, dan dengan keyakinan bahwa Allah akan
memperkuatnya, akan memberikan pertolongan kepadanya.
"Jika Allah menolong kamu tak ada yang akan dapat mengalahkan
kamu. " (Qur'an, 3. 160).

EKSPEDISI YAMAMAH
Pasukan yang diperbantukan kepada Khalid
 Khalid bin Walid berangkat ke Butah memimpin pasukannya berikut
pasukan yang diperbantukan oleh Abu Bakr. la mendapat tugas ke
Yamamah untuk menghadapi Musailimah bin Habib, pemimpin Banu
Hanifah yang telah mengaku nabi. Bantuan yang dikirimkan Abu Bakr
ini tak kurang kuatnya dari pasukan Khalid sendiri. Mereka terdiri dari
tokoh-tokoh Muhajirin dan Ansar sahabat-sahabat Rasulullah yang sudah
pernah juga mengalami perang, dan dari kabilah-kabilah atau sukusuku
yang keberaniannya dalam pertempuran sudah cukup terkenal.
Pasukan Ansar dipimpin oleh Sabit bin Qais dan al-Bara' bin Malik,
dan pasukan Muhajirin dipimpin oleh Abu Huzaifah bin Yaman dan Zaid
bin Khattab. Sedang dari kabilah-kabilah masing-masing sudah dengan
pemimpinnya sendiri.
Adakah Abu Bakr masih akan menghemat bantuannya kepada panglimanya
yang hendak menghadapi Musailimah? la tahu benar bahwa di
pihak nabi palsu ini ada empat puluh ribu anggota pasukan yang sudah
siap tempur. Mereka sudah percaya benar kepadanya dan bersedia mati
untuk membelanya. Kalau dalam menghadapi kaum pembangkang itu Abu Bakr juga
tidak menyiapkan kaum Muslimin pilihan — dalam kepemimpinan, dalam
keberanian dan dalam bertempur di medan perang, — strateginya dalam
perang menghadapi kaum murtad itu akan menemui kegagalan. Pandangan
Abu Bakr cukup jauh dengan imannya yang begitu kuat untuk
membiarkan Islam yang baru ini sampai mengalami nasib demikian.
Di antara mereka yang dikirimkan Abu Bakr untuk membantu Khalid
itu terdapat orang-orang yang sudah hafal Qur'an, juga terdiri dari
mereka yang sudah pernah terjun ke dalam perang Badr. Padahal Abu
Bakr masih sangat menghemat kaum veteran Badr dengan mengatakan:
"Aku tak akan menggunakan pasukan Badr; biarlah mereka hidup
sampai menemui Allah dengan amal mereka yang saleh. Allah akan
menyelamatkan mereka dan orang-orang saleh itu melebihi pertolongan
yang diberikan kepada mereka."
Tetapi Abu Bakr kini harus menanggalkan pendiriannya itu, dan
bersedia membantu Khalid dengan pasukan Badr dan mereka yang pernah
mengalami pertempuran pada masa Rasulullah, sebab Musailimah
sudah makin kuat di Yamamah. Jadi setiap pengorbanan untuk mengikisnya
berarti mempertahankan agama Allah, dan membiarkannya merajalela
berarti api pemberontakan di tanah Arab akan makin berkobar, dan
posisi kaum Muslimin akan semakin sulit.
Sebenarnya peristiwa ini kecil sekali dibandingkan dengan kemenangan
yang diperoleh Muslimin sampai sebelum ekspedisi Yamamah
itu. Kabilah-kabilah yang berdekatan dengan Medinah dan yang pada
suatu pagi dulu hendak mengepungnya waktu pelantikan Abu Bakr, tak
ada yang mendakwakan diri jadi nabi, tak punya keinginan apa pun
selain ingin dibebaskan dari kewajiban zakat. Adi bin Hatim sudah berhasil
menjauhkan kabilah-kabilah itu dari Tulaihah al-Asadi. Dengan
demikian ia jadi lemah, dan tak lagi dapat mengadakan perlawanan.
Juga kabilah-kabilah yang sudah mengalami kekalahan, yang ada di
sekeliling Umm Ziml, sudah tak mampu memberikan dukungan. Dalam
pada itu Banu Tamim sedang dalam sengketa antara sesama mereka,
sedang Sajah sudah membuat patah semangat Malik bin Nuwairah. Perang
antara dia dengan Khalid bin Walid sebenarnya sudah tak ada lagi.
Kekualan Musailimah dan sebab-sebabnya
Sebaliknya Musailimah, dia dan pengikut-pengikutnya di Yamamah,
tak mau mengakui Muhammad sebagai Rasulullah atas mereka. Sebagaimana
Kuraisy, mereka juga berhak punya nabi dan rasul sendiri.
Jumlah prajurit-prajurit pemberani di kalangan mereka lebih banyak daripada
di kalangan Kuraisy. Di samping itu kelompok mereka merupakan
satu kesatuan, tak ada perselisihan dan persaingan yang akan membuat
mereka jadi lemah. Juga dalam kepercayaan dan macamnya kelompok,
di kalangan mereka tak terdapat perbedaan seperti pada orang-orang
Yaman. Dalam keadaan serupa itu, sudah tentu mereka dapat menggalang
kekuatan besar, yang harus benar-benar diperhitungkan oleh Abu
Rakr Bukan faktor ini saja yang meminta perhatian Abu Bakr untuk sedapat
mungkin memperkuat pasukan ke Yamamah. Ketika mulai membentuk
brigade kesebelas untuk menumpas kaum murtad, dia tidak memper9.
hitungkan Musailimah dan Banu Hanifah sejauh itu. Karenanya, yang
ditugaskan ke sana Ikrimah bin Abi Jahl, kemudian menyusul Syurahbil
bin Hasanah untuk membantunya. Ikrimah pun berangkat ke Yamamah
tanpa merasa perlu menunggu Syurahbil, melainkan langsung menghadapi
Musailimah dengan harapan dialah yang akan mendapat kebanggaan
atas kemenangan itu nanti. Ikrimah memang seorang pahlawan berpengalaman
dan penunggang kuda yang cukup agresif. Dalam brigadenya
itu terhimpun pahlawan-pahlawan pemberani yang pernah bertempur
mati-matian dalam perang. Sungguhpun begitu, baik Ikrimah maupun
brigadenya tak dapat bertahan menghadapi Musailimah. Bahkan mereka
yang hancur. Begitu berat bencana yang menimpa mereka sehingga
dalam perjalanan itu Syurahbil berhenti di tempat ia menerima berita
yang sangat menyedihkan itu. Ikrimah menulis laporan kepada Abu Bakr mengenai musibah yang
dialaminya dan dialami pasukannya itu. Abu Bakr marah sekali dan
membalasnya dengan mengatakan:
"Hai anak Umm Ikrimah! Aku tak ingin melihatmu dan engkau pun
jangan melihatku. Janganlah engkau kembali; karena akan membuat orang
berkecil hati. Teruskanlah perjalanan ke Hudaifah dan Arfajah dan hadapilah
Oman (Umman) dan Mahrah. Kemudian berangkatlah engkau
dan pasukanmu, bebaskanlah semua orang dari gangguan sampai engkau
bertemu dengan Muhaj ir bin Abi Umayyah di Yaman dan Hadramaut."
Rasanya tak perlu lagi saya menjelaskan betapa besarnya kemarahan
yang tersimpul dalam surat itu. Cukup kita lihat saja kata-kata pembukaannya:
"Hai anak Umm Ikrimah!"1 Nada ungkapan ini mengandung
ejekan dan sangat merendahkan sekali.
Bagaimana Musailimah jadi makin kuat?
Bagaimana Musailimah jadi makin kuat sampai sejauh itu?! Ketika
itu — meminjam kata-kata para sejarawan Arab — "Ruwaijula", "Usaifar",
"Ukhainas"2 penampilannya tak mengesankan akan ada penghargaan
atau penghormatan orang kepadanya. Pada Tahun Perutusan ia pergi
kepada Nabi bersama-sama delegasi Banu Hanifah. Sesudah sampai di
Medinah delegasi itu tak mengajaknya bersama-sama menemui Nabi,
tapi ia ditinggalkan di kendaraan. Setelah memberi salam Nabi memberikan
bingkisan kepada mereka. Mereka menyebut juga ada Musailimah.
Lalu dimintanya supaya mereka memberikan juga bingkisan itu kepadanya,
seraya katanya ramah: "Sebenarnya dia bukan orang paling jahat di antara
kamu", yakni karena ia ditinggalkan di kendaraan teman-temannya.
Orang inikah yang mendakwakan diri nabi di tengah-tengah kaumnya?
Karenanya, pada mulanya hanya sedikit orang yang mempercayainya.
Suatu mukjizatkah yang membuat ribuan bahkan puluhan ribu orang
mengikutinya dalam waktu kurang dari dua tahun? Tidak! Tetapi yang
memegang peranan hingga banyak yang terbawa menjadi pengikutnya
karena adanya permainan dan tipu muslihat seorang tukang sulap.
Nahar dan tipu dayanya
Di kawasan itu ada seorang laki-laki bernama Nahar ar-Rajjal —
atau ar-Rahhal bin Unfuwah. Ia ke Medinah mengikuti Rasulullah. Ia
belajar membaca Qur'an, mendalami hukum fikih dan menguasai ajaranajaran
Islam, karena ia memang pandai dan cerdas. Oleh Rasulullah ia
dikirim ke Yamamah untuk mengajarkan Islam di sana. Di antara mereka
terdapat juga Musailimah. Ia memperkuat Muslimin dan bersama-sama
mereka mau mengacaukan nabi palsu itu. Tetapi sebenarnya Nahar ini
lebih berbahaya bagi Banu Hanifah daripada Musailimah sendiri. Ketika
dilihatnya Musailimah banyak pengikutnya, serta merta ia mengakui kenabiannya
dan menjadi saksi bahwa Muhammad mengatakan Musailimah
adalah sekutunya dalam kenabian. Apa gerangan kata penduduk Yamamah
mengenai ini! Ya, ada pengikut Muhammad yang sudah memberikan
kesaksiannya, mengakui kenabian Musailimah, dan yang memberikan
kesaksian ini orang yang mengerti, ahli fikih, mengajarkan Qur'an
Muhammad kepada mereka, mengajarkan kisah-kisahnya, memperdalam
ajaran agamanya dan ia menjadi saksi kenabian Musailimah. Tak ada
jalan sekarang untuk menolak kebenarannya. Karenanya, orang datang
kepada Musailimah berbondong-bondong, percaya bahwa dia utusan
Allah kepada Banu Hanifah. Dengan demikian jalan buat dia kini terbuka
dan apa pun yang dikehendakinya tersedia di hadapannya.
Kepercayaan sepenuhnya sekarang dapat diberikan oleh Musailimah
kepada Nahar ar-Rajjal ini, dan segala yang ingin ditiru dari Muhammad
dapat terlaksana. Untuk itu, Nahar pun dapat memperoleh segala
kesenangan dunia yang diinginkannya. Kalau ulama dan ahli-ahli Qur'an
sudah tunduk pada kesenangan, dan menyerahkan ilmunya di bawah
kekuasaan orang yang menguasai kesenangan, celakalah ilmu dan agama,
celakalah kebenaran!
Kita tidak hanya sampai pada apa yang dikatakan orang tentang
usaha Musailimah untuk mendatangkan mukjizat, atau pada apa yang
katanya telah menerima wahyu. Semua itu omong kosong, sejarah dan
kritik sejarah tak dapat membuktikannya. Rasanya cukup apa yang sudah
kita jelaskan di atas mengenai sebab-sebab yang mendorong orang
menjadi pengikut Musailimah dan sebabnya keadaan menjadi begitu
gawat, sehingga pasukan Ikrimah tak mampu menghadapinya dan kembali
mundur dalam keadaan centang perenang.
Tulaihah an-Nimari menjadi pengikut Musailimah
Kita tak perlu mempertanyakan bagaimana orang-orang yang berpikir
sehat di kalangan Musailimah itu sampai menjadi pengikutnya. Kita
sudah tahu fanatisma Arab dan kabilah-kabilahnya yang begitu kukuh
hendak bertahan pada kebebasan. Disebutkan bahwa ketika Tulaihah
an-Nimari datang ke Yamamah dan berkata: "Mana Musailimah?" mendapat
jawaban: "He, rasulullah." "Bukan," katanya, "aku akan melihatnya lebih dulu."
Setelah sampai ia bertanya: "Siapa yang datang kepadamu?"
"Rahman," jawabnya. "Dalam cahaya atau dalam gelap?"
"Dalam gelap," jawab Musailimah lagi.
"Aku bersaksi bahwa engkau bohong dan Muhammad benar. Tetapi
pembohong Rabi'ah lebih baik bagi kami daripada Mudar yang benar."
Dalam sebuah sumber yang dikutip at-Tabari menyebutkan bahwa
Tulaihah berkata: "Pembohong Rabi'ah lebih baik bagi kami daripada
pembohong Mudar." Sungguhpun begitu ia menjadi pengikut Musailimah
juga. Kemudian ikut berperang dan mati bersama Musailimah.
Khalid berangkat ke Yamamah
Kalau memang begitulah keadaan Musailimah dan apa yang menimpa
Ikrimah ketika menghadapinya, tak akan ada panglima Arab yang akan
dapat menghadapinya selain pahlawan perang genius itu, Khalid bin
Walid. Tak heran jika Abu Bakr akan memperkuatnya dengan bala
bantuan. Untuk itu kemudian Abu Bakr menulis kepada Syurahbil bin
Hasanah agar tetap tinggal di tempat dia berada itu sampai Khalid datang.
Bila tugasnya sudah selesai dengan Musailimah, Syurahbil diperbantukan
kepada Amr bin As untuk menghadapi Quda'ah di utara Semenanjung
Arab. Sementara pasukan Khalid bergerak menuju Yamamah pasukan
Musailimah bertemu dengan brigade Syurahbil, yang kemudian terpaksa
menarik diri mundur. Beberapa sejarawan menyebutkan bahwa Syurahbil
bertindak seperti Ikrimah dan ingin merebut kemenangan sebagai kebanggaan.
Tetapi ia mengalami nasib seperti yang dialami Ikrimah juga.
Namun barangkali persoalannya tidak demikian. Sementara menunggu
kedatangan Khalid itu Syurahbil menarik mundur pasukannya ketika
bertemu dengan pasukan yang datang dari Yamamah. Apa pun yang
terjadi, namun Syurahbil tetap tinggal di tempat dia mundur itu sampai
pasukan Muslimin datang. Setelah Khalid tahu apa yang dialaminya itu,
oleh Khalid ia dipersalahkan dan dikecam. Barangkali maka Syurahbil
memilih mundur tanpa harus terjebak dengan pihak lavvan itu maksudnya
untuk tidak memperkuat semangat mereka bila mereka sampai
mendapat kemenangan.
Satuan Mujja 'ah dihabisi oleh Khalid
Pasukan Khalid berturut-turut memasuki Yamamah dan berita ini
sampai pula kepada Musailimah. Ketika itu Mujja'ah bin Murarah berangkat
dalam sebuah satuan hendak mengadakan balas dendam kepada
Banu Amir dan Banu Tamim. Ia khawatir akan kehilangan kesempatan
jika harus menghadapi pasukan Muslimin. Setelah berhasil melaksanakan
balas dendamnya Mujja'ah kembali dengan pasukannya. Begitu
sampai di tanjakan Yamamah mereka sudah letih sekali dan langsung
tidur. Tetapi pasukan Khalid menyadari dan segera menyusul mereka.
Khalid tahu mereka itu adalah Banu Hanifah. Menurut perkiraannya
mereka bergegas hendak menyerangnya, maka diperintahkan supaya
didahului. Bahwa kata mereka keluar hendak membalas dendam untuk
urusan mereka sendiri, rupanya tak ada gunanya. Ketika ditanya pendapat
mereka tentang Islam, mereka menjawab: Dari kami seorang nabi
dan dari kalian seorang nabi.
Mujja 'ah sebagai sandera
Salah seorang dari mereka — Sariyah bin Amir — sambil memperlihatkan
pedang kepada Khalid berkata:
"Hai laki-laki, jika engkau menghendaki masa depan kota ini baik
atau buruk, biarkanlah orang ini hidup." Ia berkata begitu sambil menunjuk
kepada Mujja'ah. Orang ini oleh Khalid dijadikan sandera, dibiarkan
tidak dibunuh, karena dia termasuk salah seorang pemimpin
Banu Hanifah, yang di kalangan mereka sendiri mendapat tempat terhormat.
Di samping itu Khalid memang memerlukan bantuannya dalam
memberikan pendapat. Ia dibelenggu dengan rantai besi dan ditempatkan
di kemahnya, dengan tugas menjaga istrinya yang baru, Laila Umm
Tamim.
Pasukan Musailimah di Aqraba'
Musailimah sudah mengerahkan pasukannya di Aqraba' di pinggiran
Yamamah, dan segala harta kekayaan di tempatkan di belakangnya.
Pasukan ini terdiri dari empat puluh ribu orang prajurit — ada
yang menyebutkan enam puluh ribu. Di kalangan Arab jumlah tentara
sebesar itu jarang terdengar. Khalid datang keesokan harinya setelah
Mujja'ah disandera. Pasukan yang sudah siap tempur itu dibariskannya
di hadapan pasukan Musailimah. Kedua angkatan perang itu sekarang
saling memasang mata untuk menggempur. Masing-masing memperkirakan
nasibnya tergantung pada peristiwa hari ini. Dalam membuat
perkiraan itu keduanya memang tidak berlebihan. Peristiwa Yamamah
itu adalah detik-detik yang sangat menentukan dalam sejarah Islam,
begitu juga dalam sejarah Arab.
Peristiwa yang menentukan dalam sejarah Islam
Kekuatan Musailimah adalah kekuatan murtad dan pembangkangan
yang gigih dan jelas sekali dalam menentang kenabian Muhammad yang
bukan hanya untuk Kuraisy, tetapi juga untuk segenap umat manusia.
Kekuatan ini menjadi pusat perhatian, dari Yaman, Oman, Mahrah,
Bahrain, Hadramaut sampai ke semua daerah selatan Semenanjung,
menyusur turun dari Mekah, Ta'if sampai ke Teluk Aden. Kemudian
Persia pun mengarahkan perhatiannya ke sana. Pasukan Musailimah itu
sangat percaya kepadanya dan bersedia mati untuk itu. Ditambah lagi
dengan adanya permusuhan lama antara Hijaz dengan selatan Semenanjung.
Pasukan Muslimin merupakan inti kekuatan yang melindungi
dan membela agama Allah serta ajarannya. Untuk itu Khalid-lah panglimanya
yang terbesar, yang pernah dikenal sejarah pada masanya.
Di antara mereka itu terdapat sahabat-sahabat yang hafal Qur'an.
Mereka datang dengan jantung yang penuh iman, bahwa berjuang di
jalan Allah dan mempertahankan agama-Nya yang hak adalah kewajiban
pertama bagi orang beriman, merupakan fardu ain bagi setiap orang
yang mengerti. Kalau sudah begitu, tentu tak ada jalan lain. Pertempuran
dahsyat pasti terjadi. Inilah yang akan menjadi teladan, betapa
b'esar dan hebatnya kekuatan iman itu.
Anak Musailimah membakar semangat Banu Hanifah
Sekarang Syurahbil anak Musailimah tampil membakar semangat
tentara Banu Hanifah dengan kata-kata yang benar-benar menggugah
rasa kearaban, dengan segala yang menyangkut kehormatan dan keturunannya.
"Hai Banu Hanifah!!" teriaknya kepada mereka. "Hari ini adalah
hari harga diri kita! Kalau kita kalah, perempuan-perempuan kita akan
mendapat giliran sebagai tawanan, akan dijadikan gundik-gundik. Berperanglah
kamu mempertahankan kehormatan dan keturunan kalian dan
lindungilah istri-istri kalian."
Kemudian diperintahkan agar mereka sudah siap tempur.
Kedua kekuatan itu kini sudah berhadapan. Semangat pihak Muslimin
belum lagi dibakar. Kaum Muhajirin berkata kepada Salim, bekas
budak Abu Huzaifah: "Ada yang masih kautakuti?"
"Kalau begitu celakalah aku sebagai orang yang sudah hafal Qur'an,"
katanya menjawab mereka. Bahkan mereka sudah saling mengejek
dengan percakapan yang lebih buruk lagi. Kaum Muhajirin dan Ansar
menuduh orang-orang Arab pedalaman sebagai pengecut.
"Kami orang-orang kota lebih tahu cara berperang daripada kalian
orang-orang pedalaman," kata orang-orang kota.
"Orang-orang kota tak mampu bertempur dan tidak tahu apa perang
itu," demikian dijawab oleh orang-orang badui itu.
Muslimin mundur dan pasukan Musailimah memasuki kemah Khalid
Karenanya mereka tak dapat bertahan menghadapi pasukan Banu
Hanifah itu, padahal antara keduanya sudah terjadi pertempuran sengit.
Barisan Muslimin sekarang cenderung mengalami kekalahan. Dalam
pada itu Khalid sudah meninggalkan kemahnya. Tetapi pasukan Banu
Hanifah tampaknya sudah berhasil masuk ke dalam kemah Khalid.
Mereka hanya melihat Mujja'ah yang dibelenggu dengan besi dan tak
jauh dari orang ini dilihatnya pula Laila Umm Tamim. Salah seorang di
antara mereka sudah siap dengan pedangnya hendak membunuh Laila
— istri Khalid itu. Tetapi ketika itu juga Mujja'ah berteriak: "He! Aku
yang melindungi dia! Dia perempuan merdeka yang baik. Hadapilah kaum
laki-laki!" Tali-temali tenda kemudian diputuskan oleh tentara itu dan tendanya
dirobek-robek dengan pedang, dengan meninggalkan Mujja'ah dan
Laila yang hanya tercengang menyaksikan semua itu.
Sungguhpun begitu, sebelum pasukan Muslimin mundur, tidak sedikit
dari Banu Hanifah yang sudah terbunuh. Di antara yang pertama
terbunuh ialah Nahar ar-Rajjal, yang ahli Qur'an dan ahli fikih, pengkhianat
dan penipu itu. Begitu tampil di barisan depan dalam pasukan
Banu Hanifah ia disambut oleh Zaid bin Khattab dan langsung dibunuhnya.
Dengan terbunuhnya orang ini, biang keladi yang begitu setia
kepada Musailimah, berakhirlah kini riwayatnya dan riwayat pasukannya
yang selama ini mengancam kaum Muslimin dan menanamkan rasa
takut dalam hati setiap orang yang mencintai agama Allah.
Khalid bin Walid tetap tenang tatkala ia meninggalkan kemahnya.
Sedikit pun ia tak ragu menghadapi tujuannya hari itu. Dia sudah tahu
kekalahan yang menimpa pasukan Muslimin; yakni karena mereka
saling memperolok, saling tak peduli satu sama lain. Kalau tidak demikian
sikap mereka, niscaya mereka menang. Karenanya, tatkala Khalid
melihat ada peluang, ketika kedua pihak dalam keadaan tenang, ia
berteriak sekeras-kerasnya dengan nada geram dan bergelora:
"Saudara-saudara kaum Muslimin! Perlihatkanlah kelebihan kamu,
biar orang tahu keberanian dan kepahlawanan kita, biar orang tahu dari
mana kita datang," Teriakan itu bersipongang ke dalam telinga prajurit-prajuritnya, dan
membuat tersentak dan mereka menyadari keadaan yang sebenarnya.
Khalid puas setelah dilihatnya mereka menunjukkan sikap seperti yang
diperintahkannya itu. Kecurigaan dan saling tak peduli sudah dapat dihilangkan.
Sekarang jalan kemenangan sudah terbuka.
Semangat agama bangkit dalam kalbu pasukan Muslimin
Teriakan Khalid itu telah membangkitkan fanatisma yang kuat sesuai
dengan naluri Arabnya. Pemuka-pemuka Muslimin pun melihat apa
yang telah menimpa mereka. Dalam hati mereka sekarang tumbuh
semangat agama yang membara. Iman telah mengangkat mereka ke
tingkat kehidupan yang lebih tinggi. Yang sekarang tampak jelas dan
tersenyum di hadapan mereka hanyalah mati sebagai syahid. Cahaya
mengantarkan mereka dan membukakan pintu surga abadi. Tuntunan
cahaya ilahi memperlihatkan kepada mereka, bahwa segala kesenangan
hidup, hiburan dunia dan segala tipu muslihatnya akan sia-sia adanya.
Sekarang mereka berbalik, dari kekalahan menjadi suatu tuntutan:
menang atau mati syahid. Ketika itu Sabit bin Qais pemimpin Ansar berkata:
"Saudara-saudara Muslimin, kalian mempunyai suatu kebiasaan
yang amat buruk. Allahumma ya Allah, aku lepas tangan dari apa yang
disembah oleh mereka (menunjuk kepada penduduk Yamamah), dan
aku lepas tangan dari apa yang dilakukan oleh mereka (menunjuk kepada
kaum Muslimin)."
Berkata begitu langsung ia menyerbu ke kancah pertempuran sambil
berteriak: "Inilah aku, akan kuperlihatkan kepadamu cara berperang!"
dilanjutkan dengan terus bertempur mati-matian tanpa merasa gentar.
Sementara ia bertempur itu seluruh badannya sudah penuh luka-luka
dan akhirnya dia mati sebagai syahid. Demikian juga Bara' bin Malik,
dia termasuk pemberani yang luar biasa yang tak kenal lari. Begitu
melihat apa yang telah terjadi, ia terjun sambil berkata: "Mau ke mana
hai Muslimin!? Aku Bara' bin Malik. Mari ke mari bersamaku!" Suaranya
terdengar oleh pejuang-pejuang Muslimin yang lain dan semua
mereka sudah mengenal benar keberaniannya. Sebagian mereka kembali
kepadanya dan melanjutkan pertempuran hingga banyak pula di antara
mereka yang gugur.
Yang ingin mati syahid
Ketika itu angin bertiup kencang dan pasir membubung menutupi
muka Muslimin. Ada sekelompok orang yang berbicara dengan Zaid
bin Khattab tentang apa yang akan mereka perbuat, maka dijawabnya:
"Tidak, demi Allah aku tak akan berbicara sepatah kata pun hari ini
sebelum kita hancurkan mereka, atau sampai aku bertemu Allah dengan
membawa pembuktianku. Tundukkan matamu dan garitkan gigimu dan
hantamlah musuhmu itu lalu teruslah maju." Berkata begitu ia langsung
terjun ke tengah-tengah musuh, bertempur habis-habisan, diikuti anak
buahnya dari belakang. Ketika itu ia memberikan pembuktiannya, ia
kembali kepada Penciptanya, Allah Yang Mahakuasa. Abu Huzaifah
berteriak kepada orang-orang yang berada di sekitarnya:
"Hai keluarga Qur'an, hiasilah Qur'an dengan perbuatanmu!"
Ia sendiri lalu terjun ke padang maut itu sampai juga menemui
ajalnya. Ia kembali ke sisi Allah. Ketika itu juga bendera diambil alih
oleh Salim bekas budak Abu Huzaifah seraya katanya: "Celakalah aku
sebagai yang sudah hafal Qur'an kalau tidak terus bertahan." Dia pun
terjun ke kancah itu dan gugur pula.
Dengan teriakan-teriakan yang keluar dari hati yang penuh iman
itu, jiwa hendak mati syahid serentak bangkit pada prajurit-prajurit Islam
itu semua. Bagi mereka hidup sudah terasa kecil sekali dan mereka
lebih suka mati sebagai para syahid. Dengan sungguh-sungguh mereka
terjun maju semua ke depan. Mereka mengharapkan mati syahid. Sekarang
pasukan Musailirnah yang mundur sampai ke belakang garis pertama.
Pasukan Musailirnah putus asa
Dalam perang itu pasukan Musailirnah tampak sudah mulai putus
asa. Mereka berperang demi tanah air, berperang demi kehormatan nenek
moyang.. Bagi mereka berperang demi suatu keyakinan yang sudah sakit
itu tingkatnya di bawah tanah air, di bawah kehormatan nenek moyang.
Oleh karena itu mereka bertahan terhadap pasukan Muslimin dan memukul
mundur yang dapat mereka pukul, dan mereka bertempur untuk
setiap jengkal tanah, tak beranjak dari sana sebelum berbalik dan berusaha
merebut kembali.
Khalid tidak gentar menghadapi pasukan Banu Hanifah yang berani
mati itu. Bahkan, ketika mendengar teriakan kaum Muslimin dan melihat
tekad mereka begitu gembira menghadapi maut, ia yakin bahwa
sekarang kemudi berada di tangannya, dan kemenangan sudah di ambang
pintu.
Khalid membuat muslihat untuk membunuh Musailimah
Tetapi Khalid ingin sekali bila Muslimin juga menyadari bahwa
kemenangan sudah di ambang pintu seperti yang dilihatnya. Karena ia
tampil memimpin pasukannya dan berkata kepada para pengawalnya:
"Janganlah datang dari belakangku." Lalu ia berteriak dengan moto
pertempuran ketika itu: "Hidup Muhammad!" Dengan tampil dan teriakannya
itu tidak saja ia bermaksud hendak membakar semangat, tetapi
dengan itu ia juga ingin menempuh jalan kemenangan itu lebih cepat
lagi. Dilihatnya orang-orang Banu Hanifah bergelimpangan mati di
sekitar Musailimah. Mati tak mereka pedulikan lagi. Maka Khalid yakin,
jalan pintas untuk mencapai kemenangan itu ialah Musailimah sendiri
yang harus dibunuh. Karenanya, ia dan pasukannya membuat suatu
muslihat sampai berada tak jauh dari tempat Musailimah. Kemudian ia
memancingnya supaya orang itu keluar menghadapinya. Tetapi yang
keluar untuk menemui Khalid saat itu pengawal-pengawal Musailimah.
Namun sebelum mereka mencapai Khalid, pedang Khalid sudah lebih
dulu menyambut mereka dengan maut. Tak sedikit di antara mereka
yang terbunuh. Karena sifat penakutnya yang luar biasa Musailimah merasa rendah
diri. Terlintas dalam pikirannya ingin juga keluar seperti yang Iain-lain.
Tetapi yakin dia, pasti akan terbunuh jika ia keluar. Ragu dia dan
gelisah. Selama dalam kegelisahan dan keraguannya itulah, Khalid dan
pasukannya tiba-tiba menyerangnya dan menyerang orang-orang di
sekitarnya dan yang sudah siap dengan senjata. Ketika itulah kawankawan
Musailimah berteriak: "Mana yang kaujanjikan kepada kami!"
Sambil berlari Musailimah menjawab: "Bertempurlah demi kehormatan
leluhur." Bagaimana mereka akan bertempur sedang dia sendiri sudah
cepat-cepat lari lebih dulu! Tidaklah logis mereka akan mengikuti orang
yang lari seperti mengikuti seorang nabi!
Berlindung dalam kebun
Mereka lari itu dilihat oleh Muhakkam bin Tufail, dan dilihatnya
pula Muslimin mengejar mereka. la berteriak memanggil-manggil: "Hai
Banu Hanifah! Kebun, kebun!" Maksudnya supaya mereka berlindung
ke dalam kebun. Kebun itu tidak jauh dari mereka. Kebun milik Musailimah
ini cukup luas, dikelilingi tembok-tembok yang kukuh seolah
seperti benteng. Kebun ini yang mendapat sebutan "Kebun ar-Rahman"
(Hadiqatur-Rahman). Mereka lari ke tempat itu dan menyelamatkan
diri dari kehancuran setelah ribuan orang jatuh bergelimpangan ke
tanah ditebas oleh pedang Muslimin. Sementara mereka berlarian itu
Muhakkam dan anak buahnya berdiri memberikan perlindungan dari
belakang. Ketika itu, saat ia berusaha merintangi pasukan Muslimin
sambil mengerahkan anak buahnya agar bertahan, dan bersama-sama
bertempur sekuat tenaga dengan mereka untuk membentengi kaumnya
itu, ketika itu juga Abdur-Rahman putra Abu Bakr as-Siddiq melepaskan
anak panahnya yang tepat mengenai tenggorokannya. Orang itu
pun mati. Musailimah dan pengikut-pengikutnya masih bertahan dalam kebun.
Adakah Muslimin akan mengepung mereka sekalipun akan memakan
waktu lama? Tidak! Angkatan perang yang sekarang sedang dimabuk
kemenangan ini menghendaki kemenangan yang sempurna, kemenangan
yang lebih cepat. Oleh karena itu mereka mengelilingi kebun itu mencari-
cari celah untuk membuka gerbang kebun yang begitu kuat itu. Tetapi
tak berhasil.
Bara' memanjat tembok
Saat itu Bara' bin Malik berkata: "Saudara-saudara Muslimin, lemparkan
aku ke tengah-tengah mereka dalam kebun!"
Tetapi yang lain menjawab: "Bara', jangan!" Apa pula yang akan
dilakukan Bara' seorang diri di tengah-tengah ribuan orang yang sedang
mencari perlindungan dari maut dalam kebun itu! Tetapi Bara'
tetap mendesak dan menambahkan:
"Tidak, lemparkanlah aku ke tengah-tengah mereka." Kemudian
mereka mengusungnya ke atas tembok itu. Tetapi setelah dilihatnya begitu
banyak orang di dalamnya, ia malah ragu dan mau mundur seraya
berkata: "Turunkan aku," tetapi segera katanya lagi: "Usunglah aku!" Berkali-
kali ia berkata begitu. Kemudian ia berdiri di atas tembok. Hatinya
berkata: Ini pahlawan Bara', yang segala sepak terjangnya sudah
menjadi buah bibir di seluruh Semenanjung. Ya, kalau dia mundur, orang
akan mengatakan: Punya kemauan tapi tidak berbuat. Kemasyhurannya
sebagai pahlawan akan lenyap. Tadinya sudah maju lalu mundur, akan
jadi bahan ejekan orang. Kalau itu terjadi, tak ada artinya dia. Akan
dikemanakan mukanya! Karenanya, dibuangnya keraguan itu lalu ia
melemparkan diri ke depan pintu kebun Banu Hanifah itu. Ia menyerang
mereka kanan kiri sampai berhasil membuka pintu kebun untuk
pasukan Muslimin, yang kemudian masuk menyerbu ke dalam dengan
pedang terhunus di tangan. Maut sudah membayang di biji mata. Begitu
anggota-anggota keluarga Banu Hanifah itu melihat pasukan Muslimin,
mereka kabur berlarian dalam kebun yang sudah berubah menjadi sebuah
penjara, seperti kambing yang kabur berlarian begitu melihat jagal
datang membawa pisau.
Muslimin menyerbu kebun
Ini menurut satu sumber. Tetapi sumber lain menyebutkan bahwa
pasukan Muslimin ramai-ramai memanjat tembok kebun itu dan berusaha
menyerbu ke pintu. Barangkali Bara' termasuk salah seorang pemanjat
tembok yang terdekat ke pintu, dan ketika terjun ke dalam
kebun dialah yang membukakan pintu buat pasukan Muslimin setelah
ia bertempur melawan siapa saja yang ada dalam kebun itu. Peristiwa
itu terjadi ketika orang-orang yang berlindung dalam kebun itu sedang
sibuk menghadapi lawan yang menghujani mereka dengan panah dari
atas tembok.
Kematian Musailimah
Pasukan Muslimin menyerbu kebun itu dan langsung menyerang
musuh. Pedang-pedang Banu Hanifah itu justru terhambat oleh pepohonan
di sekitar mereka. Sungguhpun begitu tidak mengurangi sengitnya
pertempuran. Korban tidak sedikit di kedua belah pihak, meskipun di
pihak Banu Hanifah dua kali lebih banyak.
Setelah perang Uhud dulu Wahsyi sudah masuk Islam. Orang asal
Abisinia inilah yang dulu membunuh Hamzah, bapak syuhada dalam
perang Uhud itu. Dalam perang Yamamah ini ia juga ikut serta. Tatkala
dilihatnya Musailimah di kebun itu, diayunkannya tombaknya, dan bila
sudah terasa pas, dibidikkannya kepada Musailimah. Bidikannya itu
tidak meleset. Bersamaan dengan itu ada orang Ansar yang juga ikut
menghantam Musailimah dengan pedangnya. Karena itulah Wahsyi berkata:
"Hanya Allah yang tahu siapa di antara kita yang telah membunuhnya."
Ketika itu ada seseorang berteriak: "Yang membunuhnya seorang
budak hitam."1 Semangat Banu Hanifah reda setelah mendengar teriakan
bahwa Musailimah sudah terbunuh. Mereka menyerah tanpa mengadakan
perlawanan lagi. Muslimin terus menghantam mereka. Pada masa
itu tanah Arab belum pernah mengalami pertumpahan darah sehebat
pertempuran di Yamamah itu. Itu sebabnya "Kebun Rahman" ini kemudian
diberi nama "Kebun Maut." Dan nama inilah yang terus dipakai
dalam buku-buku sejarah.
Mujja 'ah menunjukkan mayat Musailimah
Selesai pertempuran atas permintaan Khalid Mujja'ah dibawa dari
kemahnya. Dimintanya ia menunjukkan mayat Musailimah. Sementara
sedang memeriksa mayat-mayat itu, mereka melalui mayat Muhakkam
Muhakkam ini berwajah tampan. Setelah Khalid melihatnya ia bertanya
kepada Mujja'ah: Dia ini kawanmu itu? "Bukan," jawab Mujja'ah.
"Orang ini lebih baik dan lebih terhormat dari dia. Ini Muhakkam."
Mujja'ah dan Khalid memasuki Kebun Maut itu. Mereka lalu di
depan mayat "Ruwaijil Usaifir Ukhainas" itu.
"Inilah orangnya. Kalian sekarang sudah bebas dari dia," kata Mujja'ah.
"Orang inilah yang telah berbuat sekehendak hatinya terhadap kalian,"
sambung Khalid.
Malapetaka yang ditimbulkan Musailimah itu kini sudah berakhir
dan sudah dirabut dari akarnya. Angkatan bersenjatanya pun telah dikikis
habis. Sudah tibakah saatnya sekarang Khalid dan pasukannya harus
beristirahat?
Khalid meneruskan perjuangan
Tidak! Ini bukan watak Khalid. Dan bukan ini pula strategi perangnya.
Strateginya selalu ialah kemenangan itu harus mencapai puncaknya,
supaya jangan timbul akibat yang tak diinginkan kemudian hari.
Wahsyi ini dikenal sebagai budak negro kepunyaan tokoh musyrik Mekah, Jubair bin
Mut'im. Kalau dalam perang Uhud ia berhasil membunuh Hamzah bin Abdul-Muttalib,
paman Nabi, dijanjikan ia akan dimerdekakan oleh Hindun istri Abu Sufyan, juga oleh
Mut'im sendiri. Hindun dan Jubair memikul dendam karena keluarga mereka dulu banyak
yang terbunuh dalam perang Badr. Dengan tombak kecil dan cara serupa seperti yang
dilakukannya terhadap Musailimah ini Wahsyi berhasil membunuh Hamzah. Nabi
Sallalldhu 'alaihi wasallam merasa sedih sekali dengan kejadian ini. Tetapi setelah
pembebasan Mekah Wahsyi datang meminta maaf kepada Nabi, oleh Nabi ia diberi
maaf, dan masuk Islam.
Tak cukup hanya dengan memerangi Banu Asad dan mereka yang
bersekutu dengan Tulaihah, tetapi terus dilanjutkan sampai daerah itu
benar-benar bebas dari segala gangguan. Begitu juga dulu dengan Umm
Ziml dan sisa-sisa pasukannya. Kemudian Banu Tamim, tidak dibiarkannya
sebelum ia dapat mengikis habis setiap orang yang mau meniupkan
api fitnah di daerah itu. Di tempat-tempat lain juga ia lakukan
demikian. Sesudah membereskan mereka yang berlindung di Kebun Maut itu
Abdullah bin Umar dan Abdur-Rahman bin Abi Bakr berkata kepada
Khalid: "Kirimkanlah kami dan beberapa orang untuk menempati benteng
itu." Maksudnya benteng Yamamah. "Aku akan menyebarkan pasukan
berkuda dan menangkapi orangorang
yang ada di luar benteng, sesudah itu nanti aku mengambil keputusan,"
kata Khalid. Khalid menyebarkan pasukan berkudanya, yang kemudian kembali
membawa segala harta benda, perempuan dan anak-anak. Semua itu dibawa
ke markas. Barulali kemudian ia memerintahkan agar berangkat
ke benteng dan membongkar segala yang ada di dalamnya. Dengan
mengadakan pembersihan demikian terhadap Banu Hanifah sejak itu
tak ada lagi perlawanan.
Perdamaian Khalid-Mujja 'ah
Khalid makin percaya kepada Mujja'ah sesudah ia diberi tugas melindungi
Umm Tamim, demikian juga kejujurannya mengenai Musailimah
dan pengikut-pengikutnya. Orang ini datang kepada Khalid mengatakan:
"Yang sudah kauperoleh itu hanya orang-orang baris depan saja; di
dalam benteng masih banyak tokoh-tokoh yang lain. Bersediakah kau
mengadakan perdamaian sehubungan dengan orang-orang yang menjadi
tanggung jawabku?" Khalid memperhatikan angkatan bersenjatanya. Tampaknya mereka
sudah letih sekali dicabik perang, sudah banyak pula di antara pemukapemuka
mereka yang mengalami luka-luka. Mereka ingin kembali membawa
kemenangan yang membanggakan itu. Kalau dengan maksudnya
itu Mujja'ah jujur, menurut hematnya memang sebaiknya mengajaknya
damai, dengan catatan pihak Muslimin tetap menguasai rampasan perang
yang sudah menjadi bagiannya, kecuali separuh dari orang-orang
tawanan. Selanjutnya kata Mujja'ah:
"Sekarang aku akan menemui kaumku dan akan kutawarkan apa
yang sudah kulakukan ini."
la pergi menemui perempuan-perempuan di tempat itu dan katanya
kepada mereka: "Pakailah pakaian besi kalian dan tampillah ke depan
benteng."
Setelah mereka melakukan itu dan Khalid menyaksikannya, ia yakin
bahwa Mujja'ah tidak membohonginya. Tetapi kemudian Mujja'ah
kembali lagi dan berdalih bahwa apa yang sudah dilakukannya itu mereka
tak setuju. Hanya sebagian yang tampil ke depan benteng kemudian
kembali menyatakan pendapat mereka yang sama. Khalid mengalah dari
separuh tawanan yang sudah disetujuinya itu. Tetapi ketika benteng itu
dibuka yang ada hanya perempuan, anak-anak dan orang tua-tua yang
sudah lemah. Khalid menatap Mujja'ah dengan pandangan berang.
"Celaka engkau! Kau mau menipu aku?!"
"Tenanglah," kata Mujja'ah. "Mereka itu kaumku. Aku tak dapat
berbuat lain selain apa yang sudah kulakukan itu."
Khalid sangat menghargai kesungguhan solidaritasnya itu. Kemudian
perjanjian perdamaian disetujui dan orang itu pun dibebaskan.
Disebutkan juga bahwa sebelum diadakan perjanjian dan sebelum
Khalid melihat siapa yang ada dalam benteng itu, Mujja'ah pergi menemui
kaumnya dan menawarkan perjanjian tersebut kepada mereka.
Tetapi Salamah bin Umair dari Banu Hanifah menentangnya.
"Tidak," katanya. "Kita tidak setuju. Kita akan mengajak penduduk
dan budak-budak, kita akan terus berperang, bukan berdamai dengan Khalid.
Benteng kita kuat, makanan cukup dan musim dingin sudah tiba."
"Engkau ini sial!" kata Mujja'ah, "masih hijau, kurang pengalaman.
Engkau keliru mengira aku menipu mereka sampai dapat memenuhi
permintaanku untuk damai. Masih adakah orang dari kita yang dapat
diharapkan atau dapat mempertahankan diri? Aku cepat-cepat bertirdak
demikian sebelum kalian ditimpa malapetaka seperti yang dikatakan
Syurahbil bin Musailimah 'Sebelum perempuan-perempuan kita mendapat
giliran sebagai tawanan, dan dijadikan gundik-gundik.'" Mendengar katakata
itu mereka lebih menyetujui perdamaian dan tidak lagi menghiraukan
kata-kata Salamah bin Umair.
Sural Abu Bakr kepada Khalid
Abu Bakr mengirim seorang utusan untuk menemui Khalid dengan
membawa perintah untuk membunuh semua orang dari Banu Hanifah
yang mampu berperang. Tetapi Khalid sudah mengadakan perdamaian
dengan mereka. Khalid adalah orang yang teguh berpegang pada janji.
Semua anggota keluarga Banu Hanifah dikumpulkan dan dibawa ke
markas Khalid untuk membuat ikrar dan kemudian akan dibebaskan
dari segala kesalahan masa lampau. Setelah membuat ikrar dan mereka
dibebaskan dari perbuatan murtadnya lalu kembali kepada Islam, Khalid
mengutus orang kepada Abu Bakr di Medinah.
"Mengapa kamu sampai merendahkan diri serupa itu?" kata Abu
Bakr kepada para utusan itu begitu mereka sampai ke Medinah.
"Khalifah Rasulullah," kata mereka. "apa yang kami alami sudah
disampaikan kepada Khalifah. Orang itu dan keluarganya memang belum
mendapat karunia Allah."
Jumlah korban di pihak Banu Hanifah
Mungkin timbul pertanyaan dalam hati kita: Bagaimana Khalid
masih mau menerima Mujja'ah padahal sudah menipunya, Khalid yang
kita kenal sangat keras dan tegar itu? Tetapi kemenangan Muslimin
yang sangat meyakinkan membuat Khalid lebih banyak menenggang.
Jumlah korban yang mati di pihak Banu Hanifah sudah melebihi suatu
kemampuan. Konon yang mati di Kebun Maut itu mencapai tujuh ribu
orang, dan sebanyak itu pula mati di medan perang, dan tujuh ribu lagi
mati ketika Khalid melepaskan pasukannya mengadakan pengejaran
terhadap orang-orang yang melarikan diri. Di samping itu dari perdamaian
yang dilakukan dengan Mujja'ah itu Muslimin mendapat rampasan
perang berupa emas, perak, senjata dan seperempat tawanan
perang. Di setiap pedesaan Banu Hanifah, dapat pula kebun dan persawahan
sesuai dengan pilihan Khalid. Kalaupun Mujja'ah sudah berhasil
menyelamatkan masyarakatnya yang masih ada sehingga mereka
yang masih mampu berperang pun tak sampai dibunuh, namun masyarakatnya
itu semua sudah kembali kepada Islam dan mengakui kedaulatan
Abu Bakr. Jika Khalid sudah dapat mencapai semua itu tak
perlu lagi ia marah kepada Mujja'ah atau mengadakan pembalasan karena
tipu dayanya itu.
Jumlah korban di pihak Muslimin
Seperti jumlah korban yang terbunuh di pihak Banu Hanifah, yang
tak pernah terbayang dalam pikiran siapa pun di tanah Arab masa itu,
begitu juga jumlah korban yang terbunuh di kalangan Muslimin, di luar
perkiraan mereka pula. Dari pihak Muhajirin yang terbunuh sebanyak
tiga ratus enam puluh orang, dari Ansar tiga ratus, tak termasuk anggotaanggota
kabilah yang terbunuh. Jumlah yang terbunuh di pihak Muslimin
mencapai seribu dua ratus orang.
Kabilah-kabilah itu diperolok oleh kaum Muhajirin dan Ansar. Mereka
merasa bangga dengan jumlah yang terbunuh itu. Kelebihan Muhajirin
dan Ansar bukan hanya pada jumlah orang yang terbunuh itu saja, tetapi
di antara mereka itu terdapat tiga puluh sembilan orang sahabat
besar dan mereka yang sudah hafal Qur'an. Dan kita pun tahu betapa
besar dan terhormatnya kedudukan mereka di mata kaum Muslimin.
Tetapi ya. Adakalanya malapetaka membawa rahmat! Akibat terbunuhnya
para penghafal Qur'an itulah maka timbul pikiran pada masa Abu
Bakr hendak mengumpulkan Qur'an, sebab pembunuhan seperti yang
terjadi terhadap mereka yang ikut serta dalam ekspedisi Yamamah itu,
dikhawatirkan kelak akan berlanjut kepada yang lain.
Kesedihan Muslimin di Mekah dan di Medinah
Kesedihan Muslimin di Mekah dan di Medinah atas kematian itu
dapat diimbangi hanya karena adanya kemenangan yang telah dikaruniakan
Allah kepada mereka. Ketika Abdullah bin Umar bin Khattab
kembali pulang sesudah berjuang dan bertempur mati-matian di Yamamah,
ayahnya berkata setelah menemuinya:
"Mengapa engkau pulang padahal Zaid sudah meninggal. Tidak
malu kau memperlihatkan muka kepadaku!?"
"Ingin sekali aku seperti dia, tetapi karena aku tertinggal maka Allah
mengaruniakan mati syahid itu kepadanya," kata Abdullah.
Sumber lain menyebutkan bahwa dia berkata: "Dia memohon mati
syahid kepada Allah, dia diberi. Aku sudah berusaha supaya diberikan
kepadaku, tapi tidak diberikan juga."
Kesedihan Umar atas kematian Zaid adiknya itu hanya sebuah contoh
saja dari kesedihan yang umumnya menimpa Mekah dan Medinah
atas gugurnya pahlawan-pahlawan yang telah mati syahid dalam perang
dengan Musailimah itu.
Bagaimana Khalid? Sedihkah dia seperti yang lain? Gentarkah hatinya
menyaksikan mayat-mayat dan melihat banjir darah?! Samasekali
tidak! Kalaulah memang demikian adanya, niscaya tak akan mungkin ia
memegang pimpinan, menjadi panglima ke Irak dan Syam serta yang
pertama meletakkan dasar kedaulatan Islam. Di mana ada jenderal yang
tak tersentak hatinya saat melihat ribuan musuh bergelimpangan, tersungkur
di depan pasukannya?! Tetapi Khalid, Khalid tidak gamang
dan tidak terpengaruh. Malah setelah ia merasa aman dengan kemenangan
itu dan mengadakan persetujuan dengan Mujja'ah dan tampuk
pimpinan sudah diserahkan ke tangannya, ia memanggil Mujja'ah.
"Kawinkan aku dengan putrimu," katanya kemudian.
Sebenamya Mujja'ah sudah mendengar tentang perkawinannya dengan
'Laila Umm Tamim, juga tentang Abu Bakr yang memanggilnya
dan mengecamnya atas perbuatannya yang telah melanggar adat kebiasaan
Arab itu. "Tunggu dulu," kata Mujja'ah. "Engkau mau merusak kekeluargaanku,
dan aku sudah tahu soal keluargamu dengan sahabatmu itu
(maksudnya Abu Bakr)." Kata-kata itu tidak menyenangkan hati Khalid, tetapi dia tak peduli.
Malah ditatapnya orang itu seraya katanya lagi: "He, kawinkan
aku!" Siapa yang dapat menentang perintahnya sesudah kemenangannya
di Yamamah itu. Akhirnya Mujja'ah mau mengawinkan putrinya. Suamiistri
itu tinggal bersama di rumah ayahnya, kemudian dibuatkan kemah
tersendiri di dekat kemah Umm Tamim.
Kemarahan Abu Bakr
Apa yang dilakukan Khalid itu sampai juga kepada Abu Bakr.
Begitu mengetahui ia terkejut sekali; kemudian berubah marah; kemudian
kemarahannya meledak menjadi berang luar biasa. Satu-satunya
pembelaannya dulu ketika Khalid mengawini Laila Umm Tamim bahwa
dia membunuh suaminya bukan untuk mengawini istrinya. Dan kalaupun
dia bersalah, kesalahannya itu karena dia telah melanggar adat
kebiasaan Arab. Melakukan perkawinan serupa itu sungguh suatu perbuatan
yang sangat tercela sekali mengingat darah masih mengalir dan
orang masih dalam suasana berkabung. Bagaimana pula sekarang ia
mengulangi perbuatannya itu di Yamamah, padahal ada sebanyak seribu
dua ratus Muslimin yang terbunuh, sedang dalam peristiwa Malik bin
Nuwairah tak ada seorang pun yang terbunuh! Oleh karena itu, Abu
Bakr, orang yang begitu bijaksana, sudah tak dapat lagi menahan kemarahannya.
Bahkan terdorong oleh keberangan itu ia menulis suratnya
"dengan darah mengalir,"  meminjam kata-kata Tabari yang bunyinya
sebagai berikut: "Demi hidupku, ah anak Umm Khalid! Sungguh engkau orang tak
berakal! Engkau kawin dengan perempuan itu sedang bercak darah
seribu dua ratus Muslim di beranda rumahmu belum lagi kering!"
Setelah surat itu diterima, Khalid merenungkannya sejenak. Sedih
sekali ia karena kemarahan Abu Bakr itu. la menggelengkan kepala
seraya berkata: Ini tentu perbuatan si kidal maksudnya Umar bin
Khattab. Tetapi soalnya, akibat kemarahan Abu Bakr itu, dari pihak
Khalid tak lebih dari sekadar sedih, dan di pihak Abu Bakr tak lebih
dari sekadar marah kepada Khalid dengan surat tersebut.
Apa artinya putri Mujja'ah itu dalam arti merayakan kemenangan
yang harus dirayakan untuk Khalid? Tak lebih dia hanya sebuah persembahan
yang diletakkan di telapak kaki panglima genius itu, yang
telah membasahi bumi Yamamah dengan darah untuk membersihkannya
dari segala kekotoran. Bahkan perempuan itu pun tak lebih dari hanya
salah seorang hamba sahaya penabuh gendang dan menyanyi-nyanyi
gembira pada hari perayaan itu, karena Islam telah kembali seutuhnya
ke dalam perlindungan Islam. Tetapi! Mahaagung Engkau ya Allah! Islam
tidak mengenal perayaan-perayaan semacam ini. Tetapi yang dikenalnya
ialah bahwa kemenangan itu dari Allah, diberikan kepada siapa
saja yang Ia kehendaki. Dan kemenangan kini itu sudah diberikan kepada
Khalid. Maka agama-Nya yang benar telah diperkuat, dan segala
pemurtadan dan kaum murtadnya sudah dihancurkan.
Dengan ekspedisi Yamamah itu Khalid telah berhasil mengikis pemurtadan
dan kaum murtadnya. Dengan demikian sudah saatnya tanah
Arab untuk kembali tenang dan berpegang teguh pada agama Allah.
Jikapun masih ada berita-berita tentang perang pemurtadan di Mahrah,
Oman dan Yaman sesudah Yamamah, semua itu bahayanya tidaklah
sebesar Yamamah. Itu pula sebabnya, sesudah Yamamah sekarang tiba
saatnya buat Abu Bakr untuk hidup lebih tenang, dan Khalid pun sesudah
itu boleh beristirahat. Sekarang Khalid sudah pindah ke sebuah lembah di kawasan Yamamah
yang disebut Lembah Wabr. Putri Mujja'ah dan Umm Tamim
dikumpulkan dalam satu rumah di tempat itu.
Lamakah dia tinggal di tempat itu dan sudah cukupkah beristirahat?
Itulah yang tidak diberitakan kepada kita oleh buku-buku sejarah.
Tetapi strategi Abu Bakr dan strategi Islam masih sangat memerlukan
pedang Khalid. Dan ini yang akan kita lihat sebentar lagi. Sampai
bertemu lagi genius perang, Pedang Allah! Sampai bertemu lagi di tepi
Sungai Furat (Euphrate).
Daerah-daerah yang kembali kepada Islam
Khalid bin Walid sudah berhasil membasmi kaum murtad di kalangan
Banu Asad dan Banu Tamim di daerah-daerah Yamamah. Dan
mereka yang masih hidup di kalangan kabilah-kabilah itu kembali kepada
agama yang benar, kepada Islam. Perkampungan kabilah-kabilah ini di
timur laut tanah Arab sampai ke perbatasan Teluk Persia di sebelah
timurnya, yang letaknya di sebelah utara Medinah dari arah timur, kemudian
menyusur turun sampai ke arah tenggara Mekah. Daerah kekuasaan
yang menyatakan setia kepada Abu Bakr — yang ketika Perang
Riddah dulu hanya terbatas pada kawasan segi tiga, ujungnya di Medinah
dan dasarnya antara Mekah dengan Ta'if— telah membuka jalan
untuk mengembalikan semua itu kepada Islam.
Pembangkangan kabilah-kabilah di daerah utara Medinah tidak begitu
berbahaya dalam arti sampai membawa akibat yang mengkhawatirkan.
Ahli-ahli sejarah pun tak ada yang menyebutkan bahwa penduduk kawasan
itu bersikeras mau murtad dan untuk itu mau berperang seperti
dalam uraian mereka mengenai Banu Asad atau Banu Hanifah di Yamamah.
Tak ada yang dikecualikan dari semua ini selain Dumat al-Jandal
yang dipimpin oleh Ukaidir al-Kindi. Hanya daerah ini yang tetap membangkang
sebelum ditundukkan oleh Khalid bin Walid, dan Ukaidir yang
ditawan diselesaikan. Khalid menaklukkannya ketika dalam perjalanan
ke Irak. Riddah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Perang Riddah ialah tindakan memerangi
kabilah-kabilah atau suku-suku yang murtad dari Islam setelah Nabi Sallallahu
'alaihi wasallam wafat. Di antara pemimpin-pemimpinnya ada yang mengaku nabi, menolak
menunaikan zakat dan mengadakan pemberontakan terhadap pemerintah pusat.

1 komentar: