SAJAH DAN MALIK BIN NUWAIRAH
dari pemuka-pemuka mereka kemudian datang ke Medinah dan
masuk
ke dalam mesjid dengan memanggil-manggil Nabi dari luar
biliknya.
Mereka meminta para tawanan itu dikembalikan dan menyebutkan
juga
peristiwa mereka dengan Nabi di Hunain dulu serta kabilah
mereka yang
terpandang di kalangan orang-orang Arab. Tiba waktu salat
Nabi keluar
menemui mereka. Mereka mengatakan bahwa kedatangan mereka
itu
hendak berlomba dengan Nabi. Tetapi setelah ternyata bahwa
ahli pidato
Nabi lebih unggul ahli pidato mereka, penyairnya lebih
unggul dari penyair
mereka dan suaranya lebih nyaring dari suara mereka, mereka
masuk Islam. Semua tawanan oleh Nabi dibebaskan dan
dikembalikan
kepada kaumnya. Peristiwa ini membuat mereka sangat gembira.
Ketika Rasulullah wafat ada beberapa orang wakil Nabi di
Banu
Tamim, di antaranya Malik bin Nuwairah yang memimpin Banu
Yarbu'.
Para wakil itu berselisih pendapat mengenai apa yang harus
diperbuat
setelah mereka mendapat berita bahwa Nabi telah wafat: akan
menunaikan
zakat itu kepada Abu Bakr, ataukah akan membagi-bagikannya
di
antara sesama mereka. Persaingan mereka ini tampak jelas
sekali dalam
perselisihan itu. Bahkan persaingan ini mengakibatkan
terjadinya saling
bunuh di antara mereka. Yang sebagian mengakui kekuasaan
Medinah,
dan yang sebagian lagi menentang.
Malik bin Nuwairah termasuk orang yang membagikan zakat itu
dan ia menganggap Abu Bakr tidak berhak memungutnya. Dengan
begitu
berarti ia sudah membuat permusuhan dengan Muslimin dan
patut
diperangi.
Kedatangan Sajah kepada Tamim
Sementara mereka sedang berselisih tiba-tiba datang Sajah
bint Haris
dari barat laut Mesopotamia di Irak bersama-sama sekelompok
orang
Taglib dengan membawa pasukan tentara dari kabilah Rabi'ah,
Nimr,
Iyad dan Syaiban. Sajah ini dari kelompok Yarbu' yang masih
termasuk
Banu Tamim. Orang-orang Taglib di Irak masih pernah paman
dari pihak
ibu. Ia kawin dengan kalangan mereka dan tinggal di
tengah-tengah
mereka pula, dan menganut agama Nasrani bersama beberapa
orang di
antara mereka. Seperti juga orang-orang Yahudi dan Nasrani,
ia menaruh
dendam kepada Muhammad dan kepada pengikutnya, sama halnya
dengan pihak Persia dan Rumawi. Dia memang perempuan cerdas,
menempatkan diri sebagai dukun dan tahu bagaimana memimpin
kaum
laki-laki. Setelah ia mendengar Muhammad sudah wafat, ia
mendatangi
golongannya dan kabilah-kabilah di sekitarnya dengan tujuan
hendak rnengerahkan
mereka menyerbu Medinah dan memerangi Abu Bakr.
Sebab kedatangan Sajah dari utara Irak
Beberapa sejarawan berpendapat — adakalanya benar juga
pendapat
mereka — bahwa kedatangan Sajah dari Irak utara ke
Semenanjurig
Arab yang diikuti oleh orang-orangnya dan kabilah-kabilah
sekitarnya,
bukan karena kedukunannya atau karena ambisi pribadi, tetapi
karena
dorongan pihak Persia dan pejabat-pejabatnya di Irak, supaya
pemberontakan
di Semenanjung itu makin berkobar. Maksudnya untuk
mengembalikan
kekuasaan Persia di beberapa terapat yang sudah mulai
menurun setelah Muhammad menempatkan Bazan sebagai wakilnya
di
Yaman, dan yang sebelum itu sebagai penguasa Kisra.
Adakalanya yang juga dibenarkan ialah sumber para sejarawan
yang
berpendapat bahwa Sajah adalah satu-satunya perempuan yang
mendakwakan
diri nabi, sedang biasanya, pada setiap zaman
perempuanperempuan
semacam itu digunakan sebagai mata-mata dan alat propaganda.
Jadi kehadirannya di tanah Arab itu hanya untuk menyebarkan
propaganda pembangkangan, kemudian kembali ke Irak dan
tinggal menetap
di sana. Tidak heran bila Persia memperalatnya untuk
menimbulkan pemberontakan
di tanah Arab. Sebelum itu Persia memandang kawasan itu
ringan, tak perlu diperangi dengan pasukan bersenjata,
walaupun harus
dikembalikan kepada keadaan semula yang terisolasi, sebelum
kekuasaan
Muhammad dan sebelum Islam berkembang di sana. Tak ada yang
lebih
tepat untuk mencapai tujuan itu selain harus mengikis habis
agama baru
ini, yang telah membuat penduduk tahu harga diri, kendati
pihak Persia
tidak menghargainya.
Sikap Banu Tamim terhadap Islam setelah kedatangan Sajah
Sajah datang ke Semenanjung ini karena terpengaruh oleh
keadaan
itu. Wajar saja bila yang menjadi tujuannya yang utama
kedatangannya
ke daerah itu ialah kaumnya sendiri, yakni Banu Tamim.
Kedatangannya
ini sangat mengejutkan mereka, yang saat itu sedang
berselisih
antara sesama mereka: satu kelompok berpendapat zakat harus
ditunaikan
dan taat kepada Khalifah Rasulullah, yang sekelompok lagi
berpendapat sebaliknya, dan ada pula kelompok-kelompok yang
dalam
kebingungan. Akibat perselisihan itu kemudian timbul
perkelahian antara
sesama mereka, kadang keras dan kadang lunak.
Suku Banu Tamim yang melihat kedatangan Sajah ini dan
mengetahui
maksudnya hendak memerangi Abu Bakr, permusuhan antara
kaum murtad dengan Islam makin marak. Mereka yang masih
bertahan
dalam Islam merasa lebih menderita dari sebelumnya. Sekarang
dia
dengan pasukannya yang besar gegap gempita dibandingkan
dengan kelompok-
kelompok mereka yang saling berselisih. Mereka merasa
dikejutkan
dengan kedatangannya yang tiba-tiba sekali itu dan
mengumumkan
kepada mereka kenabiannya dan mengajak mereka beriman
kepadanya. Tentang perempuan ini, adakah mereka juga akan
berkata
seperti yang dikatakan Uyainah bin Hisn tentang Tulaihah?:
"Seorang
nabi perempuan dari Banu Yarbu' lebih baik daripada nabi
dari Kuraisy.
Muhammad sudah mati, tetapi Sajah masih hidup," yang
dengan begitu
mereka akan menjadi pengikut perempuan itu dan bersama-sama
memerangi
Abu Bakr dan kaum Muslimin, — ataukah biarkan saja dia
sendiri
memerangi Abu Bakr? Mungkin dia akan hancur dan kerusuhan
dapat
dibasmi, atau dia yang akan menang yang juga kemenangan
mereka,
sebab mereka masih termasuk keluarga dekatnya. Kemenangan
dan kenabiannya
itu akan menjadi kebanggaan mereka juga.
Sajah dan Malik bin Nuwairah
Sajah sekarang memimpin pasukannya di perbatasan Banu
Yarbu'.
Pemimpin kabilah itu, Malik bin Nuwairah, dipanggilnya dan
diajaknya
berkompromi. Diberitahukannya juga maksudnya hendak menyerbu
Medinah.
Ajakan berkompromi itu oleh Malik disambut tetapi dimintanya
agar ia membatalkan niatnya hendak menyerang Abu Bakr dan
diajaknya
ia memerangi mereka yang berselisih dengan pihaknya di
daerah
Banu Tamim itu. Sajah tampaknya senang dengan pendapatnya
itu, dan
katanya: "Ya, terserah pendapatmu dan orang-orang yang
bersamamu.
Tetapi aku perempuan Banu Yarbu'. Kalau dia seorang raja,
maka dia
raja kamu sekalian."
Bagaimana Sajah cepat-cepat berbalik dari niatnya semula dan
menyetujui
pendapat Malik? Tak ada sumber yang dapat memberi penjelasan
kepada kita mengenai rahasia perubahan itu. Tetapi
sumbersumber
yang ada menyebutkan bahwa Malik adalah orang terpandang,
pahlawan dan penyair. Ia sangat membanggakan diri, seperti
kaumnya,
punya pengikut cukup besar, sedap budi bahasanya dan pandai
bergaul.
Mutammam bin Nuwairah, saudaranya, yang sebagai penyair
kedudukannya
lebih penting dari Malik, tetapi matanya buta sebelah dan
bermuka
buruk. Pernah ia ditawan oleh salah satu suku, dibelenggu
dan
dilemparkan ke halaman. Berita itu sampai kepada Malik. Dia
datang
dengan kendaraannya ke tempat itu menemui mereka. Setelah
memberi
salam, mengajak mereka bicara, tertawa-tawa dan membacakan
sajaksajak,
mereka senang sekali, begitu senangnya mereka sehingga
Mutammam
dibebaskan tanpa tebusan. Pada zaman jahiliah Mutammam
juga pernah ditawan oleh Banu Taglib. Kemudian datang Malik
hendak
menebusnya. Setelah melihat Malik, wajahnya yang tampan
menarik
perhatian mereka. Setelah diajak bicara, tutur katanya juga
menarik.
Tawanan pun itn akhirnya dibebaskan tanpa mau menerima
tebusan.
Adakah Sajah juga merasa puas dengan rupa dan kata-kata
Malik,
seperti yang dilakukan oleh paman-pamannya dari Banu Taglib
dan pendukung-
pendukungnya yang lain? Kita sebutkan semua ini untuk
mengartikan
jauhnya jarak antara Sajah dengan Musailimah. Benar tidaknya
cerita-cerita itu, yang jelas Sajah telah mengundang
pemuka-pemuka
Banu Tamim. Tetapi, kecuali Waki', dari pihak mereka tak ada
yang
mau berkompromi dengan Malik. Oleh karena itu Sajah dengan
pasukannya
dan pasukan Malik dan Waki' menyerang satuan-satuan mereka
dan mereka segera terlibat dalam pertempuran yang
mengakibatkan
banyak jatuh korban dari kedua belah pihak, dan yang
sebagian saling
menahan tawanan perang. Kemudian mereka damai kembali dan
dilanjutkati
dengan saling menukar tawanan. Perdamaian pun kembali pada
Banu Tamim.
Hancurnya Sajah di Nibaj
Dengan memimpin pasukan Mesopotamia itu niat Sajah bangkit
lagi hendak menghadapi Abu Bakr. Tetapi Malik dan Waki'
sudah
berdamai dengan kaumnya setelah melihat kebencian mereka
yang
telah menjadi pengikut nabi palsu itu. Sajah sudah sampai di
Nibaj.
Di sini ia berhadapan dengan Aus bin Khuzaimah dan Sajah
dapat
dikalahkan. Kemudian mereka saling bertukar tawanan dan
diajaknya
berdamai dengan syarat tak boleh ke Medinah menyeberangi
daerah
Aus. Pada waktu itu pemimpin-pemimpin Semenanjung itu
berkumpul
dan mereka berkata:
"Apa perintahmu kepada kami. Malik dan Waki' sudah
berkompromi
dengan kaumnya dan mereka tidak akan membela dan membiarkan
kita
melalui daerah mereka. Mereka sudah mengadakan perjanjian
dengan
kami."
Tetapi Sajah menjawab: "Yamamah."
Mereka mengingatkan, bahwa pengaruh pihak Yamamah sangat
kuat dan bahwa pengikut Musailimah besar. Di sini ada cerita
beredar
yang menyebutkan bahwa dalam hal ini Sajah berkata:
"Tugas kamu
berangkat ke Yamamah, Berjalanlah beriring seperti merpati,
Itulah perang
yang sengit, Setelah itu kamu tak akan menyesal."
Tak ada jalan lain setelah dibacakan sajak mantra yang
mereka kira
wahyu itu, selain harus tunduk.
Berangkat ke Yamamah
Kenapa ia berbalik akan pergi ke Yamamah setelah kaumnya
sendiri,
Banu Tamim, mengkhianatinya dan mengkhianati perjalanannya
hendak
menyerbu Abu Bakr? Tak adakah orang-orang di sekitarnya yang
mau
memberikan pendapat kepadanya? Ataukah mereka memang sudah
percaya
pada kenabiannya dan segala kekonyolan yang dikatakannya
wahyu
itu dan mereka tidak lagi ragu mengikutinya?
Sebenarnya segala cerita tentang Sajah ini memang aneh
semua.
Segala yang diceritakan orang mengenai dirinya lebih
menyerupai ceritacerita
rekaan. Disebutkan bahwa setelah ia dan pasukannya sampai di
Yamamah, Musailimah takut dan khawatir, bahwa bila ia sibuk
menghadapinya,
ia akan dikalahkan oleh pasukan Muslimin atau oleh kabilah-
kabilah berdekatan. Karenanya ia memberikan hadiah kepada
Sajah
yang dikirimkan sebagai tanda meminta keamanan untuk dirinya
sampai
ia datang menemui perempuan itu. Sajah dan pasukannya
berhenti di
sebuah mata air dan Musailimah diizinkan datang. Setelah
datang dengan
empat puluh orang dari Banu Hanifah, ia berbicara berdua
dengan
Sajah dan ia mengatakan kepada Sajah, bahwa tadinya ia
berpendapat
bumi ini separuh untuk Kuraisy, tetapi orang-orang Kuraisy
itu kejam.
Oleh karena itu, biarlah separuh bumi ini untuk Sajah.
Perkawinan Musailimah dengan
Sajah
Musailimah membacakan sebuah sajak yang sangat menyenangkan
hati perempuan itu. Dia pun membalasnya dengan sajak serupa.
Setelah
itu mereka berdua berbincang-bincang lama sekali. Ternyata
Sajah sangat
mengagumi Musailimah dan mengagumi tutur katanya yang serba
manis. Rencananya mengenai kaumnya juga menarik
perhatiannya, dan
dengan begitu akhirnya ia mengakui keunggulannya. Setelah
Musailimah
menawarkan agar kenabiannya digabung saja dengan kenabian
Sajah
dan mengadakan ikatan perkawinan antara keduanya, hatinya
goyah
juga dan lamaran itu pun diterima.
Sekarang Sajah pindah ke kemah Musailimah dan tinggal
bersama
selama tiga hari. Setelah kembali kepada masyarakatnya
sendiri, Sajah
mengatakan bahwa ia melihat Musailimah benar, dan karenanya
ia menikah
dengan laki-laki itu.
Dua sembahyang dicabut untuk kaumnya sebagai maskawin
Tetapi setelah kaumnya tahu perkawinan itu tanpa maskawin,
mereka
'berkata kepada Sajah: "Kembalilah kepadanya. Tidak
baik orang seperti
kau kawin tanpa maskawin." Setelah Sajah kembali,
Musailimah menutup
pintu bentengnya dan hanya mengutus orang menanyakan apa
maksudnya. Kemudian ia mencabut dua macam sembahyang demi
menghormati
Sajah, sembahyang malam dan sembahyang subuh. Dengan
demikian persoalan mereka berdua selesai dengan ketentuan
separuh
penghasilan Yamamah akan dibawa oleh Sajah dan yang separuh
lagi
akan dikirim sesuai dengan isi persetujuan. Sajah membawa
penghasilan
itu kemudian ia kembali ke Mesopotamia. Beberapa orang
ditinggalkan
di tempat itu untuk membawa yang separuh lagi. Tetapi
orang-orang itu
hanya sekadar menunggu kedatangan pasukan Muslimin yang
kemudian
menyerang Musailimah dan membunuhnya. Selama itu Sajah tetap
di
Taglib hingga kemudian dipindahkan oleh Muawiyah ke Banu
Tamim
tatkala terjadi musim paceklik dan dia tinggal di sana
sebagai seorang
Muslimah yang baik hingga matinya.
Tentang Sajah yang aneh
Demikianlah cerita tentang Sajah bint Haris. Seperti saya
sebutkan
di atas, yang memang aneh sekali ceritanya. Adakah yang
lebih aneh
daripada petualangannya yang keluar dari Mesopotamia untuk
memerangi
Abu Bakr, kemudian begitu cepat membatalkan niatnya setelah
berbicara dengan Malik bin Nuwairah. Setelah itu berbalik
pergi ke
Yamamah hendak menemui Musailimah lalu kawin dengan
laki-laki itu
dan kembali lagi ke daerahnya, dan selanjutnya tinggal
dengan sesama
kaumnya seolah ia tak pernah keluar dari lingkungannya itu
dan tak
pernah kawin dengan orang luar!
Tetapi apa yang terjadi dengan Musailimah lebih aneh lagi.
Kalaupun
benar ia telah kawin dengan perempuan itu, tentu itu
merupakan
suatu bukti kemahirannya dalam politik serta kepandaiannya
merajuk
hati orang. Ia sudah ingin melepaskan diri dari Sajah gurta
melapangkan
jalan dalam memerangi kabilah-kabilah di sekitarnya dan
Muslimin
yang diutus oleh Abu Bakr untuk memeranginya. Dilihatnya
perempuan
itu begitu lemah dan sifat betinanya cukup menggoda hatinya.
Setelah
perempuan itu menyerah dan mengikutinya, ditinggalkannya
begitu saja.
Sebenarnya pembicaraan perempuan ini dengan Malik bin
Nuwairah
kemudian dengan rekannya yang mengaku nabi itu, membuktikan
bahwa
di samping ia pandai membaca sajak-sajak mantra dalam
kapasitasnya
sebagai dukun, juga sebagai perempuan ia sangat lemah
lembut. Kebalikannya
Musailimah, seorang laki-laki bersosok kecil, kerdil,
tampangnya
tidak menarik selain tutur katanya yang manis, tidak banyak
tertarik pada perempuan atau pada kecantikannya. Oleh karena
itu,
salah satu ketentuan yang diterapkan pada kaumnya ialah
barang siapa
mempunyai anak laki-laki tak boleh ia mendekati istrinya
kecuali jika
anak itu mati. Kalau anaknya meninggal, ia boleh mencampuri
istrinya
untuk memperoleh anak lagi. Maka barang siapa sudah
mempunyai
anak laki-laki, semua perempuan diharamkan buat dia!
* * *
Malik setelah hancurnya Tulaihah
Sementara peristiwa Musailimah dan Sajah ini terjadi di
Yamamah,
Khalid bin Walid naik ke Buzakhah dan mengadakan serangan.
Mereka
yang sadar dan bertobat dikembalikan kepada Islam, dan yang
membunuh
orang Islam atau memusuhinya dijatuhi hukuman, dan berakhir
dengan perang menghadapi Umm Ziml hingga dapat diporakporandakan,
seperti halnya dengan pasukan Tulaihah yang akhirnya
melarikan
diri. Berita tentang Khalid ini sudah tersebar luas, yang
kemudian sampai
juga kepada Malik bin Nuwairah di Butah, yang membuatnya
gelisah
dan kebingungan. Dia termasuk yang menolak zakat dan
bersama-sama
dengan Sajah menentang Muslimin yang tinggal di kalangan
Banu Tamim.
Dengan tindakan itu berarti mereka telah melakukan
permusuhan terhadap
Muslimin, dan dengan demikian boleh diserang. Sekarang apa
yang harus mereka lakukan setelah pasukannya dan pasukan
Sajah
mengalami kegagalan dan kehancuran? Tetapi Waki', temannya,
yang
sudah kembali kepada Islam dan mengeluarkan zakat, melihat
Malik
telah salah bertindak. Sebaliknya Malik masih dalam
kebingungan: meninggalkan
apa yang sudah dilakukannya itu dan kembali kepada Islam
bersama-sama dengan Abu Bakr seperti ketika dengan Muhammad
serta
menunaikan kewajiban salat dan zakat, ataukah akan tetap
bertahan dengan
Sajah seperti sekarang. Segala persoalan memang di tangan
Allah!
Khalid memutuskan akan ke Butah dan sikap Ansar
Tugas Khalid selesai sudah menghadapi Banu Asad dan Gatafan
serta kabilah-kabilah sekutunya yang masih tersisa setelah
mereka semua
kembali kepada Islam dan tunduk kepada pemerintahan Medinah.
Sekarang dia memutuskan akan berangkat ke Butah menghadapi
Malik
bin Nuwairah dan kawan-kawannya yang masih ragu. Niatnya ini
diketahui
oleh Ansar. Dengan agak maju mundur mereka berkata:
"Bukan ini yang ditugaskan Khalifah kepada kami. Kami
mendapat
tugas; bila sudah selesai urusan di Buzakhah dan sudah kita
bebaskan
negeri itu, kami diminta tinggal sampai ada surat buat
kami." .
Khalid menjawab: "Kalau itu yang ditugaskan kepada
kalian, aku
mendapat tugas supaya meneruskan perjalanan. Di sini aku
yang menjadi
dan keputusan ada di tanganku. Sekalipun aku menerima
surat atau perintah tetapi aku melihat ada kesempatan. Kalau
kuberitahukan
kesempatan itu akan hilang; maka aku tidak akan
memberitahukan
sebelum aku dapat menggunakan kesempatan itu..." Lalu
ia
pergi bersama pasukannya, kecuali orang-orang Ansar, dan dia
menuju
Butah.
Malik bin Nuwairah menasihati kaumnya agar kembali kepada Islam
Kalangan Ansar sudah merasa jemu juga dengan keadaan semacam
itu. Mereka bermusyawarah, dan kemudian mengambil keputusan
hendak
menyusulnya. Oleh karena itu mereka berkata: Kalau Khalid
beruntung,
kamu tak akan ikut mengalaminya; kalau dia dan pasukannya
mendapat
malapetaka kalian akan dijauhi orang.
Kemudian mereka mengutus orang kepada Khalid memintanya
menunggu
sampai mereka dapat menyusul dan pergi bersama-sama. Setelah
mereka di Butah tak seorang pun dijumpainya. Malik bin
Nuwairah
telah melepaskan kaumnya ke rumah masing-masing dan melarang
mereka berkumpul.
"Hai Banu Yarbu'," katanya kepada mereka,
"Dulu kita telah menentang
pemimpin-pemimpin sendiri kita tatkala mereka mengajak kita;
dan kita berusaha merintangi orang jangan mengikuti mereka,
tetapi
ternyata tak berhasil. Setelah kupertimbangkan, aku
berpendapat sebaiknya
kita bersiap-siap tanpa terlalu banyak urusan. Hal ini sudah
ada
yang mengurus. Janganlah kalian mencari-cari permusuhan
dengan golongan
yang sudah diperlakukan dengan baik." Dinasihatinya
mereka
agar kembali kepada Islam dan tinggal di rumah
masing-masing, dan
dia sendiri pun pulang ke rumahnya.
Karena di Butah Khalid tidak menemukan orang, pasukan itu
terpencar
dan diperintahkannya supaya membawa orang yang tidak mau
memenuhi seruan Islam, dan kalau menolak supaya dibunuh.
Sedang
pesan Abu Bakr, bila pasukan Muslimin memasuki suatu
pemukiman
supaya menyerukan azan. Kalau mereka menyambut seruan itu,
janganlah
mereka diganggu, dan kalau tidak bunuhlah sebagian dan
rampaslah.
Jika kemudian mereka menerima ajakan Islam, tanyakanlah
tentang
zakat, kalau mereka setuju terimalah dari mereka, kalau
menolak perangilah
mereka.
Pasukan Khalid membawa Malik
Pasukan itu membawa Malik bin Nuwairah dan beberapa orang
lagi
dari Banu Yarbu' kepada Khalid. Dan yang seharusnya terjadi
setelah
itu ialah jika Malik dan kawan-kawannya menerima Islam,
Khalid harus
memperlakukan mereka sebagai orang yang sudah tobat. Tetapi
yang
terjadi Khalid memerintahkan siroaya Malik dibunuh. Dan
pembunuhan
inilah yang telah menimbulkan gejolak berkepanjangan di
Medinah, sebelum
dapat diredakan. Dampak inilah yang berpengaruh dalam
kebijaksanaan
Umar bin Khattab terhadap Khalid bin Walid setelah kemudian
ia memangku jabatan Khalifah. Itu pula sebabnya,
cerita-cerita
sekitar kematian Malik bin Nuwairah itu jadi
berpanjang-panjang dan
berlain-lainan.
Terbunuhnya Malik dan cerita-cerita di sekitar ini
Konon pimpinan militer yang membawa Malik dan teman-temannya
itu berselisih pendapat: adakah Malik dan golongannya itu
mengakui
Islam dan menyambut seruan azan, atau mereka ingkar dan
pura-pura
tak peduli? Dengan mengacu kepada Abu Qatadah al-Ansari yang
menjadi salah seorang pimpinan pasukan itu at-Tabari
menyebutkan
bahwa ia menceritakan bahwa setelah mendatangi mereka malam
hari
mereka terkejut dan senjata pun mereka ambil. Kami berkata:
kami
Muslimin. Mereka menjawab: Kami juga Muslimin. Lalu kami
berkata:
mengapa kamu bersenjata? Mereka berkata kepada kami: mengapa
kamu juga bersenjata? Kami berkata: kalau begitu letakkanlah
senjata.
Mereka pun meletakkan senjata. Lalu kami salat, dan mereka
pun salat.
Sampai di sini sumber-sumber itu masih senada. Dan dari sini
pula
mulai timbul perbedaan. Abu Qatadah berkata: mereka
menyetujui zakat
dan segala ketentuannya. Yang lain berkata: Mereka tidak
mengakui dan
berkeras menolaknya. Apa yang dilakukan Khalid menghadapi
perbedaan
antara saksi-saksi mata itu, dan bagaimana ia mengambil
keputusan?
Terbunuhnya Malik dan kaumnya karena salah paham
Ada sumber yang menyebutkan bahwa ia memerintahkan supaya
Malik dan kawan-kawannya itu dipenjarakan sementara perkara
mereka
akan diperiksa. Mereka dipenjarakan waktu udara malam dingin
sekali,
makin larut malam udara makin dingin. Merasa kasihan melihat
mereka
Khalid memerintahkan seraya berseru: "Berikanlah
pendiangan1 kepada
tawanan-tawanan itu!" Dalam bahasa suku Kinanah
kata-kata itu berarti
pembunuhan, sementara pengawal-pengawal itu dari suku
Kinanah tersebut.
Mendengar perintah itu mereka mengira bahwa yang dimaksudkan
Khalid supaya mereka dibunuh, lalu mereka dibunuh. Mendengar
ada ribut-ribut Khalid keluar. Tetapi mereka sudah dihabisi.
Maka ia
berkata: "Jika Allah menghendaki sesuatu maka akan
terjadi juga."
Dialog Malik dengan Khalid
Sumber kedua menyebutkan bahwa Khalid mengundang Malik
berdiskusi
untuk mengetahui kedua kesaksian itu, mana yang benar:
kesaksian
tentang keislamannya, atau tentang kegigihannya mau jadi
murtad
atau menolak membayar zakat. Sementara mereka berdiskusi itu
Malik
mengoreksi Khalid dengan berkata: "Harapan yang
diberikan teman
kamu itu karena ia berkata begini dan begini." Khalid
menjawab:
"Bukankah dia termasuk temanmu?" Kemudian
diperintahkan supaya
dia dan teman-temannya dibunuh. Mengomentari percakapan
antara Khalid dengan Malik itu Abul-
Faraj dalam al-Agani
mengatakan sebagai berikut: "Ibn
Sallam berkata:
Orang yang tidak menerima alasan Khalid mengatakan bahwa
Malik
berkata kepada Khalid: "Atau dengan itu engkau
diperintah oleh temanmu
itu yakni Rasulullah Sallalldhu 'alaihi wasallam ia menginginkan
kepahlawanan." Dan orang yang menerima alasan Khalid
mengatakan
bahwa ia ingin menghilangkan soal kenabian dengan alasan
kata-kata dalam puisi Malik sendiri: Aku berkata ambillah
harta kamu tanpa merasa takut
Tanpa melihat apa yang akan terjadi besok Jika ada orang
yang menakut-nakuti
Kita tolak dan kita katakan: agama adalah agama Muhammad.
Yakni bahwa dia menolak membayar zakat dan berkata kepada
kaumnya, ambil sajalah harta kamu; agama itu agama Muhammad,
bukan
agama Abu Bakr. Tetapi Ibn Khali ikan menyebutkan tentang
percakapan kedua orang
itu sebagai berikut: "Maka Malik berkata, 'Aku dapat
menerima salat,
tapi zakat tidak,' yang dijawab oleh Khalid, 'Engkau tidak
tahu bahwa
salat dan zakat satu sama lain tak dapat dipisahkan?!'
'Sahabatmu itu memang mengatakan begitu,' jawab Malik.
'Jadi engkau tidak melihatnya sebagai sahabatmu juga!' Demi
Allah!
Aku memang sudah berniat memenggal lehermu. Kemudian setelah
mereka
lama berdebat, Khalid berkata: 'Akulah yang akan
membunuhmu.'
'Memang begitu perintah sahabatmu itu?' 'Sungguh aku akan
membunuhmu.'
Lalu dikeluarkan
perintah dan dia pun dibunuh."
Sebagian ada yang lebih memperkuat suraber ini dari yang
pertama. Tetapi mereka yang memperkuat itu melihat ada
kelemahan
dalam sumber itu. Mereka berpendapat bahwa jika tidak
lengkap akan
bertentangan dengan sikap Khalid dalam menghadapi Qurrah bin
Hubairah, Fuja'ah as-Sulami dan Abu Syajrah dan sebangsanya
yang
sudah kita ceritakan di atas. Mereka dikirimkan kepada Abu
Bakr untuk
meminta pendapatnya. Kesalahan Malik bin Nuwairah tidak
lebih besar
dari kesalahan mereka; mengapa ia dibunuh dan tidak
dikirimkan
kepada Khalifah, padahal kedudukannya di kalangan Banu Tamim
lebih
penting daripada kedudukan siapa pun dari mereka!
Mempertalikan pembunuhan Malik dengan Khalid yang mengawini istrinya
Puncak cerita itu menurut pendapat mereka bahwa Khalid telah
mengawini Umm Tamim, istri Malik pada hari pembunuhannya itu
dan
bumi pun belum kering dari darahnya. Ini samasekali
bertentangan
dengan tradisi Arab. Mereka hendak mempertalikan pembunuhan
Malik
itu dengan perkawinan Khalid dengan istrinya, dan menjadikan
perkawinan
itu sebagai motif pembunuhannya. Mungkin mereka benar,
tapi mungkin juga salah. Dalam kitab Tdrikh-nya Ya'qubi menyebutkan: Malik bin Nuwairah
menemuinya dan berdiskusi, disertai istrinya. Khalid kagum
melihat istrinya
itu, lalu katanya: "Aku tak akan memperoleh apa yang
ada padamu
itu sebelum kubunuh engkau. Ia melihat kepada Malik lalu
membunuhnya
dan mengawini istrinya." Dalam al-Agdni Abul-Faraj menyebutkan:
"Setelah Sajah mendakwakan diri nabi, Malik menjadi
pengikutnya,
kemudian ia memperlihatkan diri bahwa dia Muslim. Maka oleh
Khalid
ia dibunuh. Ada sekelompok sahabat yang mengecam tindakannya
itu,
sebab setelah itu ia mengawini istri Malik. Memang ada juga
yang mengatakan
bahwa ia sudah mencintainya sejak zaman jahiliah. Karenanya
ia dituduh membunuh seorang Muslim supaya kemudian dapat
mengawini
istrinya." Abul-Faraj juga menceritakan dengan
mengatakan "Muhammad
bin Sallam berkata: "Suatu hari Yunus mengatakan
kepadaku sementara
aku menggoda perempuan Tamim itu untuk Khalid tetapi aku
memaafkannya.
Lalu katanya kepadaku: Abu Abdullah, engkau belum mendengar tentang
betis
Umm Tamim! Kata orang belum pernah ada orang yang melihat
betis seindah itu."
Sikap Laila tentang dialog Malik dengan Khalid
Atas peristiwa ini kemudian terjalin cerita-cerita dengan
lukisan
yang lebih menyerupai cerita rekaan karya sastra daripada
kejadian
sejarah yang sebenarnya. Laila mendampingi suarainya yang
ketika itu
sedang berdialog dengan Khalid. Setelah didengarnya Khalid
berkata
kepada suaminya 'Akulah yang akan membunuhmu', ia bersimpuh
di kaki
penakluk itu mengharapkan ampun, dengan rambut yang sudah
terurai
ke bahunya dan air mata bersimbah membasahi kelopak matanya,
sehingga
sepasang mata itu tampak makin jelita. Khalid menatap
wajahnya
yang cantik itu, sementara perempiian itu mengerling
kepadanya
memohonkan belas kasihan, dengan pandangan penuh cinta dan
rasa
kagum. Malik berteriak: 'Aku pasti dibunuh!' Khalid
menjawab, 'Bukan
karena ini, tetapi hukuman ini berlaku karena kekufuranmu.'
Lalu diperintahkannya
agar orang itu dibunuh. Bukan maksud kita hanya sampai pada
cerita rekaan sastra dengan
segala pemeriannya itu saja, tetapi yang pasti Laila memang
mengagumi
Khalid, dan karenanya sesudah itu Khalid menahannya dan
tidak melepaskannya
kendati perkawinan itu akan menimbulkan kesulitan buat dia
sendiri.
Kemarahan Abu Qatadah al-Ansari
Barangkali kita sudah dapat memperkirakan betapa besarnya
kesulitan
itu bila kita mengetahui bahwa Abu Qatadah al-Ansari sampai
begitu marah karena perbuatan Khalid yang membunuh Malik dan
mengawini
istrinya itu. Khalid ditinggalkannya dan ia pergi ke
Medinah,
dengan bersumpah tidak sekali-kali lagi mau berada di bawah
satuan
Khalid. Kita tahu apa yang sudah disebutkan dalam sumber
itu, bahwa
pasukan Khalid yang telah memenjarakan Malik dan
teman-temannya
itu mereka itulah yang menghabiskan riwayatnya tatkala
mendengar
perintah Khalid, "Berikanlah pendiangan kepada
tawanan-tawanan itu"
dan bahwa Khalid marah sekali karenanya, yang kemudian
berkata:
"Jika Allah menghendaki sesuatu maka akan terjadi
juga." Sumbersumber
itu menambahkan bahwa Abu Qatadah menduga, apa yang terjadi
itu hanya muslihat Khalid saja, dan menemuinya seraya
berkata:
"Inilah perbuatanmu," tetapi Khalid membentaknya
dan ia pun pergi ke Medinah.
Percakapan Abu Qatadah dengan Abu Bakr
Yang lain menyebutkan bahwa Abu Qatadah pergi ke Medinah
setelah
Khalid mengawini Laila, dan bahwa Mutammam bin Nuwairah,
saudara Malik juga pergi bersama-sama. Sesampainya di
Medinah, masih
dalam keadaan marah Abu Qatadah menemui Abu Bakr.
Dilaporkannya
soal Khalid yang membunuh Malik serta perkawinannya dengan
Laila
itu, dan ditambahkannya bahwa ia sudah bersumpah tak akan
mau lagi
berada di bawah komando Khalid. Tetapi Abu Bakr sangat
memuji
Khalid dan kemenangan-kemenangannya itu. la tidak senang
dengan
sikap Abu Qatadah, bahkan ia merasa heran mengapa berkata
demikian
tentang Saiful
Islam — Pedang Islam.
Umar bin Khaltab mendukung Abu Qatadah di depan Khalifah
Adakah kemarahan Khalifah itu membuat hati Abu Qatadah jadi
kecut lalu diam? Tidak! Ia memang marah besar kepada Khalid.
Ia menemui
Umar bin Khattab dan melaporkan segala peristiwa itu;
dilukiskannya
Khalid sebagai orang yang telah mengalahkan kewajibannya
dengan nafsunya. Karena memperturutkan keinginannya ia
menggampangkan
hukum Allah. Umar mendukung pendapatnya itu dan ia juga
mengecam Khalid. Umar pergi menemui Abu Bakr. Ia marah
sekali karena perbuatan
Khalid itu, dan dimintanya supaya Khalid dipecat.
"Pedang Khalid itu sangat tergesa-gesa,' dan harus ada
sanksinya,"
katanya. Abu Bakr tak pernah menjatuhkan sanksi pejabat-pejabatnya.
Itu sebabnya, ketika Umar mendesak berulang kali ia berkata:
"Ah, Umar! Dia sudah membuat pertimbangan tapi salah.
Janganlah
berkata yang bukan-bukan tentang Khalid." Umar tidak
puas dengan
jawaban itu dan tidak pula henti-hentinya berusaha supaya
usulnya itu
dilaksanakan. "Umar!" kata Abu Bakr yang mulai
merasa kesal karena desakan
Umar itu, "aku tak akan menyarungkan pedang yang oleh
Allah sudah
dihunuskan kepada orang-orang kafir!"
Kemarahan Umar atas perbuatan Khalid
Tetapi Umar melihat perbuatan Khalid itu tak dapat diterima.
Perasaan
dan hati kecilnya menolak. Bagaimana ia akan diam, bagaimana
akan membiarkan Khalid tenang-tenang begitu saja, merasa tak
pernah
berbuat kesalahan, tak pernah berdosa! Ia harus mengulangi
lagi katakatanya
kepada Abu Bakr dan mengatakannya terus terang, bahwa
musuh Allah ialah orang yang melanggar hak seorang Muslim
lalu
membunuhnya dan mengawini istrinya. Samasekali tidak jujur
perbuatan
demikian itu jika tidak dijatuhi hukuman. Menghadapi
kemarahan
Umar itu tak ada jalan lain buat Abu Bakr harus memanggil
Khalid dan
menanyakan segala yang diperbuatnya itu.
Tatkala kemudian Khalid datang dari medan perang ke Medinah,
dan masuk ke mesjid dengan perlengkapan perang, mengenakan
pakaian
luar berbercak karat besi, di ikat kepalanya diselipkan
beberapa anak
panah. Begitu dilihatnya melangkah ke dalam mesjid, Umar
berdiri, direnggutnya
anak panah itu dari kepalanya dan diremukkannya seraya
berkata: "Engkau membunuh seorang Muslim kemudian
mengawini istrinya
heh! Sungguh akan kurajam engkau dengan batu!"
Khalid diam, tidak melawan dan tidak berkata sepatah kata
pun.
Menurut dugaannya, Abu Bakr pun akan sependapat dengan Umar.
la
terus menemui Abu Bakr dan dilaporkannya keadaan Malik dan
pembelaannya
terhadap Sajah serta sikapnya yang maju mundur setelah itu.
Pelbagai alasan dikemukakannya mengenai pembunuhan itu. Abu
Bakr
memaafkannya dan dapat memahami atas segala kejadian yang
masih
dalam suasana perang itu. Tetapi ia mendapat teguran keras
karena perkawinannya
dengan seorang perempuan sementara darah suaminya belum
lagi kering. Dalam perang orang Arab sangat menjauhi
perempuan, dan
berhubungan dengan mereka selama itu dipandang sangat
tercela.
Khalid keluar dari tempat Khalifah dengan tetap sebagai
seorang
pemimpin pasukan. Ia bersiap-siap akan kembali kepada mereka
dan
akan memimpin mereka ke Yamamah.
Ketika melewati Umar yang masih ada di mesjid Khalid
berpaling
kepadanya seraya berkata: "Marilah, anak Umm
Salamah!"
Ia mengeluarkan kata-kata itu dengan pandangan mata mengejek,
dan nada suaranya menyiratkan kemenangan seolah ia hendak
berkata:
simpanlah batu-batumu itu, dan rajamkanlah kepada orang
lain.
Umar yakin sudah bahwa Abu Bakr telah memaafkannya dan
rupanya
ia diterima dengan baik. Sekarang giliran Umar yang diam.
Hari itu
persoalan antara kedua orang itu selesai sudah dengan
sekadar tukarmenukar
kata-kata.
Sikap Umar terhadap Khalid setelah menjadi Khalifah
Pendirian Umar tidak berubah apa pun yang telah dilakukan
Khalid.
Setelah Abu Bakr wafat, dan Umar kemudian dibaiat sebagai
penggantinya,
yang pertama sekali dilakukan ialah mengutus orang ke Syam
mengabarkan kematian Abu Bakr, dan bersamaan dengan utusan
yang
membawa berita itu dibawanya pula sepucuk surat keputusan
memecat
Khalid dari pimpinan militer. Ketika kembali ke Medinah
Khalid langsung
menegurnya atas pemecatannya itu.
"Aku memecat engkau bukan karena menyangsikan
engkau," jawab
Umar. "Tetapi orang banyak akan terpengaruh kepadamu,
maka aku
khawatir engkau pun akan terpengaruh oleh mereka."
Alasan itu masuk
akal juga. Tetapi ahli-ahli sejarah umumnya sependapat bahwa
Umar
masih terpengaruh oleh pendiriannya yang dulu juga, tentang
Khalid
yang membunuh Malik bin Nuwairah serta mengawini istrinya
itu. Dan
pendirian ini berdampak juga pada pemecatan Khalid.
Mutammam setelah pembuniihan saudaranya
Usaha Mutammam bin Nuwairah tidak pula kurang dari usaha Abu
Qatadah sejak ia tiba di Medinah. la menuntut diat (uang
tebusan) atas
kematian Malik itu kepada Abu Bakr, yang kemudian
dipenuhinya. Selanjutnya
ia membicarakan masalah tawanan perarig. Abu Bakr menulis
surat supaya tawanan itu dikembalikan.
Di Medinah Mutammam masih tinggal agak lama, sampai sesudah
ekspedisi Yamamah. Umar menaruh simpati kepadanya karena
pendiriannya
mengenai Khalid yang begitu gigih. Dalam pada itu Mutammam
banyak membuat elegi sajak-sajak meratapi kematian saudaranya itu
yang dinilai termasuk karya sastra Arab bermutu. Mengenai
hubungan
Mutammam dengan Umar disebutkan, bahwa ketika pada suatu
pagi
Umar bin Khattab usai salat subuh, ia melihat ada seorang
laki-laki
pendek dan bermata sebelah sedang bertelekan pada sebuah
busur dengan
memegang sebatang gada (tongkat besar). Setelah ditanya
barulah
tahu dia bahwa orang itu Mutammam bin Nuwairah. Dimintanya
ia
membacakan sajaknya tentang saudaranya itu. Mutammam
membacakan
salah satu puisinya sampai pada kata-kata:
Kami seperti menyesali Jazimah selama bertahun-tahun,
Sehingga dikatakan tak akan pernah bercerai;
Setelah kami berpisah, aku dan Malik,
Karena lama berkumpul, seolah tak pernah bermalam bersama.
"Sungguh ini suatu kenangan mengharukan," kata
Umar. "Kalau
aku pandai bersajak aku akan meratapi saudaraku Zaid seperti
simpatimu
untuk saudaramu ini." "Tetapi kalau saudaraku mati
seperti kematian saudaramu, aku tak
akan meratapinya," kata Mutammam. Zaid gugur di Yamamah
sebagai
syahid di bawah pimpinan Khalid bin Walid.
Mendengar jawaban Mutammam itu Umar berkata lagi:
"Tak pernah ada orang menghibur hatiku seperti yang
dilakukan
oleh Mutammam ini."
Perbedaan pendapat Abu Bakr dengan Umar
Kita sudah melihat perbedaan pendapat antara Abu Bakr dengan
Umar mengenai apa yang terjadi sekitar Malik bin Nuwairah
itu. Sudah
tentu kedua tokoh ini menghendaki yang terbaik untuk Islam
dan kaum
Muslimin. Adakah perselisihan mereka itu disebabkan oleh
perbedaan
dalam menilai apa yang sudah dilakukan Khalid, atau karena
perbedaan
kebijakan yang harus berlaku dalam situasi yang begitu
genting dalam
sejarah kaum Muslimin serta situasi pembangkangan (riddah) dan adanya
pemberontakan di kawasan Semenanjung Arab itu?!
Pendapat Umar dan alasannya
Mengenai perbedaan ini, menurut hemat saya adalah perbedaan
kebijakan
yang mesti terjadi dalam situasi semacam ini. Perbedaan itu
sesuai dengan watak mereka masing-masing. Umar, adalah
contoh keadilan
yang sangat ketat. la melihat Khalid telah berlaku tak adil
terhadap
seorang Muslim lalu mengawini istrinya sebelum habis masa
idahnya.
Tak boleh ia tetap memimpin angkatan bersenjata, agar yang
serupa itu
tak terulang lagi. Yang demikian ini akan merusak keadaan
umat Islam,
dan akan meninggalkan citra yang buruk sekali di mata
orang-orang
Arab. Atas perbuatannya terhadap Laila tak boleh dibiarkan
tanpa mendapat
hukuman. Andaikata benar bahwa ia sudah membuat pertimbangan
mengenai Malik itu tapi salah — dan ini tak dapat diterima
oleh
Umar — maka apa yang telah diperbuatnya terhadap istrinya
sudah
cukup untuk menjatuhkan hukuman kepadanya. Bukan alasan
bahwa
karena dia Saifullah,
bahwa karena dia panglima yang telah
memberikan
kemenangan gemilang. Sekiranya alasan semacam ini dibenarkan
tentu Khalid dan yang semacamnya akan dibolehkan melakukan
segala
pelanggaran, dan niscaya ini pulalah contoh yang buruk
sekali diberikan
kaum Muslimin dalam menghormati Qur'an. Itulah sebabnya Umar
tak henti-hentinya mengingatkan Abu Bakr dan terus mendesak
supaya
Khalid dipanggil dan diberi teguran keras atas perbuatannya
itu.
Pendapat Abu Bakr dan alasannya
Menurut pendapat Abu Bakr, dalam situasi demikian lebih
berbahaya
untuk membuat perhitungan serupa ini. Terbunuhnya satu orang
atau
sekelompok orang bukanlah soal salah atau tidak salah.
Bahaya itu
akan mengancam seluruh negara, pemberontakan akan berkecamuk
di
sana sini. Dan panglima ini, yang dituduh bersalah, akan
memicu bahaya
dan bencana besar yang selama itu sangat dikhawatirkan.
Perkawinannya
dengan perempuan di luar kebiasaan orang Arab, bahkan
sebelum
habis idahnya, jika itu terjadi pada seorang panglima dalam
suasana
perang, sesuai dengan hukum perang perempuan itu akan
menjadi miliknya!
Menerapkan hukum secara kaku tidak berlaku terhadap
orang-orang
jenius dan orang-orang besar semacam Khalid, terutama
bilamana hal
itu membahayakan atau mengancam kedaulatan negara. Kaum
Muslimin
memang memerlukan pedang Khalid, dan yang lebih mereka
perlukan
lagi ialah ketika Abu Bakr memanggilnya dan memberikan
teguran
keras kepadanya. Ketika itu Musailimah di Yamamah, tak jauh
dari Butah, dengan
empat puluh ribu pengikutnya dari Banu Hanifah yang sedang
keraskerasnya
memberontak kepada Islam dan kaum Muslimin. Mereka
dapat mengalahkan Ikrimah bin Abi Jahl yang telah memimpin
pasukan
Muslimin. Maka untuk mengalahkannya harapan satu-satunya
kini terletak
di pedang Khalid. Adakah karena pembunuhan atas Malik bin
Nuwairah
itu, atau karena Laila yang cantik jelita, yang telah
menggoda
Khalid, lalu Khalid dipecat dan pasukan Muslimin menjadi
korban pasukan
Musailimah, dengan segala akibat yang akan dihadapi agama
Allah
ini!? Khalid adalah suatu mukjizat Allah dan pedangnya
adalah pedang
Allah — Saifullah.
Itulah kebijakan Abu Bakr ketika memanggil
Khalid,
cukup hanya dengan menegurnya, dan dalam waktu bersamaan
diperintahkannya
ia berangkat ke Yamamah guna menghadapi Musailimah.
Perintah Abu Bakr kepada Khalid
Inilah menurut hemat saya gambaran yang sebenarnya
sehubungan
dengan perbedaan pendapat antara Abu Bakr dengan LImar
khusus
mengenai hal ini. Barangkali Abu Bakr mengeluarkan perintah
kepada
Khalid untuk berangkat menghadapi Musailimah setelah peramal
Banu
Hanifah itu mengalahkan Ikrimah, untuk memperlihatkan kepada
orangorang
Medinah dan terutama mereka yang sependapat dengan Umar,
bahwa Khalid adalah orang yang akan mengantarkan malapetaka
itu,
akan memberi pukulan telak, dan ketika perintah itu
dikeluarkan ia
akan melemparkannya ke neraka, — atau dia akan habis
tenggelam.
Itulah hukuman yang paling tepat atas perbuatannya terhadap
Umm Tamim
Laila dan suaminya. Atau kemenangan itu pula yang akan
membersihkan
namanya, lalu ia muncul sebagai orang yang datang dengan
kemenangan yang membawa hasil, sekaligus menenteramkan hati
kaum
Muslimin. Dengan demikian apa yang terjadi di Butah sudah
tak berarti
apa-apa lagi. Yamamah sudah membersihkan nama Khalid
walaupun dalam pada
itu, sebelum darah Muslimin dan darah pengikut-pengikut
Musailimah
kering, ia telah menikah pula dengan seorang gadis perawan,
seperti
yang dilakukannya dengan Laila. Atas perbuatannya ini pun
Abu Bakr
memberikan teguran, bahkan lebih keras lagi dari ketika
mengawini
Laila. Tetapi itu tak lebih dari sekadar teguran dan Khalid
pun tak lebih
dari sekadar mendengarkan. Saya rasa teguran Abu Bakr hanya
untuk
menenangkan kemarahan orang-orang semacam Abu Qatadah. Kalau
saya harus merasa heran, keheranan saya kepada
penulis-penulis dan
para ahli sejarah yang dengan peristiwa itu mereka berusaha
hendak
menjelek-jelekkan Khalid. Juga tidak kurang keheranan saya
kepada
mereka yang berusaha hendak membelanya atau mencari-carikan
alasan.
Apa artinya Malik, apa artinya Laila dan apa pula artinya
Bint Mujja'ah
dibandingkan dengan ratusan bahkan ribuan kepala yang sudah
ditebas
oleh pedang Khalid atau atas perintahnya. Ratusan, bahkan
ribuan kepala
yang sudah lepas dari tubuh itu merupakan kebanggaan Khalid,
dan itulah yang membuat dia sebagai Saifullah. Jika pada suatu saat
pedangnya itu pernah menimbulkan keonaran, selama
bertahun-tahun
pedang itu juga telah memberikan kemenangan dan kebanggaan.
Khalid bertolak dari Medinah ke Butah setelah Abu Bakr
mengeluarkan
perintah agar berangkat menghadapi Musailimah di Yamamah.
Sekarang ia kembali ke sana sesudah tempat itu bebas dari
pembangkangan
kaum murtad dan bekas-bekasnya. Ia tinggal di sana bersama
pasukannya sambil menunggu datangnya bantuan dari Abu Bakr
yang
memang sudah dipersiapkan untuk memperkuatnya. Setelah
kemudian
bantuan datang, ia berangkat memimpin angkatan bersenjatanya
menuju
tempat orang yang mengaku nabi itu, yang di Semenanjung itu
ia dipandang
paling berbahaya. Ia berangkat dengan penuh rasa percaya
diri
dan keimanan kepada Allah, dan dengan keyakinan bahwa Allah
akan
memperkuatnya, akan memberikan pertolongan kepadanya.
"Jika Allah menolong kamu
tak ada yang akan dapat mengalahkan
kamu. " (Qur'an, 3. 160).
EKSPEDISI YAMAMAH
Pasukan yang diperbantukan
kepada Khalid
Khalid
bin Walid berangkat ke Butah memimpin pasukannya berikut
pasukan yang diperbantukan oleh Abu Bakr. la mendapat tugas
ke
Yamamah untuk menghadapi Musailimah bin Habib, pemimpin Banu
Hanifah yang telah mengaku nabi. Bantuan yang dikirimkan Abu
Bakr
ini tak kurang kuatnya dari pasukan Khalid sendiri. Mereka
terdiri dari
tokoh-tokoh Muhajirin dan Ansar sahabat-sahabat Rasulullah
yang sudah
pernah juga mengalami perang, dan dari kabilah-kabilah atau
sukusuku
yang keberaniannya dalam pertempuran sudah cukup terkenal.
Pasukan Ansar dipimpin oleh Sabit bin Qais dan al-Bara' bin
Malik,
dan pasukan Muhajirin dipimpin oleh Abu Huzaifah bin Yaman
dan Zaid
bin Khattab. Sedang dari kabilah-kabilah masing-masing sudah
dengan
pemimpinnya sendiri.
Adakah Abu Bakr masih akan menghemat bantuannya kepada
panglimanya
yang hendak menghadapi Musailimah? la tahu benar bahwa di
pihak nabi palsu ini ada empat puluh ribu anggota pasukan
yang sudah
siap tempur. Mereka sudah percaya benar kepadanya dan
bersedia mati
untuk membelanya. Kalau dalam menghadapi kaum pembangkang
itu Abu Bakr juga
tidak menyiapkan kaum Muslimin pilihan — dalam kepemimpinan,
dalam
keberanian dan dalam bertempur di medan perang, —
strateginya dalam
perang menghadapi kaum murtad itu akan menemui kegagalan.
Pandangan
Abu Bakr cukup jauh dengan imannya yang begitu kuat untuk
membiarkan Islam yang baru ini sampai mengalami nasib
demikian.
Di antara mereka yang dikirimkan Abu Bakr untuk membantu
Khalid
itu terdapat orang-orang yang sudah hafal Qur'an, juga
terdiri dari
mereka yang sudah pernah terjun ke dalam perang Badr.
Padahal Abu
Bakr masih sangat menghemat kaum veteran Badr dengan
mengatakan:
"Aku tak akan menggunakan pasukan Badr; biarlah mereka
hidup
sampai menemui Allah dengan amal mereka yang saleh. Allah
akan
menyelamatkan mereka dan orang-orang saleh itu melebihi
pertolongan
yang diberikan kepada mereka."
Tetapi Abu Bakr kini harus menanggalkan pendiriannya itu,
dan
bersedia membantu Khalid dengan pasukan Badr dan mereka yang
pernah
mengalami pertempuran pada masa Rasulullah, sebab Musailimah
sudah makin kuat di Yamamah. Jadi setiap pengorbanan untuk
mengikisnya
berarti mempertahankan agama Allah, dan membiarkannya
merajalela
berarti api pemberontakan di tanah Arab akan makin berkobar,
dan
posisi kaum Muslimin akan semakin sulit.
Sebenarnya peristiwa ini kecil sekali dibandingkan dengan
kemenangan
yang diperoleh Muslimin sampai sebelum ekspedisi Yamamah
itu. Kabilah-kabilah yang berdekatan dengan Medinah dan yang
pada
suatu pagi dulu hendak mengepungnya waktu pelantikan Abu
Bakr, tak
ada yang mendakwakan diri jadi nabi, tak punya keinginan apa
pun
selain ingin dibebaskan dari kewajiban zakat. Adi bin Hatim
sudah berhasil
menjauhkan kabilah-kabilah itu dari Tulaihah al-Asadi.
Dengan
demikian ia jadi lemah, dan tak lagi dapat mengadakan
perlawanan.
Juga kabilah-kabilah yang sudah mengalami kekalahan, yang
ada di
sekeliling Umm Ziml, sudah tak mampu memberikan dukungan.
Dalam
pada itu Banu Tamim sedang dalam sengketa antara sesama
mereka,
sedang Sajah sudah membuat patah semangat Malik bin
Nuwairah. Perang
antara dia dengan Khalid bin Walid sebenarnya sudah tak ada
lagi.
Kekualan Musailimah dan sebab-sebabnya
Sebaliknya Musailimah, dia dan pengikut-pengikutnya di
Yamamah,
tak mau mengakui Muhammad sebagai Rasulullah atas mereka.
Sebagaimana
Kuraisy, mereka juga berhak punya nabi dan rasul sendiri.
Jumlah prajurit-prajurit pemberani di kalangan mereka lebih
banyak daripada
di kalangan Kuraisy. Di samping itu kelompok mereka
merupakan
satu kesatuan, tak ada perselisihan dan persaingan yang akan
membuat
mereka jadi lemah. Juga dalam kepercayaan dan macamnya kelompok,
di kalangan mereka tak terdapat perbedaan seperti pada
orang-orang
Yaman. Dalam keadaan serupa itu, sudah tentu mereka dapat
menggalang
kekuatan besar, yang harus benar-benar diperhitungkan oleh
Abu
Rakr Bukan faktor ini saja yang meminta perhatian Abu Bakr
untuk sedapat
mungkin memperkuat pasukan ke Yamamah. Ketika mulai
membentuk
brigade kesebelas untuk menumpas kaum murtad, dia tidak
memper9.
hitungkan Musailimah dan Banu Hanifah sejauh itu. Karenanya,
yang
ditugaskan ke sana Ikrimah bin Abi Jahl, kemudian menyusul
Syurahbil
bin Hasanah untuk membantunya. Ikrimah pun berangkat ke
Yamamah
tanpa merasa perlu menunggu Syurahbil, melainkan langsung
menghadapi
Musailimah dengan harapan dialah yang akan mendapat
kebanggaan
atas kemenangan itu nanti. Ikrimah memang seorang pahlawan
berpengalaman
dan penunggang kuda yang cukup agresif. Dalam brigadenya
itu terhimpun pahlawan-pahlawan pemberani yang pernah
bertempur
mati-matian dalam perang. Sungguhpun begitu, baik Ikrimah
maupun
brigadenya tak dapat bertahan menghadapi Musailimah. Bahkan
mereka
yang hancur. Begitu berat bencana yang menimpa mereka
sehingga
dalam perjalanan itu Syurahbil berhenti di tempat ia
menerima berita
yang sangat menyedihkan itu. Ikrimah menulis laporan kepada
Abu Bakr mengenai musibah yang
dialaminya dan dialami pasukannya itu. Abu Bakr marah sekali
dan
membalasnya dengan mengatakan:
"Hai anak Umm Ikrimah! Aku tak ingin melihatmu dan
engkau pun
jangan melihatku. Janganlah engkau kembali; karena akan
membuat orang
berkecil hati. Teruskanlah perjalanan ke Hudaifah dan
Arfajah dan hadapilah
Oman (Umman) dan Mahrah. Kemudian berangkatlah engkau
dan pasukanmu, bebaskanlah semua orang dari gangguan sampai
engkau
bertemu dengan Muhaj ir bin Abi Umayyah di Yaman dan
Hadramaut."
Rasanya tak perlu lagi saya menjelaskan betapa besarnya
kemarahan
yang tersimpul dalam surat itu. Cukup kita lihat saja
kata-kata pembukaannya:
"Hai anak Umm Ikrimah!"1 Nada ungkapan ini
mengandung
ejekan dan sangat merendahkan sekali.
Bagaimana Musailimah jadi makin kuat?
Bagaimana Musailimah jadi makin kuat sampai sejauh itu?!
Ketika
itu — meminjam kata-kata para sejarawan Arab —
"Ruwaijula", "Usaifar",
"Ukhainas"2 penampilannya tak mengesankan akan ada
penghargaan
atau penghormatan orang kepadanya. Pada Tahun Perutusan ia
pergi
kepada Nabi bersama-sama delegasi Banu Hanifah. Sesudah
sampai di
Medinah delegasi itu tak mengajaknya bersama-sama menemui
Nabi,
tapi ia ditinggalkan di kendaraan. Setelah memberi salam
Nabi memberikan
bingkisan kepada mereka. Mereka menyebut juga ada
Musailimah.
Lalu dimintanya supaya mereka memberikan juga bingkisan itu
kepadanya,
seraya katanya ramah: "Sebenarnya dia bukan orang
paling jahat di antara
kamu", yakni karena ia ditinggalkan di kendaraan
teman-temannya.
Orang inikah yang mendakwakan diri nabi di tengah-tengah
kaumnya?
Karenanya, pada mulanya hanya sedikit orang yang
mempercayainya.
Suatu mukjizatkah yang membuat ribuan bahkan puluhan ribu
orang
mengikutinya dalam waktu kurang dari dua tahun? Tidak!
Tetapi yang
memegang peranan hingga banyak yang terbawa menjadi
pengikutnya
karena adanya permainan dan tipu muslihat seorang tukang
sulap.
Nahar dan tipu dayanya
Di kawasan itu ada seorang laki-laki bernama Nahar ar-Rajjal
—
atau ar-Rahhal bin Unfuwah. Ia ke Medinah mengikuti Rasulullah.
Ia
belajar membaca Qur'an, mendalami hukum fikih dan menguasai
ajaranajaran
Islam, karena ia memang pandai dan cerdas. Oleh Rasulullah
ia
dikirim ke Yamamah untuk mengajarkan Islam di sana. Di
antara mereka
terdapat juga Musailimah. Ia memperkuat Muslimin dan
bersama-sama
mereka mau mengacaukan nabi palsu itu. Tetapi sebenarnya
Nahar ini
lebih berbahaya bagi Banu Hanifah daripada Musailimah
sendiri. Ketika
dilihatnya Musailimah banyak pengikutnya, serta merta ia
mengakui kenabiannya
dan menjadi saksi bahwa Muhammad mengatakan Musailimah
adalah sekutunya dalam kenabian. Apa gerangan kata penduduk
Yamamah
mengenai ini! Ya, ada pengikut Muhammad yang sudah
memberikan
kesaksiannya, mengakui kenabian Musailimah, dan yang
memberikan
kesaksian ini orang yang mengerti, ahli fikih, mengajarkan
Qur'an
Muhammad kepada mereka, mengajarkan kisah-kisahnya,
memperdalam
ajaran agamanya dan ia menjadi saksi kenabian Musailimah.
Tak ada
jalan sekarang untuk menolak kebenarannya. Karenanya, orang
datang
kepada Musailimah berbondong-bondong, percaya bahwa dia
utusan
Allah kepada Banu Hanifah. Dengan demikian jalan buat dia
kini terbuka
dan apa pun yang dikehendakinya tersedia di hadapannya.
Kepercayaan sepenuhnya sekarang dapat diberikan oleh
Musailimah
kepada Nahar ar-Rajjal ini, dan segala yang ingin ditiru
dari Muhammad
dapat terlaksana. Untuk itu, Nahar pun dapat memperoleh
segala
kesenangan dunia yang diinginkannya. Kalau ulama dan
ahli-ahli Qur'an
sudah tunduk pada kesenangan, dan menyerahkan ilmunya di
bawah
kekuasaan orang yang menguasai kesenangan, celakalah ilmu
dan agama,
celakalah kebenaran!
Kita tidak hanya sampai pada apa yang dikatakan orang
tentang
usaha Musailimah untuk mendatangkan mukjizat, atau pada apa
yang
katanya telah menerima wahyu. Semua itu omong kosong,
sejarah dan
kritik sejarah tak dapat membuktikannya. Rasanya cukup apa
yang sudah
kita jelaskan di atas mengenai sebab-sebab yang mendorong
orang
menjadi pengikut Musailimah dan sebabnya keadaan menjadi
begitu
gawat, sehingga pasukan Ikrimah tak mampu menghadapinya dan
kembali
mundur dalam keadaan centang perenang.
Tulaihah an-Nimari menjadi pengikut Musailimah
Kita tak perlu mempertanyakan bagaimana orang-orang yang
berpikir
sehat di kalangan Musailimah itu sampai menjadi pengikutnya.
Kita
sudah tahu fanatisma Arab dan kabilah-kabilahnya yang begitu
kukuh
hendak bertahan pada kebebasan. Disebutkan bahwa ketika
Tulaihah
an-Nimari datang ke Yamamah dan berkata: "Mana
Musailimah?" mendapat
jawaban: "He, rasulullah." "Bukan,"
katanya, "aku akan melihatnya lebih dulu."
Setelah sampai ia bertanya: "Siapa yang datang
kepadamu?"
"Rahman," jawabnya. "Dalam cahaya atau dalam
gelap?"
"Dalam gelap," jawab Musailimah lagi.
"Aku bersaksi bahwa engkau bohong dan Muhammad benar.
Tetapi
pembohong Rabi'ah lebih baik bagi kami daripada Mudar yang
benar."
Dalam sebuah sumber yang dikutip at-Tabari menyebutkan bahwa
Tulaihah berkata: "Pembohong Rabi'ah lebih baik bagi
kami daripada
pembohong Mudar." Sungguhpun begitu ia menjadi pengikut
Musailimah
juga. Kemudian ikut berperang dan mati bersama Musailimah.
Khalid berangkat ke Yamamah
Kalau memang begitulah keadaan Musailimah dan apa yang
menimpa
Ikrimah ketika menghadapinya, tak akan ada panglima Arab
yang akan
dapat menghadapinya selain pahlawan perang genius itu, Khalid
bin
Walid. Tak heran jika Abu Bakr akan memperkuatnya dengan
bala
bantuan. Untuk itu kemudian Abu Bakr menulis kepada
Syurahbil bin
Hasanah agar tetap tinggal di tempat dia berada itu sampai
Khalid datang.
Bila tugasnya sudah selesai dengan Musailimah, Syurahbil
diperbantukan
kepada Amr bin As untuk menghadapi Quda'ah di utara
Semenanjung
Arab. Sementara pasukan Khalid bergerak menuju Yamamah
pasukan
Musailimah bertemu dengan brigade Syurahbil, yang kemudian
terpaksa
menarik diri mundur. Beberapa sejarawan menyebutkan bahwa
Syurahbil
bertindak seperti Ikrimah dan ingin merebut kemenangan
sebagai kebanggaan.
Tetapi ia mengalami nasib seperti yang dialami Ikrimah juga.
Namun barangkali persoalannya tidak demikian. Sementara
menunggu
kedatangan Khalid itu Syurahbil menarik mundur pasukannya
ketika
bertemu dengan pasukan yang datang dari Yamamah. Apa pun
yang
terjadi, namun Syurahbil tetap tinggal di tempat dia mundur
itu sampai
pasukan Muslimin datang. Setelah Khalid tahu apa yang
dialaminya itu,
oleh Khalid ia dipersalahkan dan dikecam. Barangkali maka
Syurahbil
memilih mundur tanpa harus terjebak dengan pihak lavvan itu
maksudnya
untuk tidak memperkuat semangat mereka bila mereka sampai
mendapat kemenangan.
Satuan Mujja 'ah dihabisi oleh Khalid
Pasukan Khalid berturut-turut memasuki Yamamah dan berita
ini
sampai pula kepada Musailimah. Ketika itu Mujja'ah bin
Murarah berangkat
dalam sebuah satuan hendak mengadakan balas dendam kepada
Banu Amir dan Banu Tamim. Ia khawatir akan kehilangan
kesempatan
jika harus menghadapi pasukan Muslimin. Setelah berhasil
melaksanakan
balas dendamnya Mujja'ah kembali dengan pasukannya. Begitu
sampai di tanjakan Yamamah mereka sudah letih sekali dan
langsung
tidur. Tetapi pasukan Khalid menyadari dan segera menyusul
mereka.
Khalid tahu mereka itu adalah Banu Hanifah. Menurut
perkiraannya
mereka bergegas hendak menyerangnya, maka diperintahkan
supaya
didahului. Bahwa kata mereka keluar hendak membalas dendam
untuk
urusan mereka sendiri, rupanya tak ada gunanya. Ketika
ditanya pendapat
mereka tentang Islam, mereka menjawab: Dari kami seorang
nabi
dan dari kalian seorang nabi.
Mujja 'ah sebagai sandera
Salah seorang dari mereka — Sariyah bin Amir — sambil
memperlihatkan
pedang kepada Khalid berkata:
"Hai laki-laki, jika engkau menghendaki masa depan kota
ini baik
atau buruk, biarkanlah orang ini hidup." Ia berkata
begitu sambil menunjuk
kepada Mujja'ah. Orang ini oleh Khalid dijadikan sandera,
dibiarkan
tidak dibunuh, karena dia termasuk salah seorang pemimpin
Banu Hanifah, yang di kalangan mereka sendiri mendapat
tempat terhormat.
Di samping itu Khalid memang memerlukan bantuannya dalam
memberikan pendapat. Ia dibelenggu dengan rantai besi dan
ditempatkan
di kemahnya, dengan tugas menjaga istrinya yang baru, Laila
Umm
Tamim.
Pasukan Musailimah di Aqraba'
Musailimah sudah mengerahkan pasukannya di Aqraba' di
pinggiran
Yamamah, dan segala harta kekayaan di tempatkan di
belakangnya.
Pasukan ini terdiri dari empat puluh ribu orang prajurit —
ada
yang menyebutkan enam puluh ribu. Di kalangan Arab jumlah
tentara
sebesar itu jarang terdengar. Khalid datang keesokan harinya
setelah
Mujja'ah disandera. Pasukan yang sudah siap tempur itu
dibariskannya
di hadapan pasukan Musailimah. Kedua angkatan perang itu
sekarang
saling memasang mata untuk menggempur. Masing-masing
memperkirakan
nasibnya tergantung pada peristiwa hari ini. Dalam membuat
perkiraan itu keduanya memang tidak berlebihan. Peristiwa
Yamamah
itu adalah detik-detik yang sangat menentukan dalam sejarah
Islam,
begitu juga dalam sejarah Arab.
Peristiwa yang menentukan dalam sejarah Islam
Kekuatan Musailimah adalah kekuatan murtad dan pembangkangan
yang gigih dan jelas sekali dalam menentang kenabian
Muhammad yang
bukan hanya untuk Kuraisy, tetapi juga untuk segenap umat
manusia.
Kekuatan ini menjadi pusat perhatian, dari Yaman, Oman,
Mahrah,
Bahrain, Hadramaut sampai ke semua daerah selatan
Semenanjung,
menyusur turun dari Mekah, Ta'if sampai ke Teluk Aden.
Kemudian
Persia pun mengarahkan perhatiannya ke sana. Pasukan
Musailimah itu
sangat percaya kepadanya dan bersedia mati untuk itu.
Ditambah lagi
dengan adanya permusuhan lama antara Hijaz dengan selatan
Semenanjung.
Pasukan Muslimin merupakan inti kekuatan yang melindungi
dan membela agama Allah serta ajarannya. Untuk itu
Khalid-lah panglimanya
yang terbesar, yang pernah dikenal sejarah pada masanya.
Di antara mereka itu terdapat sahabat-sahabat yang hafal
Qur'an.
Mereka datang dengan jantung yang penuh iman, bahwa berjuang
di
jalan Allah dan mempertahankan agama-Nya yang hak adalah kewajiban
pertama bagi orang beriman, merupakan fardu ain bagi setiap
orang
yang mengerti. Kalau sudah begitu, tentu tak ada jalan lain.
Pertempuran
dahsyat pasti terjadi. Inilah yang akan menjadi teladan,
betapa
b'esar dan hebatnya kekuatan iman itu.
Anak Musailimah membakar semangat Banu Hanifah
Sekarang Syurahbil anak Musailimah tampil membakar semangat
tentara Banu Hanifah dengan kata-kata yang benar-benar
menggugah
rasa kearaban, dengan segala yang menyangkut kehormatan dan
keturunannya.
"Hai Banu Hanifah!!" teriaknya kepada mereka.
"Hari ini adalah
hari harga diri kita! Kalau kita kalah, perempuan-perempuan
kita akan
mendapat giliran sebagai tawanan, akan dijadikan
gundik-gundik. Berperanglah
kamu mempertahankan kehormatan dan keturunan kalian dan
lindungilah istri-istri kalian."
Kemudian diperintahkan agar mereka sudah siap tempur.
Kedua kekuatan itu kini sudah berhadapan. Semangat pihak
Muslimin
belum lagi dibakar. Kaum Muhajirin berkata kepada Salim,
bekas
budak Abu Huzaifah: "Ada yang masih kautakuti?"
"Kalau begitu celakalah aku sebagai orang yang sudah
hafal Qur'an,"
katanya menjawab mereka. Bahkan mereka sudah saling mengejek
dengan percakapan yang lebih buruk lagi. Kaum Muhajirin dan
Ansar
menuduh orang-orang Arab pedalaman sebagai pengecut.
"Kami orang-orang kota lebih tahu cara berperang
daripada kalian
orang-orang pedalaman," kata orang-orang kota.
"Orang-orang kota tak mampu bertempur dan tidak tahu
apa perang
itu," demikian dijawab oleh orang-orang badui itu.
Muslimin mundur dan pasukan Musailimah memasuki kemah Khalid
Karenanya mereka tak dapat bertahan menghadapi pasukan Banu
Hanifah itu, padahal antara keduanya sudah terjadi
pertempuran sengit.
Barisan Muslimin sekarang cenderung mengalami kekalahan.
Dalam
pada itu Khalid sudah meninggalkan kemahnya. Tetapi pasukan
Banu
Hanifah tampaknya sudah berhasil masuk ke dalam kemah
Khalid.
Mereka hanya melihat Mujja'ah yang dibelenggu dengan besi
dan tak
jauh dari orang ini dilihatnya pula Laila Umm Tamim. Salah
seorang di
antara mereka sudah siap dengan pedangnya hendak membunuh
Laila
— istri Khalid itu. Tetapi ketika itu juga Mujja'ah
berteriak: "He! Aku
yang melindungi dia! Dia perempuan merdeka yang baik.
Hadapilah kaum
laki-laki!" Tali-temali tenda kemudian diputuskan oleh
tentara itu dan tendanya
dirobek-robek dengan pedang, dengan meninggalkan Mujja'ah
dan
Laila yang hanya tercengang menyaksikan semua itu.
Sungguhpun begitu, sebelum pasukan Muslimin mundur, tidak
sedikit
dari Banu Hanifah yang sudah terbunuh. Di antara yang
pertama
terbunuh ialah Nahar ar-Rajjal, yang ahli Qur'an dan ahli
fikih, pengkhianat
dan penipu itu. Begitu tampil di barisan depan dalam pasukan
Banu Hanifah ia disambut oleh Zaid bin Khattab dan langsung
dibunuhnya.
Dengan terbunuhnya orang ini, biang keladi yang begitu setia
kepada Musailimah, berakhirlah kini riwayatnya dan riwayat
pasukannya
yang selama ini mengancam kaum Muslimin dan menanamkan rasa
takut dalam hati setiap orang yang mencintai agama Allah.
Khalid bin Walid tetap tenang tatkala ia meninggalkan kemahnya.
Sedikit pun ia tak ragu menghadapi tujuannya hari itu. Dia
sudah tahu
kekalahan yang menimpa pasukan Muslimin; yakni karena mereka
saling memperolok, saling tak peduli satu sama lain. Kalau
tidak demikian
sikap mereka, niscaya mereka menang. Karenanya, tatkala
Khalid
melihat ada peluang, ketika kedua pihak dalam keadaan
tenang, ia
berteriak sekeras-kerasnya dengan nada geram dan bergelora:
"Saudara-saudara kaum Muslimin! Perlihatkanlah
kelebihan kamu,
biar orang tahu keberanian dan kepahlawanan kita, biar orang
tahu dari
mana kita datang," Teriakan itu bersipongang ke dalam
telinga prajurit-prajuritnya, dan
membuat tersentak dan mereka menyadari keadaan yang
sebenarnya.
Khalid puas setelah dilihatnya mereka menunjukkan sikap
seperti yang
diperintahkannya itu. Kecurigaan dan saling tak peduli sudah
dapat dihilangkan.
Sekarang jalan kemenangan sudah terbuka.
Semangat agama bangkit dalam kalbu pasukan Muslimin
Teriakan Khalid itu telah membangkitkan fanatisma yang kuat
sesuai
dengan naluri Arabnya. Pemuka-pemuka Muslimin pun melihat
apa
yang telah menimpa mereka. Dalam hati mereka sekarang tumbuh
semangat agama yang membara. Iman telah mengangkat mereka ke
tingkat kehidupan yang lebih tinggi. Yang sekarang tampak
jelas dan
tersenyum di hadapan mereka hanyalah mati sebagai syahid.
Cahaya
mengantarkan mereka dan membukakan pintu surga abadi.
Tuntunan
cahaya ilahi memperlihatkan kepada mereka, bahwa segala
kesenangan
hidup, hiburan dunia dan segala tipu muslihatnya akan
sia-sia adanya.
Sekarang mereka berbalik, dari kekalahan menjadi suatu
tuntutan:
menang atau mati syahid. Ketika itu Sabit bin Qais pemimpin
Ansar berkata:
"Saudara-saudara Muslimin, kalian mempunyai suatu
kebiasaan
yang amat buruk. Allahumma ya Allah, aku lepas tangan dari
apa yang
disembah oleh mereka (menunjuk kepada penduduk Yamamah), dan
aku lepas tangan dari apa yang dilakukan oleh mereka
(menunjuk kepada
kaum Muslimin)."
Berkata begitu langsung ia menyerbu ke kancah pertempuran
sambil
berteriak: "Inilah aku, akan kuperlihatkan kepadamu
cara berperang!"
dilanjutkan dengan terus bertempur mati-matian tanpa merasa
gentar.
Sementara ia bertempur itu seluruh badannya sudah penuh
luka-luka
dan akhirnya dia mati sebagai syahid. Demikian juga Bara'
bin Malik,
dia termasuk pemberani yang luar biasa yang tak kenal lari.
Begitu
melihat apa yang telah terjadi, ia terjun sambil berkata:
"Mau ke mana
hai Muslimin!? Aku Bara' bin Malik. Mari ke mari
bersamaku!" Suaranya
terdengar oleh pejuang-pejuang Muslimin yang lain dan semua
mereka sudah mengenal benar keberaniannya. Sebagian mereka
kembali
kepadanya dan melanjutkan pertempuran hingga banyak pula di
antara
mereka yang gugur.
Yang ingin mati syahid
Ketika itu angin bertiup kencang dan pasir membubung
menutupi
muka Muslimin. Ada sekelompok orang yang berbicara dengan
Zaid
bin Khattab tentang apa yang akan mereka perbuat, maka
dijawabnya:
"Tidak, demi Allah aku tak akan berbicara sepatah kata
pun hari ini
sebelum kita hancurkan mereka, atau sampai aku bertemu Allah
dengan
membawa pembuktianku. Tundukkan matamu dan garitkan gigimu
dan
hantamlah musuhmu itu lalu teruslah maju." Berkata
begitu ia langsung
terjun ke tengah-tengah musuh, bertempur habis-habisan,
diikuti anak
buahnya dari belakang. Ketika itu ia memberikan
pembuktiannya, ia
kembali kepada Penciptanya, Allah Yang Mahakuasa. Abu
Huzaifah
berteriak kepada orang-orang yang berada di sekitarnya:
"Hai keluarga Qur'an, hiasilah Qur'an dengan
perbuatanmu!"
Ia sendiri lalu terjun ke padang maut itu sampai juga
menemui
ajalnya. Ia kembali ke sisi Allah. Ketika itu juga bendera
diambil alih
oleh Salim bekas budak Abu Huzaifah seraya katanya:
"Celakalah aku
sebagai yang sudah hafal Qur'an kalau tidak terus
bertahan." Dia pun
terjun ke kancah itu dan gugur pula.
Dengan teriakan-teriakan yang keluar dari hati yang penuh
iman
itu, jiwa hendak mati syahid serentak bangkit pada
prajurit-prajurit Islam
itu semua. Bagi mereka hidup sudah terasa kecil sekali dan
mereka
lebih suka mati sebagai para syahid. Dengan sungguh-sungguh
mereka
terjun maju semua ke depan. Mereka mengharapkan mati syahid.
Sekarang
pasukan Musailirnah yang mundur sampai ke belakang garis
pertama.
Pasukan Musailirnah putus asa
Dalam perang itu pasukan Musailirnah tampak sudah mulai
putus
asa. Mereka berperang demi tanah air, berperang demi
kehormatan nenek
moyang.. Bagi mereka berperang demi suatu keyakinan yang
sudah sakit
itu tingkatnya di bawah tanah air, di bawah kehormatan nenek
moyang.
Oleh karena itu mereka bertahan terhadap pasukan Muslimin
dan memukul
mundur yang dapat mereka pukul, dan mereka bertempur untuk
setiap jengkal tanah, tak beranjak dari sana sebelum
berbalik dan berusaha
merebut kembali.
Khalid tidak gentar menghadapi pasukan Banu Hanifah yang
berani
mati itu. Bahkan, ketika mendengar teriakan kaum Muslimin
dan melihat
tekad mereka begitu gembira menghadapi maut, ia yakin bahwa
sekarang kemudi berada di tangannya, dan kemenangan sudah di
ambang
pintu.
Khalid membuat muslihat untuk membunuh Musailimah
Tetapi Khalid ingin sekali bila Muslimin juga menyadari
bahwa
kemenangan sudah di ambang pintu seperti yang dilihatnya.
Karena ia
tampil memimpin pasukannya dan berkata kepada para
pengawalnya:
"Janganlah datang dari belakangku." Lalu ia
berteriak dengan moto
pertempuran ketika itu: "Hidup Muhammad!" Dengan
tampil dan teriakannya
itu tidak saja ia bermaksud hendak membakar semangat, tetapi
dengan itu ia juga ingin menempuh jalan kemenangan itu lebih
cepat
lagi. Dilihatnya orang-orang Banu Hanifah bergelimpangan
mati di
sekitar Musailimah. Mati tak mereka pedulikan lagi. Maka
Khalid yakin,
jalan pintas untuk mencapai kemenangan itu ialah Musailimah
sendiri
yang harus dibunuh. Karenanya, ia dan pasukannya membuat
suatu
muslihat sampai berada tak jauh dari tempat Musailimah.
Kemudian ia
memancingnya supaya orang itu keluar menghadapinya. Tetapi
yang
keluar untuk menemui Khalid saat itu pengawal-pengawal
Musailimah.
Namun sebelum mereka mencapai Khalid, pedang Khalid sudah
lebih
dulu menyambut mereka dengan maut. Tak sedikit di antara
mereka
yang terbunuh. Karena sifat penakutnya yang luar biasa
Musailimah merasa rendah
diri. Terlintas dalam pikirannya ingin juga keluar seperti
yang Iain-lain.
Tetapi yakin dia, pasti akan terbunuh jika ia keluar. Ragu
dia dan
gelisah. Selama dalam kegelisahan dan keraguannya itulah,
Khalid dan
pasukannya tiba-tiba menyerangnya dan menyerang orang-orang
di
sekitarnya dan yang sudah siap dengan senjata. Ketika itulah
kawankawan
Musailimah berteriak: "Mana yang kaujanjikan kepada
kami!"
Sambil berlari Musailimah menjawab: "Bertempurlah demi
kehormatan
leluhur." Bagaimana mereka akan bertempur sedang dia
sendiri sudah
cepat-cepat lari lebih dulu! Tidaklah logis mereka akan
mengikuti orang
yang lari seperti mengikuti seorang nabi!
Berlindung dalam kebun
Mereka lari itu dilihat oleh Muhakkam bin Tufail, dan
dilihatnya
pula Muslimin mengejar mereka. la berteriak
memanggil-manggil: "Hai
Banu Hanifah! Kebun, kebun!" Maksudnya supaya mereka
berlindung
ke dalam kebun. Kebun itu tidak jauh dari mereka. Kebun
milik Musailimah
ini cukup luas, dikelilingi tembok-tembok yang kukuh seolah
seperti benteng. Kebun ini yang mendapat sebutan "Kebun
ar-Rahman"
(Hadiqatur-Rahman). Mereka lari ke tempat itu dan menyelamatkan
diri dari kehancuran setelah ribuan orang jatuh
bergelimpangan ke
tanah ditebas oleh pedang Muslimin. Sementara mereka
berlarian itu
Muhakkam dan anak buahnya berdiri memberikan perlindungan
dari
belakang. Ketika itu, saat ia berusaha merintangi pasukan
Muslimin
sambil mengerahkan anak buahnya agar bertahan, dan
bersama-sama
bertempur sekuat tenaga dengan mereka untuk membentengi
kaumnya
itu, ketika itu juga Abdur-Rahman putra Abu Bakr as-Siddiq
melepaskan
anak panahnya yang tepat mengenai tenggorokannya. Orang itu
pun mati. Musailimah dan pengikut-pengikutnya masih bertahan
dalam kebun.
Adakah Muslimin akan mengepung mereka sekalipun akan memakan
waktu lama? Tidak! Angkatan perang yang sekarang sedang
dimabuk
kemenangan ini menghendaki kemenangan yang sempurna,
kemenangan
yang lebih cepat. Oleh karena itu mereka mengelilingi kebun
itu mencari-
cari celah untuk membuka gerbang kebun yang begitu kuat itu.
Tetapi
tak berhasil.
Bara' memanjat tembok
Saat itu Bara' bin Malik berkata: "Saudara-saudara
Muslimin, lemparkan
aku ke tengah-tengah mereka dalam kebun!"
Tetapi yang lain menjawab: "Bara', jangan!" Apa
pula yang akan
dilakukan Bara' seorang diri di tengah-tengah ribuan orang
yang sedang
mencari perlindungan dari maut dalam kebun itu! Tetapi Bara'
tetap mendesak dan menambahkan:
"Tidak, lemparkanlah aku ke tengah-tengah mereka."
Kemudian
mereka mengusungnya ke atas tembok itu. Tetapi setelah
dilihatnya begitu
banyak orang di dalamnya, ia malah ragu dan mau mundur
seraya
berkata: "Turunkan aku," tetapi segera katanya
lagi: "Usunglah aku!" Berkali-
kali ia berkata begitu. Kemudian ia berdiri di atas tembok.
Hatinya
berkata: Ini pahlawan Bara', yang segala sepak terjangnya
sudah
menjadi buah bibir di seluruh Semenanjung. Ya, kalau dia
mundur, orang
akan mengatakan: Punya kemauan tapi tidak berbuat.
Kemasyhurannya
sebagai pahlawan akan lenyap. Tadinya sudah maju lalu
mundur, akan
jadi bahan ejekan orang. Kalau itu terjadi, tak ada artinya
dia. Akan
dikemanakan mukanya! Karenanya, dibuangnya keraguan itu lalu
ia
melemparkan diri ke depan pintu kebun Banu Hanifah itu. Ia
menyerang
mereka kanan kiri sampai berhasil membuka pintu kebun untuk
pasukan Muslimin, yang kemudian masuk menyerbu ke dalam
dengan
pedang terhunus di tangan. Maut sudah membayang di biji
mata. Begitu
anggota-anggota keluarga Banu Hanifah itu melihat pasukan
Muslimin,
mereka kabur berlarian dalam kebun yang sudah berubah
menjadi sebuah
penjara, seperti kambing yang kabur berlarian begitu melihat
jagal
datang membawa pisau.
Muslimin menyerbu kebun
Ini menurut satu sumber. Tetapi sumber lain menyebutkan
bahwa
pasukan Muslimin ramai-ramai memanjat tembok kebun itu dan
berusaha
menyerbu ke pintu. Barangkali Bara' termasuk salah seorang
pemanjat
tembok yang terdekat ke pintu, dan ketika terjun ke dalam
kebun dialah yang membukakan pintu buat pasukan Muslimin
setelah
ia bertempur melawan siapa saja yang ada dalam kebun itu.
Peristiwa
itu terjadi ketika orang-orang yang berlindung dalam kebun
itu sedang
sibuk menghadapi lawan yang menghujani mereka dengan panah
dari
atas tembok.
Kematian Musailimah
Pasukan Muslimin menyerbu kebun itu dan langsung menyerang
musuh. Pedang-pedang Banu Hanifah itu justru terhambat oleh
pepohonan
di sekitar mereka. Sungguhpun begitu tidak mengurangi
sengitnya
pertempuran. Korban tidak sedikit di kedua belah pihak,
meskipun di
pihak Banu Hanifah dua kali lebih banyak.
Setelah perang Uhud dulu Wahsyi sudah masuk Islam. Orang
asal
Abisinia inilah yang dulu membunuh Hamzah, bapak syuhada
dalam
perang Uhud itu. Dalam perang Yamamah ini ia juga ikut
serta. Tatkala
dilihatnya Musailimah di kebun itu, diayunkannya tombaknya,
dan bila
sudah terasa pas, dibidikkannya kepada Musailimah.
Bidikannya itu
tidak meleset. Bersamaan dengan itu ada orang Ansar yang
juga ikut
menghantam Musailimah dengan pedangnya. Karena itulah Wahsyi
berkata:
"Hanya Allah yang tahu siapa di antara kita yang telah
membunuhnya."
Ketika itu ada seseorang berteriak: "Yang membunuhnya
seorang
budak hitam."1 Semangat Banu Hanifah reda setelah
mendengar teriakan
bahwa Musailimah sudah terbunuh. Mereka menyerah tanpa
mengadakan
perlawanan lagi. Muslimin terus menghantam mereka. Pada masa
itu tanah Arab belum pernah mengalami pertumpahan darah
sehebat
pertempuran di Yamamah itu. Itu sebabnya "Kebun
Rahman" ini kemudian
diberi nama "Kebun Maut." Dan nama inilah yang
terus dipakai
dalam buku-buku sejarah.
Mujja 'ah menunjukkan mayat Musailimah
Selesai pertempuran atas permintaan Khalid Mujja'ah dibawa
dari
kemahnya. Dimintanya ia menunjukkan mayat Musailimah.
Sementara
sedang memeriksa mayat-mayat itu, mereka melalui mayat
Muhakkam
Muhakkam ini berwajah tampan. Setelah Khalid melihatnya ia
bertanya
kepada Mujja'ah: Dia ini kawanmu itu? "Bukan,"
jawab Mujja'ah.
"Orang ini lebih baik dan lebih terhormat dari dia. Ini
Muhakkam."
Mujja'ah dan Khalid memasuki Kebun Maut itu. Mereka lalu di
depan mayat "Ruwaijil Usaifir Ukhainas" itu.
"Inilah orangnya. Kalian sekarang sudah bebas dari
dia," kata Mujja'ah.
"Orang inilah yang telah berbuat sekehendak hatinya
terhadap kalian,"
sambung Khalid.
Malapetaka yang ditimbulkan Musailimah itu kini sudah
berakhir
dan sudah dirabut dari akarnya. Angkatan bersenjatanya pun
telah dikikis
habis. Sudah tibakah saatnya sekarang Khalid dan pasukannya
harus
beristirahat?
Khalid meneruskan perjuangan
Tidak! Ini bukan watak Khalid. Dan bukan ini pula strategi
perangnya.
Strateginya selalu ialah kemenangan itu harus mencapai
puncaknya,
supaya jangan timbul akibat yang tak diinginkan kemudian
hari.
Wahsyi ini dikenal sebagai budak negro kepunyaan tokoh
musyrik Mekah, Jubair bin
Mut'im. Kalau dalam perang Uhud ia berhasil membunuh Hamzah
bin Abdul-Muttalib,
paman Nabi, dijanjikan ia akan dimerdekakan oleh Hindun
istri Abu Sufyan, juga oleh
Mut'im sendiri. Hindun dan Jubair memikul dendam karena
keluarga mereka dulu banyak
yang terbunuh dalam perang Badr. Dengan tombak kecil dan
cara serupa seperti yang
dilakukannya terhadap Musailimah ini Wahsyi berhasil
membunuh Hamzah. Nabi
Sallalldhu 'alaihi wasallam merasa sedih sekali dengan kejadian ini. Tetapi setelah
pembebasan Mekah Wahsyi datang meminta maaf kepada Nabi,
oleh Nabi ia diberi
maaf, dan masuk Islam.
Tak cukup hanya dengan memerangi Banu Asad dan mereka yang
bersekutu dengan Tulaihah, tetapi terus dilanjutkan sampai
daerah itu
benar-benar bebas dari segala gangguan. Begitu juga dulu
dengan Umm
Ziml dan sisa-sisa pasukannya. Kemudian Banu Tamim, tidak
dibiarkannya
sebelum ia dapat mengikis habis setiap orang yang mau
meniupkan
api fitnah di daerah itu. Di tempat-tempat lain juga ia
lakukan
demikian. Sesudah membereskan mereka yang berlindung di
Kebun Maut itu
Abdullah bin Umar dan Abdur-Rahman bin Abi Bakr berkata
kepada
Khalid: "Kirimkanlah kami dan beberapa orang untuk
menempati benteng
itu." Maksudnya benteng Yamamah. "Aku akan
menyebarkan pasukan
berkuda dan menangkapi orangorang
yang ada di luar benteng, sesudah itu nanti aku mengambil keputusan,"
kata Khalid. Khalid menyebarkan pasukan berkudanya, yang
kemudian kembali
membawa segala harta benda, perempuan dan anak-anak. Semua
itu dibawa
ke markas. Barulali kemudian ia memerintahkan agar berangkat
ke benteng dan membongkar segala yang ada di dalamnya.
Dengan
mengadakan pembersihan demikian terhadap Banu Hanifah sejak
itu
tak ada lagi perlawanan.
Perdamaian Khalid-Mujja 'ah
Khalid makin percaya kepada Mujja'ah sesudah ia diberi tugas
melindungi
Umm Tamim, demikian juga kejujurannya mengenai Musailimah
dan pengikut-pengikutnya. Orang ini datang kepada Khalid
mengatakan:
"Yang sudah kauperoleh itu hanya orang-orang baris
depan saja; di
dalam benteng masih banyak tokoh-tokoh yang lain.
Bersediakah kau
mengadakan perdamaian sehubungan dengan orang-orang yang
menjadi
tanggung jawabku?" Khalid memperhatikan angkatan
bersenjatanya. Tampaknya mereka
sudah letih sekali dicabik perang, sudah banyak pula di
antara pemukapemuka
mereka yang mengalami luka-luka. Mereka ingin kembali
membawa
kemenangan yang membanggakan itu. Kalau dengan maksudnya
itu Mujja'ah jujur, menurut hematnya memang sebaiknya
mengajaknya
damai, dengan catatan pihak Muslimin tetap menguasai
rampasan perang
yang sudah menjadi bagiannya, kecuali separuh dari
orang-orang
tawanan. Selanjutnya kata Mujja'ah:
"Sekarang aku akan menemui kaumku dan akan kutawarkan
apa
yang sudah kulakukan ini."
la pergi menemui perempuan-perempuan di tempat itu dan
katanya
kepada mereka: "Pakailah pakaian besi kalian dan
tampillah ke depan
benteng."
Setelah mereka melakukan itu dan Khalid menyaksikannya, ia
yakin
bahwa Mujja'ah tidak membohonginya. Tetapi kemudian Mujja'ah
kembali lagi dan berdalih bahwa apa yang sudah dilakukannya
itu mereka
tak setuju. Hanya sebagian yang tampil ke depan benteng
kemudian
kembali menyatakan pendapat mereka yang sama. Khalid
mengalah dari
separuh tawanan yang sudah disetujuinya itu. Tetapi ketika
benteng itu
dibuka yang ada hanya perempuan, anak-anak dan orang tua-tua
yang
sudah lemah. Khalid menatap Mujja'ah dengan pandangan berang.
"Celaka engkau! Kau mau menipu aku?!"
"Tenanglah," kata Mujja'ah. "Mereka itu
kaumku. Aku tak dapat
berbuat lain selain apa yang sudah kulakukan itu."
Khalid sangat menghargai kesungguhan solidaritasnya itu.
Kemudian
perjanjian perdamaian disetujui dan orang itu pun
dibebaskan.
Disebutkan juga bahwa sebelum diadakan perjanjian dan
sebelum
Khalid melihat siapa yang ada dalam benteng itu, Mujja'ah
pergi menemui
kaumnya dan menawarkan perjanjian tersebut kepada mereka.
Tetapi Salamah bin Umair dari Banu Hanifah menentangnya.
"Tidak," katanya. "Kita tidak setuju. Kita
akan mengajak penduduk
dan budak-budak, kita akan terus berperang, bukan berdamai
dengan Khalid.
Benteng kita kuat, makanan cukup dan musim dingin sudah
tiba."
"Engkau ini sial!" kata Mujja'ah, "masih
hijau, kurang pengalaman.
Engkau keliru mengira aku menipu mereka sampai dapat
memenuhi
permintaanku untuk damai. Masih adakah orang dari kita yang
dapat
diharapkan atau dapat mempertahankan diri? Aku cepat-cepat
bertirdak
demikian sebelum kalian ditimpa malapetaka seperti yang
dikatakan
Syurahbil bin Musailimah 'Sebelum perempuan-perempuan kita
mendapat
giliran sebagai tawanan, dan dijadikan gundik-gundik.'"
Mendengar katakata
itu mereka lebih menyetujui perdamaian dan tidak lagi
menghiraukan
kata-kata Salamah bin Umair.
Sural Abu Bakr kepada Khalid
Abu Bakr mengirim seorang utusan untuk menemui Khalid dengan
membawa perintah untuk membunuh semua orang dari Banu
Hanifah
yang mampu berperang. Tetapi Khalid sudah mengadakan
perdamaian
dengan mereka. Khalid adalah orang yang teguh berpegang pada
janji.
Semua anggota keluarga Banu Hanifah dikumpulkan dan dibawa
ke
markas Khalid untuk membuat ikrar dan kemudian akan
dibebaskan
dari segala kesalahan masa lampau. Setelah membuat ikrar dan
mereka
dibebaskan dari perbuatan murtadnya lalu kembali kepada
Islam, Khalid
mengutus orang kepada Abu Bakr di Medinah.
"Mengapa kamu sampai merendahkan diri serupa itu?"
kata Abu
Bakr kepada para utusan itu begitu mereka sampai ke Medinah.
"Khalifah Rasulullah," kata mereka. "apa yang
kami alami sudah
disampaikan kepada Khalifah. Orang itu dan keluarganya
memang belum
mendapat karunia Allah."
Jumlah korban di pihak Banu Hanifah
Mungkin timbul pertanyaan dalam hati kita: Bagaimana Khalid
masih mau menerima Mujja'ah padahal sudah menipunya, Khalid
yang
kita kenal sangat keras dan tegar itu? Tetapi kemenangan
Muslimin
yang sangat meyakinkan membuat Khalid lebih banyak
menenggang.
Jumlah korban yang mati di pihak Banu Hanifah sudah melebihi
suatu
kemampuan. Konon yang mati di Kebun Maut itu mencapai tujuh
ribu
orang, dan sebanyak itu pula mati di medan perang, dan tujuh
ribu lagi
mati ketika Khalid melepaskan pasukannya mengadakan
pengejaran
terhadap orang-orang yang melarikan diri. Di samping itu
dari perdamaian
yang dilakukan dengan Mujja'ah itu Muslimin mendapat
rampasan
perang berupa emas, perak, senjata dan seperempat tawanan
perang. Di setiap pedesaan Banu Hanifah, dapat pula kebun
dan persawahan
sesuai dengan pilihan Khalid. Kalaupun Mujja'ah sudah
berhasil
menyelamatkan masyarakatnya yang masih ada sehingga mereka
yang masih mampu berperang pun tak sampai dibunuh, namun
masyarakatnya
itu semua sudah kembali kepada Islam dan mengakui kedaulatan
Abu Bakr. Jika Khalid sudah dapat mencapai semua itu tak
perlu lagi ia marah kepada Mujja'ah atau mengadakan
pembalasan karena
tipu dayanya itu.
Jumlah korban di pihak Muslimin
Seperti jumlah korban yang terbunuh di pihak Banu Hanifah,
yang
tak pernah terbayang dalam pikiran siapa pun di tanah Arab
masa itu,
begitu juga jumlah korban yang terbunuh di kalangan
Muslimin, di luar
perkiraan mereka pula. Dari pihak Muhajirin yang terbunuh
sebanyak
tiga ratus enam puluh orang, dari Ansar tiga ratus, tak
termasuk anggotaanggota
kabilah yang terbunuh. Jumlah yang terbunuh di pihak Muslimin
mencapai seribu dua ratus orang.
Kabilah-kabilah itu diperolok oleh kaum Muhajirin dan Ansar.
Mereka
merasa bangga dengan jumlah yang terbunuh itu. Kelebihan
Muhajirin
dan Ansar bukan hanya pada jumlah orang yang terbunuh itu
saja, tetapi
di antara mereka itu terdapat tiga puluh sembilan orang
sahabat
besar dan mereka yang sudah hafal Qur'an. Dan kita pun tahu
betapa
besar dan terhormatnya kedudukan mereka di mata kaum
Muslimin.
Tetapi ya. Adakalanya malapetaka membawa rahmat! Akibat
terbunuhnya
para penghafal Qur'an itulah maka timbul pikiran pada masa
Abu
Bakr hendak mengumpulkan Qur'an, sebab pembunuhan seperti
yang
terjadi terhadap mereka yang ikut serta dalam ekspedisi
Yamamah itu,
dikhawatirkan kelak akan berlanjut kepada yang lain.
Kesedihan Muslimin di Mekah dan di Medinah
Kesedihan Muslimin di Mekah dan di Medinah atas kematian itu
dapat diimbangi hanya karena adanya kemenangan yang telah
dikaruniakan
Allah kepada mereka. Ketika Abdullah bin Umar bin Khattab
kembali pulang sesudah berjuang dan bertempur mati-matian di
Yamamah,
ayahnya berkata setelah menemuinya:
"Mengapa engkau pulang padahal Zaid sudah meninggal.
Tidak
malu kau memperlihatkan muka kepadaku!?"
"Ingin sekali aku seperti dia, tetapi karena aku
tertinggal maka Allah
mengaruniakan mati syahid itu kepadanya," kata
Abdullah.
Sumber lain menyebutkan bahwa dia berkata: "Dia memohon
mati
syahid kepada Allah, dia diberi. Aku sudah berusaha supaya
diberikan
kepadaku, tapi tidak diberikan juga."
Kesedihan Umar atas kematian Zaid adiknya itu hanya sebuah
contoh
saja dari kesedihan yang umumnya menimpa Mekah dan Medinah
atas gugurnya pahlawan-pahlawan yang telah mati syahid dalam
perang
dengan Musailimah itu.
Bagaimana Khalid? Sedihkah dia seperti yang lain? Gentarkah
hatinya
menyaksikan mayat-mayat dan melihat banjir darah?!
Samasekali
tidak! Kalaulah memang demikian adanya, niscaya tak akan
mungkin ia
memegang pimpinan, menjadi panglima ke Irak dan Syam serta
yang
pertama meletakkan dasar kedaulatan Islam. Di mana ada
jenderal yang
tak tersentak hatinya saat melihat ribuan musuh
bergelimpangan, tersungkur
di depan pasukannya?! Tetapi Khalid, Khalid tidak gamang
dan tidak terpengaruh. Malah setelah ia merasa aman dengan
kemenangan
itu dan mengadakan persetujuan dengan Mujja'ah dan tampuk
pimpinan sudah diserahkan ke tangannya, ia memanggil
Mujja'ah.
"Kawinkan aku dengan putrimu," katanya kemudian.
Sebenamya Mujja'ah sudah mendengar tentang perkawinannya
dengan
'Laila Umm Tamim, juga tentang Abu Bakr yang memanggilnya
dan mengecamnya atas perbuatannya yang telah melanggar adat
kebiasaan
Arab itu. "Tunggu dulu," kata Mujja'ah.
"Engkau mau merusak kekeluargaanku,
dan aku sudah tahu soal keluargamu dengan sahabatmu itu
(maksudnya Abu Bakr)." Kata-kata itu tidak menyenangkan
hati Khalid, tetapi dia tak peduli.
Malah ditatapnya orang itu seraya katanya lagi: "He,
kawinkan
aku!" Siapa yang dapat menentang perintahnya sesudah
kemenangannya
di Yamamah itu. Akhirnya Mujja'ah mau mengawinkan putrinya.
Suamiistri
itu tinggal bersama di rumah ayahnya, kemudian dibuatkan
kemah
tersendiri di dekat kemah Umm Tamim.
Kemarahan Abu Bakr
Apa yang dilakukan Khalid itu sampai juga kepada Abu Bakr.
Begitu mengetahui ia terkejut sekali; kemudian berubah
marah; kemudian
kemarahannya meledak menjadi berang luar biasa. Satu-satunya
pembelaannya dulu ketika Khalid mengawini Laila Umm Tamim
bahwa
dia membunuh suaminya bukan untuk mengawini istrinya. Dan
kalaupun
dia bersalah, kesalahannya itu karena dia telah melanggar
adat
kebiasaan Arab. Melakukan perkawinan serupa itu sungguh
suatu perbuatan
yang sangat tercela sekali mengingat darah masih mengalir
dan
orang masih dalam suasana berkabung. Bagaimana pula sekarang
ia
mengulangi perbuatannya itu di Yamamah, padahal ada sebanyak
seribu
dua ratus Muslimin yang terbunuh, sedang dalam peristiwa
Malik bin
Nuwairah tak ada seorang pun yang terbunuh! Oleh karena itu,
Abu
Bakr, orang yang begitu bijaksana, sudah tak dapat lagi
menahan kemarahannya.
Bahkan terdorong oleh keberangan itu ia menulis suratnya
"dengan darah mengalir," meminjam kata-kata Tabari yang bunyinya
sebagai berikut: "Demi hidupku, ah anak Umm Khalid!
Sungguh engkau orang tak
berakal! Engkau kawin dengan perempuan itu sedang bercak
darah
seribu dua ratus Muslim di beranda rumahmu belum lagi
kering!"
Setelah surat itu diterima, Khalid merenungkannya sejenak.
Sedih
sekali ia karena kemarahan Abu Bakr itu. la menggelengkan
kepala
seraya berkata: Ini tentu perbuatan si kidal maksudnya Umar
bin
Khattab. Tetapi soalnya, akibat kemarahan Abu Bakr itu, dari
pihak
Khalid tak lebih dari sekadar sedih, dan di pihak Abu Bakr
tak lebih
dari sekadar marah kepada Khalid dengan surat tersebut.
Apa artinya putri Mujja'ah itu dalam arti merayakan
kemenangan
yang harus dirayakan untuk Khalid? Tak lebih dia hanya
sebuah persembahan
yang diletakkan di telapak kaki panglima genius itu, yang
telah membasahi bumi Yamamah dengan darah untuk
membersihkannya
dari segala kekotoran. Bahkan perempuan itu pun tak lebih
dari hanya
salah seorang hamba sahaya penabuh gendang dan
menyanyi-nyanyi
gembira pada hari perayaan itu, karena Islam telah kembali
seutuhnya
ke dalam perlindungan Islam. Tetapi! Mahaagung Engkau ya
Allah! Islam
tidak mengenal perayaan-perayaan semacam ini. Tetapi yang
dikenalnya
ialah bahwa kemenangan itu dari Allah, diberikan kepada
siapa
saja yang Ia kehendaki. Dan kemenangan kini itu sudah
diberikan kepada
Khalid. Maka agama-Nya yang benar telah diperkuat, dan
segala
pemurtadan dan kaum murtadnya sudah dihancurkan.
Dengan ekspedisi Yamamah itu Khalid telah berhasil mengikis
pemurtadan
dan kaum murtadnya. Dengan demikian sudah saatnya tanah
Arab untuk kembali tenang dan berpegang teguh pada agama
Allah.
Jikapun masih ada berita-berita tentang perang pemurtadan di
Mahrah,
Oman dan Yaman sesudah Yamamah, semua itu bahayanya tidaklah
sebesar Yamamah. Itu pula sebabnya, sesudah Yamamah sekarang
tiba
saatnya buat Abu Bakr untuk hidup lebih tenang, dan Khalid
pun sesudah
itu boleh beristirahat. Sekarang Khalid sudah pindah ke
sebuah lembah di kawasan Yamamah
yang disebut Lembah Wabr. Putri Mujja'ah dan Umm Tamim
dikumpulkan dalam satu rumah di tempat itu.
Lamakah dia tinggal di tempat itu dan sudah cukupkah
beristirahat?
Itulah yang tidak diberitakan kepada kita oleh buku-buku
sejarah.
Tetapi strategi Abu Bakr dan strategi Islam masih sangat
memerlukan
pedang Khalid. Dan ini yang akan kita lihat sebentar lagi.
Sampai
bertemu lagi genius perang, Pedang Allah! Sampai bertemu
lagi di tepi
Sungai Furat (Euphrate).
Daerah-daerah yang kembali kepada Islam
Khalid bin Walid sudah berhasil membasmi kaum murtad di
kalangan
Banu Asad dan Banu Tamim di daerah-daerah Yamamah. Dan
mereka yang masih hidup di kalangan kabilah-kabilah itu
kembali kepada
agama yang benar, kepada Islam. Perkampungan kabilah-kabilah
ini di
timur laut tanah Arab sampai ke perbatasan Teluk Persia di
sebelah
timurnya, yang letaknya di sebelah utara Medinah dari arah
timur, kemudian
menyusur turun sampai ke arah tenggara Mekah. Daerah
kekuasaan
yang menyatakan setia kepada Abu Bakr — yang ketika Perang
Riddah dulu hanya terbatas pada kawasan segi tiga, ujungnya di
Medinah
dan dasarnya antara Mekah dengan Ta'if— telah membuka jalan
untuk mengembalikan semua itu kepada Islam.
Pembangkangan kabilah-kabilah di daerah utara Medinah tidak
begitu
berbahaya dalam arti sampai membawa akibat yang
mengkhawatirkan.
Ahli-ahli sejarah pun tak ada yang menyebutkan bahwa
penduduk kawasan
itu bersikeras mau murtad dan untuk itu mau berperang
seperti
dalam uraian mereka mengenai Banu Asad atau Banu Hanifah di
Yamamah.
Tak ada yang dikecualikan dari semua ini selain Dumat
al-Jandal
yang dipimpin oleh Ukaidir al-Kindi. Hanya daerah ini yang
tetap membangkang
sebelum ditundukkan oleh Khalid bin Walid, dan Ukaidir yang
ditawan diselesaikan. Khalid menaklukkannya ketika dalam
perjalanan
ke Irak.
Riddah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Perang Riddah ialah tindakan memerangi
kabilah-kabilah atau suku-suku yang murtad dari Islam
setelah Nabi Sallallahu
'alaihi wasallam wafat. Di antara pemimpin-pemimpinnya ada yang mengaku nabi,
menolak
menunaikan zakat dan mengadakan pemberontakan terhadap
pemerintah pusat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar