Sabtu, 17 Maret 2012

PELANTIKAN ABU BAKR


PELANTIKAN ABU BAKR
menyampaikan berita sedih itu. Abu Bakr segera kembali. la melihat Muslimin dan Umar yang sedang berpidato. la tidak berhenti tetapi terus menuju ke rumah Aisyah. Dilihatnya Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam di salah satu bagian dalam rumah itu, sudah diselubungi kain. la maju menyingkap kain itu dari wajah Nabi lalu menciumnya dan katanya: "Alangkah sedapnya sewaktu engkau hidup, dan alangkah sedapnya sewaktu engkau wafat." la keluar lagi menemui orang banyak lalu berkata kepada mereka: "Saudara-saudara! Barang siapa mau menyembah Muhammad, Muhammad sudah meninggal. Tetapi barang siapa menyembah Allah, Allah hidup selalu, tak pernah mati." Selanjutnya ia membacakan firman Allah: "Muhammad hanyalah seorang Rasul; sebelumnya pun telah berlalu rasul-rasul. Apabila dia mati atau terbunuh kamu akan berbalik belakang? Barang siapa berbalik belakang samasekali tak akan merugikan Allah tetapi Allah akan memberi pahala kepada orang-orang yang bersyukur." (Qur'an, 3. 144). Setelah didengarnya Abu Bakr membacakan ayat itu, Umar jatuh tersungkur ke tanah. Kedua kakinya sudah tak dapat menahan lagi, setelah dia yakin bahwa Rasulullah memang sudah wafat. Orang semua terdiam setelah mendengar dan melihat kenyataan itu. Setelah sadar dari rasa kebingungan demikian, mereka tidak tahu apa yang hendak mereka perbuat. Satu segi dari kejiwaannya Di sini kita berhenti pula sejenak untuk melukiskan Abu Bakr dari segi psikologi dan di sini akan kita lihat pula peranannya dengan lebih jelas. Kalaupun ada di kalangan Muslimin yang akan merasa tercekam perasaannya karena meninggalnya Rasulullah seperti yang dialami Umar itu. maka Abu Bakr-lah orangnya. Dia teman dekat dan pilihan Nabi, dia yang diminta oleh Nabi berada di dekatnya dalam setiap kesempatan. Dia yang menangis ketika Nabi mengatakan: "Seorang hamba oleh Allah disuruh memilih tinggal di dunia ini atau di sisi-Nya, maka ia akan memilih di sisi Allah," dan dia pula yang mengatakan ketika mendengar kata-kata itu dengan air mata yang sudah tak tertahankan: "Kami akan menebus Tuan dengan jiwa kami dan anak-anak kami." Tetapi keterharuannya dengan berpulangnya Rasulullah itu tidak sampai membuatnya kebingungan seperti yang terjadi pada Umar. Begitu ia yakin bahwa Rasulullah sudah berpulang, ia keluar dan berpidato di depan orang banyak seperti sudah kita baca tadi.

Kekuatan jiwa dan pandangannya yang jauh ke hari depan
Kata-kata yang diucapkannya serta ayat Qur'an yang dibacakannya untuk meyakinkan orang, menunjukkan adanya suatu kekuatan dalam dirinya dalam menghadapi kenyataan. Ini yang menyebabkannya tidak sampai jatuh kebingungan dalam menerima berita yang menyedihkan seperti berpulangnya Rasulullah itu. Kekuatan jiwanya itu ditambah lagi oleh suatu sifat lain yang lebih lagi memperlihatkan keagungan dan kehebatannya, yaitu pandangannya yang jauh ke hari depan. Kedua sifat ini sungguh mengagumkan, sebab adanya justru pada orang yang begitu lemah lembut, begitu menjunjung tinggi dan begitu besar kecintaannya kepada Muhammad, melebihi cintanya pada kehidupan dunia ini dengan segala isinya. Kekuatan jiwa yang besar inilah yang menjadi pegangan Abu Bakr pada detik-detik yang sangat menentukan dan pelik. Saat kesedihan dan duka yang sedang menimpa kaum Muslimin karena kematian Rasulullah, itu jugalah sandarannya pada saat-saat genting berikutnya yang harus dialaminya dan dialami kaum Muslimin. Pada saat itulah Islam dan umat Islam terhindar dari bencana besar, yang kalau tidak karenanya mereka akan terjerurnus ke dalam bahaya. Sebagai akibatnya, hanya Allah yang tahu, apa yang akan menimpa mereka dan menimpa generasi berikutnya.

Sesudah Rasulullah, di tangan siapakah pimpinan umat
Baik Umar maupun kaum Muslimin yang ada di sekelilingnya dan yang merasa puas dengan apa yang dikatakannya bahwa Nabi sudah wafat, kecuali mereka yang tak dapat berpikir apa yang ada di balik itu, karena mereka dalam kebingungan setelah berita tersebut. Tetapi mereka yang sudah yakin akan kenyataan berita itu begitu pertama kali mereka mengetahui, tidak sampai kesedihan itu membuat mereka kehilangan akal. Keadaan Medinah sudah stabil di tangan Rasulullah dan agama pun sudah merata ke seluruh daerah. Tetapi setelah Nabi tiada, ke tangan siapakah semua itu harus berpindah, sementara pengaruh Rasulullah sudah meluas ke kawasan Arab yang lain setelah mereka menganut Islam dan sesudah Ahli Kitab yang tetap pada agama masingmasing bersedia membayar jizyah? Masih akan berlanjutkah pengaruh Medinah itu? Kalau ya, siapakah dari penduduk kota itu yang akan memegang tanggung jawab?

Kemarahan Ansar kepada Muhajirin
Golongan Ansar penduduk Medinah pernah marah kepada kaum Muhajirin, karena pertama kali mereka datang sebagai tamu bersama Rasulullah, kaum Ansar jugalah yang memberi tempat perlindungan dan membela mereka. Setelah sekarang mereka dalam keadaan aman mereka mau menguasai sendiri keadaan. Demikian perasaan mereka pada masa Nabi, dan sudah wajar apabila setelah Nabi wafat hal ini akan jelas naik ke permukaan. Bahkan pada masa Nabi pun pernah terasa juga, yakni setelah Mekah dibebaskan dan sesudah perang Hunain dan Ta'if. Tindakan Muhammad memberikan rampasan perang yang cukup banyak kepada golongan "mualaf' penduduk Mekah telah menjadi bahan pembicaraan kalangan Ansar: "Rasulullah telah bertemu dengan masyarakatnya sendiri," kata mereka. Setelah hal ini disampaikan kepada Nabi, dimintanya Sa'd bin Ubadah pemimpin Khazraj — mengumpulkan mereka. Sesudah mereka berkumpul kata Nabi kepada mereka: "Saudara-saudara kaum Ansar. Ada desas-desus disampaikan kepadaku, yang merupakan perasaan yang ada dalam hati kamu terhadap diriku, bukan? Bukankah kamu dalam kesesatan ketika aku datang lalu Allah membimbing kamu? Kamu dalam kesengsaraan lalu Allah memberikan kecukupan kepada kamu, kamu dalam permusuhan, Allah raempersatukan kamu?" Mendengar itu Ansar hanya menekur, dan jawaban mereka hanyalah: "Ya benar. Allah dan Rasulullah juga yang lebih bermurah hati." Nabi bertanya lagi: "Saudara-saudara Ansar, kamu tidak menjawab kata-kataku!" Mereka masih menekur, dan tak lebih hanya mengatakan: "Dengan apa harus kami jawab, ya Rasulullah? Segala kemurahan hati dan kebaikan ada pada Allah dan Rasul-Nya juga." Mendengar jawaban itu Rasulullah berkata lagi: "Ya, sungguh, demi Allah. Kalau kamu mau, tentu kamu masih dapat mengatakan kamu benar dan pasti dibenarkan "Engkau dating kepada kami didustakan orang, kamilah yang mempercayaimu; engkau ditinggalkan orang, kamilah yang menolongmu; engkau diusir, kamilah yang memberimu tempat; engkau dalam sengsara, kami yang menghiburmu." Kata-kata itu diucapkan oleh Nabi dengan jelas sekali dan penuh keharuan. Kemudian katanya lagi. "Kamu marah, Saudara-saudara Ansar, hanya karena sekelumit harta dunia yang hendak kuberikan kepada orang-orang yang perlu diambil hatinya agar mereka sudi masuk Islam, sedang keislamanmu sudah dapat dipercaya. Tidakkah kamu rela Saudara-saudara Ansar, apabila orang-orang itu pergi membawa kambing, membawa unta, sedang kamu pulang membawa Rasulullah ke tempat kamu? Demi Dia Yang memegang hidup Muhammad! Kalau tidak karena hijrah, tentu aku termasuk orang Ansar. Jika orang menempuh suatu jalan di celah gunung, dan Ansar menempuh jalan yang lain, niscaya aku akan menempuh jalan Ansar. Allahumma ya Allah, rahmatilah orang-orang Ansar, anak-anak Ansar dan cucu-cucu Ansar." Begitu terharu orang-orang Ansar mendengar kata-kata Nabi yang keluar dari lubuk hati yang ikhlas diucapkan dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang, terutama kepada mereka yang dulu pernah memberikan ikrar, pernah memberikan pertolongan dengan satu sama saling memberikan kekuatan — sehingga orang-orang Ansar itu menangis seraya berkata: "Kami rela dengan Rasulullah sebagai bagian kami."

Ansar dan pembebasan Mekah
Pemberian harta rampasan perang Hunain kepada golongan mualaf bukan yang pertama kali menimbulkan kegelisahan dalam hati orangorang Ansar. Kegelisahan demikian sudah pernah timbul tatkala Mekah dibebaskan. Mereka melihat Rasulullah berdiri di Safa sambil berdoa, dan ketika mereka melihatnya sedang menghancurkan berhala-berhala, yang dalam suatu hari berhasil diselesaikannya apa yang diserukannya selama dua puluh tahun. Sekarang terbayang oleh mereka bahwa ia pasti meninggalkan Medinah, kembali ke tempat tumpah darah semula. Mereka berkata satu sama lain: "Bagaimana pendapatmu, setelah Allah memberi kemenangan, akan menetapkah Rasulullah di negerinya sendiri?" Setelah Muhammad mengetahui rasa kekhawatiran itu, ia langsung berkata: "Berlindunglah kita kepada Allah! Hidup dan matiku akan bersama kamu." Ansar di Saqifah Banu Sa 'idah Wajar sekali dengan perasaan yang demikian itu kaum Ansar akan cepat-cepat berpikir mengenai kota mereka begitu mereka mengetahui Rasulullah sudah wafat. Adakah orang-orang Medinah dan orang-orang Arab itu akan diurus oleh kaum Muhajirin, yang ketika tinggal di Mekah dulu mereka masih lemah, tak ada tempat berlindung, tak ada pembelaan sebelum mereka diangkat oleh Medinah, ataukah akan diurus oleh penduduk Medinah sendiri, yang seperti kata Rasulullah ia datang kepada mereka didustakan orang, lalu mereka yang mempercayainya, ia ditinggalkan orang, mereka yang menolongnya, ia diusir mereka yang memberi tempat dan ia sengsara mereka yang menghiburnya. Beberapa orang dari kalangan Ansar membicarakan masalah ini. Mereka lalu berkumpul di Saqifah Banu Sa'idah. Ketika itu Sa'd sedang sakit di rumahnya. Oleh mereka diminta keluar sebagai orang yang akan menentukan pendapat di kalangan Ansar. Setelah mendengar laporan itu ia berkata kepada anaknya atau kepada salah seorang sepupunya: "Karena sakitku ini kata-kataku tak akan terdengar oleh khalayak itu semua. Tetapi teruskanlah kata-kataku biar terdengar oleh mereka."

Pidato Sa 'd di hadapan kaum Ansar
Kemudian ia mulai berbicara. Salah seorang meneruskan kata-katanya itu kepada hadirin. Sesudah mengucapkan syukur dan puji kepada Allah ia berkata: "Saudara-saudara Ansar, kamu adalah orang-orang terkemuka dalam agama dan yang mulia dalam Islam, yang tak ada pada kabilah-kabilah Arab yang lain. Muhammad 'alaihis-salam selama sekitar sepuluh tahun di tengah-tengah masyarakatnya itu mengajak mereka beribadah kepada Allah, dan menjauhi penyembahan berhala, tetapi hanya sedikit saja dari mereka yang beriman. Mereka tidak mampu melindungi Rasulullah atau mengangkat kedudukan agama, juga mereka tak dapat membela diri mereka sendiri dari kezaliman lawan yang sudah begitu merajalela. Karena Allah menghendaki kamu menjadi orang yang bermartabat, maka kamu telah diberi kehormatan dan kenikmatan. Karunia Allah kepada kamu ialah kamu telah beriman kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya, dapat memberikan perlindungan kepadanya dan kepada sahabat-sahabatnya, sama-sama mendukungnya dalam mengangkat martabat serta memperkuat agamanya, berjuang menghadapi musuh-musuhnya. Kamu adalah orang-orang yang paling keras menghadapi musuhnya itu, baik yang datang dari dalam kalangan kamu ataupun dari luar. Sampai akhirnya kawasan Arab itu mau tak mau tunduk kepada perintah Allah, sampai ke tempat yang jauh semua tunduk menyerah, sehingga Allah memberikan kemenangan kepada Rasulullah. Dengan pedang kamu orang-orang Arab itu tunduk kepadanya. Dengan kehendak Allah Rasulullah sekarang telah berpulang ke sisi-Nya, dengan senang hati terhadap kamu sekalian, Oleh karena itu Saudara-saudara, pertahankanlah kekuasaan ini di luar orang lain, karena itu memang hak kamu, bukan hak orang lain." Mendengar kata-kata Sa'd itu, serentak mereka menjawab: "Tepat sekali pendapatmu, dan kami tak akan beranjak dari pendapat itu. Kami serahkan persoalan ini ke tanganmu. Demi kepentingan kaum Muslimin engkaulah pemimpin kami." Adakah kebulatan suara ini suatu keputusan yang sudah mantap, keluar dari kehendak hati yang benar-benar sudah tak tergoyahkan lagi? Kalau memang demikian halnya tentu cepat mereka akan memberi ikrar dan dengan ikrar atau baiat itu orang-orang akan ramai-ramai pula mendukungnya. Tetapi ternyata mereka masih berdiskusi sebelum ada yang tampil membaiat Sa'd. Di antara mereka masih ada yang berkata: "Kalau kaum Muhajirin Kuraisy itu menolak lalu mereka berkata "Kami adalah kaum Muhajirin, sahabat-sahabat Rasulullah yang mulamula, kami masih sesuku dari keluarga dekatnya, lalu dengan apa harus kita hadapi mereka dalam hal ini?" Kata-kata ini mendapat perhatian hadirin. Mereka berpendapat ini benar juga. Tadinya menurut anggapan sebagian mereka sudah tak dapat dibantah. Ketika itulah ada sekelompok orang berkata: "Kalau begitu, kita bisa mengatakan, dari kita seorang amir dan dari kamu seorang amir. Di luar ini kami samasekali tidak setuju."

Kelemahan pertama
Sa'd bin Ubadah bukan tidak tahu adanya sikap ragu-ragu yang akhirnya akan membuat orang menyimpang dari tujuan semula, seperti yang tersirat dalam kata-kata itu. Karenanya, ketika mendengar hal itu ia berkata: "Ini adalah kelemahan pertama." Barangkali ia melihat adanya kelemahan pertama itu ketika mereka yang berpendapat demikian datang dari kalangan Aus. Sebaliknya pihak Khazraj tidak mungkin akan mengatakan demikian mengingat Sa'd bin Ubadah adalah pemimpin mereka yang memang sudah mereka calonkan untuk memegang pimpinan Muslimin sesudah Rasulullah. Antara Banu Aus dengan Banu Khazraj ini sejak dahulu selalu dalam sengketa selalu, yaitu sejak kedatangan nenek moyang mereka ke Medinah dari Yaman tatkala kabilah Azd berimigrasi ke utara. Nenek moyang mereka di Medinah bertemu dengan orang-orang Yahudi dan sarnpai sekian lama mereka berada di bawah kekuasaannya. Kemudian mereka berontak dan berhasil melepaskan diri dari kekuasaan itu. Sejak itu, antara kedua kabilah ini terjadi permusuhan sengit. Dalam pada itu kekuasaan itu kembali lagi ke tangan orang Yahudi. Kedua kabilah ini kemudian melihat bahwa apa yang terjadi itu akan membawa kelemahan kepada mereka sendiri. Maka mereka bermaksud hendak mengangkat Abdullah bin Muhammad sebagai pemimpin mereka, sesudah tidak sedikit menelan korban di pihak mereka akibat perang Bu'as. Di sinilah pihak Israil memang lebih unggul dari mereka. Sementara itu ada beberapa orang yang datang ke Mekah hendak berziarah. Ketika itulah mereka bertemu dengan Nabi yang kemudian mengajak mereka kepada agama Tauhid. Mereka saling berkata satu sama lain: "Sungguh inilah Nabi yang pernah dijanjikan orang-orang Yahudi kepada kita. Jangan sampailah mereka mendahului kita." Kemudian setelah menerima ajakan itu mereka pun masuk Islam. "Kami telah meninggalkan golongan kami," kata mereka — yakni Aus dan Khazraj — dan tidak ada lagi golongan yang akan saling bermusuhan dan saling mengancam. Mudah-mudahan Allah mempertemukan Tuan dengan mereka. Kalau Allah mempertemukan mereka dengan Tuan, tak ada orang yang lebih mulia dari Tuan." Sesudah itu mereka kembali ke Medinah. Pengalaman mereka itu mereka sampaikan kepada kabilah mereka. Inilah pendahuluan Ikrar Akabah (Bai'atul 'Aqabah al-Kubra) dan pendahuluan hijrah Rasulullah ke Medinah serta permulaan tersebarnya Islam di sana. Agama baru ini telah mempersatukan orang-orang beriman dan mempererat rasa persaudaraan dan kasih sayang mereka yang ada di sekeliling Nabi. Dengan demikian kedudukan Yahudi makin lemah, dan ini yang membuka jalan keluarnya mereka dari Medinah dan dari seluruh kawasan Arab. Tetapi bekas permusuhan lama dalam hati Aus dan Khazraj itu masih belum hilang. Hal itu timbul bila orang-orang Yahudi dan orangorang munafik yang pura-pura masuk Islam menghasut mereka. Inilah yang menimbulkan dugaan, bahwa ketika melihat orang yang berkumpul di Saqifah1 Banu Sa'idah mengatakan "Dari kami seorang amir dan dari Kuraisy seorang amir" Sa'd bin Ubadah tidak akan mengatakan "Ini adalah kelemahan pertama," kalau bukan golongan Aus yang mengatakan itu.

Umar dan Abu Ubaidah tentang kekhalifahan
Sementara Ansar masih di Saqifah Banu Sa'idah bertukar pikiran antara sesama mereka yang ingin memegang kekuasaan di kawasan Saqifah, 'serambi bcratap' (A) (LA) atau 'ruangan besar beratap' (LA), semacam balairung.Arab itu, Umar bin Khattab, Abu Ubaidah bin Jarrah dan beberapa kalangan terkemuka Muslimin lainnya dan yang awam, sedang sibuk membicarakan kematian Rasulullah. Ketika itu Abu Bakr, Ali bin Abi Talib dan keluarga Nabi yang lain sedang  berada di sekeliling jenazah, menyiapkan segala sesuatunya untuk pemakaman. Umar, setelah yakin benar bahwa Nabi memang sudah wafat, mulai berpikir apa yang akan terjadi sesudah itu. Tak terlintas dalam pikirannya bahwa pihak Ansar sudah lebih dulu berpikir ke arah itu, atau mereka ingin menguasai keadaan di luar yang lain. Dalam at-Tabaqat Ibn Sa'd mengatakan: "Umar mendatangi Abu Ubaidah bin Jarrah dengan mengatakan: 'Bentangkan tanganmu akan kubaiat engkau. Engkaulah orang kepercayaan umat ini atas dasar ucapan Rasulullah. Abu Ubaidah segera menjawab: "Sejak engkau masuk Islam tak pernah kau tergelincir. Engkau akan memberikan sumpah setia kepadaku padahal masih ada Abu Bakr?'" Sementara mereka sedang berdialog demikian itu, berita tentang Ansar serta pertemuan mereka di Saqifah Banu Sa'idah sampai kepada Umar dan kawan-kawan. Umar mengutus orang menyusul Abu Bakr di rumah Aisyah dan memintanya segera datang. Abu Bakr mengatakan kepada utusan itu: Saya sedang sibuk. Tetapi Umar menyuruh kembali lagi utusan itu dengan pesan kepada Abu Bakr: "Ada suatu kejadian penting memerlukan kedatanganmu." Dengan penuh keheranan Abu Bakr datang menemui Umar. Ada persoalan apa meminta ia datang sampai harus meninggalkan persiapan jenazah Rasulullah. "Engkau tidak tahu," kata Umar kemudian, "bahwa Ansar sudah berkumpul di Saqifah Banu Sa'idah. Mereka ingin menyerahkan pimpinan ini ke tangan Sa'd bin Ubadah. Ucapan yang paling baik ketika ada yang mengatakan: Dari kami seorang amir dan dari Kuraisy seorang amir." Mendengar itu, tanpa ragu lagi Abu Bakr bersama Umar berangkat cepat-cepat ke Saqifah disertai juga oleh Abu Ubaidah bin Jarrah. Bagaimana ia akan ragu sedang masalah yang dihadapinya kini masalah Muslimin dan hari depannya, bahkan masalah agama yang telah diwahyukan kepada Muhammad serta masa depannya juga. Dalam- mengurus jenazah Rasulullah sudah ada keluarganya, mereka yang akan mempersiapkan pemakaman. Maka sebaliknya ia dan kedua sahabatnya itu pergi ke Saqifah. Ini sudah menjadi kewajiban; suatu hal yang tak dapat dipikulkan kepada orang lain. Tak boleh sehari pun dibiarkan tanpa suatu tanggung jawab serta memikul beban yang betapapun beratnya, meskipun harus dengan pengorbanan harta dan nyawa. Dalam perjalanan ketiga orang itu bertemu dengan Asim bin Adi dan Uwaim bin Sa'idah yang lalu berkata kepada mereka: "Kembalilah, tak akan tercapai apa yang kamu inginkan." Dan setelah mereka berkata: "Jangan mendatangi mereka, selesaikan saja urusanmu." "Tidak! Akan kami datangi mereka!" jawab Umar.

Pertemuan Saqifah dan bahaya yang mengancam
Tatkala ketiga orang itu tiba, pihak Ansar masih berdiskusi, belum mengangkat Sa'd, juga belum mengambil suatu keputusan mengenai kekuasaan itu. Seperti menyesali keadaan, orang-orang Ansar itu terkejut melihat kedatangan mereka bertiga. Orang-orang Ansar berhenti bicara. Di tengah-tengah mereka ada seorang laki-laki berselimut, yang oleh Umar bin Khattab ditanya siapa orang itu. "Ini Sa'd bin Ubadah, sedang sakit," jawab mereka. Abu Bakr dan kedua kawannya itu juga duduk di tengah-tengah mereka dengan pikiran masing-masing sudah ditimbuni oleh pelbagai pertanyaan, apa yang akan dihasilkan oleh pertemuan itu. Sebenarnya pertemuan ini sangat penting dalam sejarah Islam yang baru tumbuh itu. Dalam pertemuan serupa ini, kalau Abu Bakr tidak memperlihatkan sikap tegas dan kemauan yang keras seperti juga di kawasan Arab yang lain justru di kandang sendiri hampir saja agama baru ini menimbulkan perselisihan, sementara jenazah pembawa risalah itu masih berada di dalam rumah, belum lagi dikebumikan. Andaikata pihak Ansar tetap bersikeras akan memegang tampuk pimpinan sesuai dengan seruan Sa'd bin Ubadah, sedang pihak Kuraisy sebaliknya tidak mau menyerahkannya kepada pihak lain, maka dapat kita bayangkan, betapa jadinya Medinah Rasulullah ini akjbat tragedy pemberontakan itu kelak! Betapa hebatnya ledakan pemberontakan bersenjata itu sementara pasukan Usamah masih berada di tengah-tengah mereka, terdiri dari kaum Muhajirin dan Ansar, masing-masing sudah bersenjata lengkap, sudah dengan baju besi dan sudah sama-sama siap tempur! Andaikata kaum Muhajirin yang hadir di Saqifah itu bukan Abu Bakr, bukan Umar dan bukan Abu Ubaidah, melainkan orang-orang yang belum punya tempat dalam hati segenap kaum Muslimin seperti pada kedua wazir (pendamping) Rasulullah dan orang-orang kepercayaan umat ini, niscaya timbul perselisihan hebat antara mereka dengan Ansar, niscaya berkecamuk pertentangan.antara kaum Muslimin dengan segala akibatnya yang sampai sekarang belum terpikirkan oleh para sejarawan dan niscaya sebagian besar yang hadir dalam pertemuan Saqifah itu tak akan berhenti hanya pada peristiwa dan pertukarpikiran yang berakhir dengan dilantiknya Abu Bakr itu saja. Tetapi mereka yang dapat menilai peristiwa itu sebagaimana mestinya akan melihat pengaruh pertemuan bersejarah itu dalam sejarah Islam, seperti pada waktu Ikrar Aqabah dan pada hijrah Rasulullah dari Mekah ke Medinah. Orang akan melihat bahwa sikap Abu Bakr menghadapi situasi itu adalah sikap seorang politikus, bahkan seorang negarawan yang punya pandangan jauh, yang dapat memperhitungkan hasil-hasil dan segala kemungkinannya, dengan terus mengarahkan segala usahanya dengan tujuan hendak mencapai yang baik dan mencegah bahaya dan segala yang buruk.

Abu Bakr mulai dengan serangan damainya
Dalam kehidupan kita dewasa ini kita sudah biasa mengenal istilahistilah yang dilakukan oleh kaum politisi untuk menggambarkan situasi dan tindakan-tindakan yang mereka anggap baru dan belum pernah dilakukan orang sebelumnya. Yang mudah biasa kita dengar masa kita sekarang ini ialah istilah "serangan damai." Pada masa-masa dahulu serangan damai demikian ini sudah tidak asing lagi. Malah cara inilah yang telah dilakukan oleh Abu Bakr dan juga dilaksanakan oleh kedua sahabatnya dalam pertemuan bersejarah yang sangat penting itu. Setelah ketiga Muhajirin itu merasa puas dengan pertemuan tersebut, pihak Ansar tidak lagi berani meneruskan dan mereka sadar. Tetapi pihak-pihak yang masih keras ingin memegang pimpinan setelah Rasulullah tak dapat menahan diri.
"Aku sudah menyusun kata-kata yang akan kusampaikan kepada mereka," kata Umar, "tetapi waktu akan mulai berbicara, Abu Bakr berkata kepadaku: Sabarlah, aku yang akan bicara. Sesudah itu boleh kau bicara sesukamu."
Pidato Abu Bakr yang pertama kepada Ansar
Yang dikhawatirkan Abu Bakr sikap Umar yang terlalu keras bila berbicara, sedang situasinya tidak mengizinkan cara-cara kekerasan. Yang diperlukan ialah taktik yang bijak dan pengantar yang baik. Waktu itu Abu Bakr berdiri. Setelah mengucapkan syukur kepada Allah dan mengingatkan mereka kepada Rasulullah serta risalah tauhid yang dibawanya, ia berkata: "...Orang-orang Arab itu berat sekali untuk meninggalkan agama nenek moyang mereka. Kaum Muhajirin yang mula-mula dari masyarakat Nabi sendiri telah mendapat karunia Allah, mereka percaya kepadanya, beriman kepadanya, senasib seperjuangan dengan menanggung segala macam penderitaan, yang datangnya justru dari masyarakat mereka sendiri. Mereka didustakan, ditolak dan dimusuhi. Mereka tak merasa gentar, meskipun jumlah fhereka kecil, menghadapi kebencian dan permusuhan lawan yang begitu besar. Mereka itulah yang telah lebih dulu menyembah Allah di muka bumi, beriman kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Mereka itu termasuk sahabat-sahabatnya dan keluarganya. Sepeninggal Nabi, merekalah orang-orang yang paling berhak memegang pimpinan ini. Tak ada orang yang akan menentang kecuali orang yang zalim. "Dan kalian, Saudara-saudara Ansar! Siapa yang akan membantah jasa kalian dalam agama serta sambutanmu yang mula-mula, yang begitu besar artinya dalam Islam. Allah telah memilih kamu sebagai pembela{ansar) agama dan Rasul-Nya. Ke tempat kalian inilah ia hijrah dan dari kalangan kalian ini pula sebagian besar istri-istri dan sahabatsahabatnya.
Posisi itu hanya ada pada kamu sekalym setelah kami. Karena itu, maka kamilah para amir1 dan Tuan-tuan para wazir. Kami tak akan meninggalkan Tuan-tuan dalam musyawarah dan tak akan memutuskan sesuatu tanpa Tuan-tuan" Kami para amir dan Tuan-tuan para wazir. Kami tidak akan meninggalkan Tuan-tuan dalam musyawarah, dan kami takkan memutuskan sesuatu tanpa Tuan-tuan. Kata-kata ini mirip sekali dengan pendapat Ansar yang mengatakan: dari kami seorang amir dan dari Muhajirin seorang amir. Kata-kata yang lebih teratur ini dan akan membawa segala persoalan ke arah yang lebih baik dan membangun. Barang kali ini pula tujuan Abu Bakr — tujuan yang  sangat bijaksana dengan pandangan yang jauh. Barangkali pihak Aus pun yang tadinya masih bersaing dengan Khazraj, sekarang sudah puas menerima Abu Bakr. Dari kalangan Khazraj sendiri barangkali banyak yang tidak keberatan terhadapnya. Abu Bakr tidak menginginkan pihak Muhajirin akan memegang kekuasaan tanpa mengajak orang lain seperti yang dilakukan oleh Sa'd bin Ubadah. Malah dimintanya Ansar sebagai para wazir, bekerja sama
tanpa menyertakan yang lain, meskipun yang lain itu di beberapa bagi Amir jamak umara', harfiah 'pangeran,' 'pemimpin,' 'yang memerintah, pemcrintah' dapat diartikan juga 'kepala negara.' Wazir jamak wuzara' 'yang memberi dukungan ‘pendamping.' 'pembantu,' 'menteri'. Semenanjung ada yang lebih kuat dan lebih banyak jumlahnya. la
mengajak Ansar atas dasar pimpinan berada di tangan Muhajirin karena kedudukan mereka yang sudah lebih dulu dalam membela dan mendukung Rasulullah. Sudah tentu, dengan kata-kata itu mereka semua akan merasa puas, karena ini memang sudah sangat adil, dengan dasar demi kebenaran semata.

Jawaban Ansar kepada Abu Bakr
Orang-orang yang masih diliputi semangat mempertahankan Ansar merasakan pengaruh kata-kata Abu Bakr itu dalam hati kalangan Saqifah. Mereka khawatir kesepakatan yang semula sudah ada akan buyar. Keadaan itu dipaksakan oleh pihak Muhajirin dan kekuasaan akan dipegang mereka sendiri. Maka salah seorang dari Ansar berdiri dan berkata: "'Kemudian daripada itu. Kami adalah Ansarullah dan pasukan Islam, dan kalian dari kalangan Muhajirin sekelompok kecil dari kami, dating ke mari mewakili golongan Tuan-tuan. Tetapi ternyata sekarang Tuantuan mau mengambil hak kami secara paksa." Dalam kedudukannya itu, apa yang didengarnya tentu tidak menyenangkan Abu Bakr. Sekali lagi ia menunjukkan kata-katanya kepada Ansar, seraya katanya: "Saudara-saudara! Kami dari Muhajirin orang yang pertama menerima Islam. Keturunan kami orang baik-baik, keluarga kami terpandang, kedudukan kami baik pula. Di kalangan Arab kamilah yang banyak memberikan keturunan, dan kami sangat sayang kepada Rasulullah. Kami sudah memeluk Islam sebelum Tuan-tuan, di dalam Qur'an juga kami didahulukan dari Tuan-tuan, seperti dalam firman Allah: "Pelopor-pelopor pertama dari Muhajirin dan Ansar, dan yang mengikuti mereka dalam segala perbuatan yang baik (Qur'an, 9. 100).
Jadi kami Muhajirin dan Tuan-tuan adalah Ansar, Saudara-saudara kami seagama, bersama-sama menghadapi rampasan perang dan penolongpenolong kami dalam menghadapi musuh. Apa yang telah Tuan-tuan katakan, bahwa segala kebaikan ada pada Tuan-tuan itu sudah pada tempatnya. Dari segenap penghuni bumi ini Tuan-tuanlah yang patutdipuji. Tetapi dalam hal ini orang-orang Arab itu hanya mengenal lingkungan Kuraisy. Jadi dari pihak kami para amir dan dari pihak Tuantuan para wazir."!

Memasuki situasi yang serba sulit
Oleh Abu Bakr kata-kata terakhir itu diulang-ulang, yang sekaligus ketika pertama kali disampaikan telah memberi kesan dalam hati orangorang Ansar yang keras, yang merasa khawatir sekali dengan situasi demikian. Maka ketika itu al-Hubab bin al-Munzir bin al-Jamuh berdiri: "Saudara-saudara Ansar!" katanya. "Hendaklah kita pertahankan
hak kita. Orang-orang akan berada di belakang kita. Tak akan ada yang berani menentang kita dan orang tak akan menjalankan suatu keputusan tanpa meminta pendapat kita. Kekayaan dan kehormatan ada pada kita, begitu juga jumlah orang. Kita punya pertahanan dan pengalaman, kekuatan dan kesiagaan. Orang hanya akan melihat apa yang kamu perbuat. Janganlah kamu berselisih, agar pendapat kita tidak terpecah
belah, kekuasaan kita tidak pula goyah. Kemauan mereka hanya seperti yang sudah kalian dengar. Sekarang Saudara-saudara, dari kami seorang amir dan dari Tuan-tuan seorang amir." Begitu Hubab berhenti bicara Umar bin Khattab segera berdiri — yang sejak tadi hanya menahan diri tidak bicara, sebab mematuhi perintah Abu Bakr — seraya katanya: "Bah! Jangan ada dua kemudi dalam satu perahu. Orang-orang Arab tidak akan mau mengangkat kamu sedang nabinya bukan dari kalangan kamu. Tetapi mereka tidak akan keberatan mengangkat seorang pemimpin selama kenabian itu dari kalangan mereka. Alasan dan kewenangan kami sudah jelas buat mereka yang masih menolak semua itu. Siapakah yang mau membantah kewenangan dan kepemimpinan Muhammad sedang kami adalah kawan dan kerabat dekatnya — kecuali buat orang yang memang cenderung hendak berbuat batil, berbuat dosa dan gemar mencari-cari malapetaka!" Ucapan Umar itu dibalas oleh Hubab: "Saudara-saudara Ansar! Tetaplah kalian bertahan dan jangan mendengar kata-kata orang ini dan kawan-kawannya, kalian akan kehilangan
hak kalian. Kalau mereka menolak tuntutan kita, kita keluarkan mereka dari negeri ini, dan kekuasaan kita ambil dari mereka. Dalam hal ini kalian lebih berhak daripada mereka. Dengan pedang kalianlah orang yang tadinya tak beragama itu telah menerima agama ini. Saya tongkat lagi senjata.1 Demi Allah, kalau perlu biar kita yang memulai
peperangan." Mendengar ancaman itu Umar membalas: "Mudah-mudahan Allah memerangi kamu." "Bahkan kaulah yang harus diperangi," kata Hubab lagi. Kata-kata terakhir ini sudah merupakan ancaman yang sangat berbahaya.
Jika di pihak Hubab kaum Ansar cukup banyak jumlahnya tentu akan mudah sekali timbul huru-hara dan mereka cepat-cepat membantunya dan mendukung pengangkatan Sa'd bin Ubadah. Sesudah itu terserah apa yang akan dilakukan oleh pihak Muhajirin. Atau bisa jadi masing-masing pihak ada yang sudah bermain mata atau yang serupa
itu sebagai reaksi atas dialog yang begitu keras antara Umar dengan Hubab.

Abu Ubaidah turun tangan
At-Tabari malah menyebutkan bahwa sambil berbicara itu Hubab menghunus pedang, tapi tangannya ditepis oleh Umar dan pedang itu jatuh. Diambilnya pedang itu oleh Umar dan ia melompat ke arah Sa'd bin Ubadah. Tetapi dalam menghadapi persoalan ini Abu Ubaidah bin Jarrah segera turun tangan. Selama ini ia memang berdiam diri. Sambil ditujukan kepada penduduk Medinah itu ia berkata : "Saudara-saudara Ansar! Kalian adalah orang yang pertama memberikan bantuan dan dukungan, janganlah sekarang jadi orang yang pertama pula mengadakan perubahan dan perombakan."

Suara Basyir bin Sa 'd
Dalam kesempatan ini Basyir bin Sa'd Abu an-Nu'man bin Basyir, salah seorang pemimpin Khazraj, berdiri menyambut ucapan Abu Ubaidah yang bijaksana itu: "Kalau kita sudah mendapat tempat pertama dalam perang melawan kaum musyrik dan juga yang mula-mula menyambut agama ini, yang kita tuju hanya rida Allah serta kepatuhan kita kepada Nabi kita yang sudah bekerja keras untuk kita. Maka tidakiah pada tempatnya kita akan menyombongkan diri kepada orang lain, juga bukan tujuan kita ganjaran duniawi ini sebagai balasan buat kita. Tuhanlah yang Harfiah 'Saya kayu pasak tempat ternak bergerak dan setandan kurma yang bertopang' yakni 'saya tempat orang yang incncari pengobatan dengan pendapatnya, seperti unta mengobati sakit gatalnya dengan menggaruk-garukkan badannya ke kayu pasak'. Perumpamaan Melayu di atas berarti 'saya yang memberi dua pertolongan dalam perjalanan'. akan memberikan ganjaran kepada kita untuk itu semua. Ya, Muhammad Sallallahu 'alaihi wasallam dari Kuraisy, maka kabilah inilah yang lebih berhak atas semua itu. Demi Allah aku bersumpah, janganlah sekali-kali kita disaksikan Allah dalam keadaan bersengketa mengenai hal ini. Takutlah kalian kepada Allah, dan janganlah menentang dan bertengkar dengan mereka." Abu Bakr mengitarkan pandangannya kepada Ansar, ingin melihat kesan apa yang timbul dari kata-kata Basyir itu. Dilihatnya Aus seolah mereka saling berbisik dan banyak pula dari pihak Khazraj yang tampaknya merasa puas dengan kata-kata Basyir itu. la yakin, bahwa keadaannya sekarang sudah reda dan sudah tiba pula saatnya mengambil keputusan. Kesempatan ini tak boleh dibiarkan. Oleh karena waktu itu ia sedang duduk di tengah-tengah, antara Umar dan Abu Ubaidah, maka dipegangnya tangan mereka itu masing-masing dan katanya seraya mengajak Ansar menjaga persatuan dan menghindari perpecahan: "Ini Umar dan ini Abu Ubaidah, berikanlah ikrar Tuan-tuan kepada yang mana saja yang Tuan-tuan sukai." Ketika itu timbul pula kegaduhan dan perselisihan pun mulai merebak lagi. Umarkah yang akan dibaiat dengan sikapnya yang begitu keras, tetapi dalam pada itu ia pendamping (wazTr) Nabi dan ayah Hafsah Ummulmukminin?! Atau Abu Ubaidah yang akan dilantik, yang sampai saat itu wibawa dan kedudukannya belum seperti Umar dalam hati kaum Muslimin?!

Umar dan Abu Ubaidah melantik Abu Bakr
Tetapi Umar tidak akan membiarkan perselisihan itu menjadi perkelahian yang berkepanjangan. Dengan suaranya yang lantang menggelegar ia berkata: "Abu Bakr, bentangkan tanganmu." Abu Bakr membentangkan tangan dan oleh Umar ia diikrarkan seraya katanya: Abu Bakr, bukanlah Nabi menyuruhmu memimpin Muslimin bersembahyang? Engkaulah penggantinya (khalifahnya). Kami akan mengikrarkan orang yang paling disukai oleh Rasulullah di antara kita semua ini." Menyusul Abu Ubaidah memberikan ikrar. "Engkaulah di kalangan Muhajirin yang paling mulia," katanya, "dan yang kedua dari dua orang dalam gua, menggantikan Rasulullah dalam salat, sesuatu yang paling mulia dan utama dalam agama kita. Siapa lagi yang lebih pantas dari engkau untuk ditampilkan dan memegang pimpinan ini!" Sementara Umar dan Abu Ubaidah membaiat, cepat-cepat dating pula Basyir bin Sa'd memberikan ikrarnya. Ketika itu juga Hubab bin al-Munzir berseru: Basyir bin Sa'd! Engkau tidak patuh. Apa gunanya kau berbuat begitu. Engkau telah menyaingi kepemimpinan itu dengan sepupumu sendiri (maksudnya Sa'd bin Ubadah)." "Tidak," kata Basyir, "saya tidak mau menentang hak suatu golongan yang sudah ditentukan Allah."

Baiat Saqifah oleh Aus dan Khazraj
Usaid bin Hudair, pemimpin Aus, sambil menoleh kepada kaumnya yang juga sedang memperhatikan apa yang dilakukan oleh Basyir bin Sa'd, berkata: "Kalau sekali Khazraj memerintah kita, maka akan tetap mereka mempunyai kelebihan atas kita dan dengan mereka samasekali kita tidak akan mendapat hak apa-apa. Maka marilah sekarang kita baiat Abu Bakr." Ketika itu Aus segera bertindak memberikan ikrar kepada Abu Bakr, kemudian disusul oleh Khazraj yang sudah merasa puas dengan kata-kata Basyir itu; mereka juga cepat-cepat membaiat, sehingga tempat di Saqifah itu penuh sesak. Karena makin banyak orang yang dating memberi ikrar hampir-hampir saja Sa'd bin Ubadah terinjak-injak. "Hatihati, Sa'd jangan diinjak," suara orang-orang yang pro Sa'd. "Bunuh saja dia," kata Umar. "Dia berbahaya!" dilanjutkan dengan kata-kata keras yang ditujukan kepada Sa'd. "Hati-hatilah, Umar," kata Abu Bakr mengingatkan Umar. "Dalam suasana begini perlu lebih bijaksana." Sekarang oleh kawan-kawannya Sa'd dibawa masuk ke rumahnya. Selama beberapa hari ia tinggal tii rumah. Kemudian ia diminta agar juga membaiat: "Datanglah dan baiat dia. Orang semua sudah membaiat, juga golonganmu." Sa 'd menolak Tetapi Sa'd tetap tidak mau. "Tidak. Daripada aku membaiat, biarlah kulepaskan anak-anak panah dalam tabungku ini kepada kalian, biar kepala tombakku berlumuran darah dan pedang yang ada di tanganku kupukulkan kepadamu. Aku akan memerangi kalian bersama keluargaku, bersama pengikut-pengikutku yang masih setia." Setelah ucapan demikian itu sampai kepada Abu Bakr, Umar berkata kepadanya: "Jangan biarkan dia sebelum ikut memberi ikrar!"
Tetapi Basyir menolak pendapat Umar itu dengan mengatakan: "Dia keras kepala dan sudah menolak. Dia tidak akan memberi ikrar sebelum dia sendiri, anaknya, keluarganya dan kerabatnya semua terbunuh. Biarkan sajalah. Kalaupun dibiarkan dia tidak akan membahayakan kita. Dia hanya seorang din." Abu Bakr yang mendengar pendapat Basyir itu membenarkan. Oleh mereka Sa'd ditinggalkan. la tidak ikut salat berjamaah dengan yang lain, tidak ikut berhaji dan bertolak dari Arafah bersama yang lain. La tetap bertahan dengan caranya itu sampai Abu Bakr wafat.

Sesudah ba'at Saqifah
Ketika pelantikan Abu Bakr selesai sudah di Saqifah, jenazah Nabi di rumah masih dikelilingi keluarga: Ali bin Abi Talib, Abbas bin Abdul Muttalib bersama beberapa orang yang lurut menyelenggarakan. Tidak jauh dari mereka, di dalam mesjid ada juga beberapa orang dari kalangan Muhajirin. Seperti kita lihat, baiat ini selesai dalam keadaan yang membuat beberapa sumber menghubungkan kata-kata ini pada Umar: "Peristiwa sangat tiba-tiba1 sekali." Tetapi sumber-sumber lain berpendapat, bahwa Abu Bakr, Umar dan Abu Ubaidah sudah sepakat, bahwa pimpinan memang akan berada di tangan Abu Bakr. Apa pun yang akan dikatakan kedua sumber itu, yang tak jelas ialah, bahwa keputusan Saqifah ini telah menyelamatkan Islam yang baru tumbuh itu dari malapetaka, yang hanya Allah saja yang tahu akan segala akibatnya. Abu Bakr telah meratakan jalan untuk menghilangkan segala perselisihan di kalangan Muslimin. la juga telah meratakan jalan menuju politik yang polanya sudah diletakkan oleh Rasulullah untuk mencapai keberhasilan sehingga membuka pula jalan ke arah kedaulatan Islam kemudian hari. Dengan karunia Tuhan juga, akhirnya agama ini tersebar ke segenap penjuru dunia. Sejak kejadian Saqifah itu pihak Ansar sudah tidak lagi berambisi untuk memegang pimpinan Muslimin. Baik pada waktu pelantikan Umar bin Khattab, pelantikan Usman bin Affan sampai pada waktu terjadinya pertentangan antara Ali dengan Muawiyah, hak Ansar tidak berbeda dengan apa yang sudah diperoleh oleh kalangan Arab lainnya, seolah mereka sudah yakin benar apa yang pernah dikatakan oleh Abu Bakr, bahwa dalam hal ini orang-orang Arab itu hanya mengenal lingkungan Faltatan. mengacu pada kata-kata Umar, yakni sangat tiba-tiba, di luar dugaan ". Saudara-saudara Muhajirin, jagalah kaum Ansar itu baik-baik; sebab selama orang bertambah banyak, orang-orang Ansar akan seperti itu juga keadaannya, tidak bertambah. Mereka orang-orang tempat aku menyimpan rahasiaku dan yang telah memberi perlindungan kepadaku. Hendaklah kamu berbuat baik atas kebaikan mereka itu dan maafkanlah kesalahan mereka."
Tak lama setelah selesai pelantikan itu Abu Bakr dan mereka yang hadir di Saqifah kembali ke mesjid. Waktu itu sudah sore. Kaum Muslimin sedang mengikuti berita-berita dari rumah Aisyah mengenai penyelenggaraan pemakaman Rasulullah. Keesokan harinya ketika Abu Bakr sedang duduk di mesjid, Umar datang meminta maaf atas peristiwa kemarin tatkala ia berkata kepada kaum Muslimin, bahwa Nabi tidak mati.
"Kepada Saudara-saudara kemarin saya mengucapkan kata-kata yang tidak terdapat dalam Kitabullah, juga bukan suatu pesan yang diberikan Rasulullah kepada saya. Ketika itu saya berpendapat, bahwa Rasulullah yang akan mengurus soal kita, sebagai orang terakhir yang tinggal bersama-sama kita. Tetapi Allah telah memberikan Qur'an untuk selamanya kepada kita, yang juga menjadi penuntun Rasul-Nya. Kalau kita berpegang teguh pada Qur'an, Allah akan membimbing kita yang juga telah membimbing Rasulullah. Sekarang Allah telah menyatukan segala persoalan kita di tangan sahabat Rasulullah — Sallallahu 'alaihl wasallam — orang yang terbaik di antara kita dan dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua. Maka marilah kita baiat dia, kita ikrarkan."
1 Tajawaza 'an, 'afa 'an (N), memaafkan. — Pnj.
2 Kutipan sebagian ayat Qur'an, 9. 40. — Pnj.
Kuraisy. Bahkan sesudah itu mereka merasa cukup senang hidup di samping Muhajirin. Mereka pun puas sekali dengan wasiat Rasulullah dalam sakitnya yang terakhir tatkala berkata:

Baiat Umum dan pidato Abu Bakr yang pertama
Ketika itu orang ramai pun sama-sama memberikan ikrar sebagai Baiat Umum sesudah Baiat Khusus di Saqifah. Selesai baiat itu Abu Bakr berdiri. Di hadapan mereka ia mengucapkan sebuah pidato yang merupakan pernyataan pertama setelah ia memangku jabatan sebagai Khalifah. Di samping itu pidato ini adalah teladan yang sungguh bijaksana dan sangat menentukan. Setelah mengucapkan puji syukur kepada Allah Abu Bakr radiallahu 'anhu berkata: "Kemudian, Saudara-saudara. Saya sudah terpilih untuk rnemimpin kamu sekalian, dan saya bukanlah orang yang terbaik di antara kamu sekalian. Kalau saya berlaku baik, bantulah saya. Kebenaran adalah suatu kepercayaan, dan dusta adalah pengkhianatan. Orang yang lemah di kalangan kamu adalah kuat di mata saya, sesudah haknya saya berikan kepadanya — insya Allah, dan orang yang kuat buat saya adalah lemah sesudah haknya nanti saya ambil — insya Allah. Apabila ada golongan yang meninggalkan perjuangan di jalan Allah, maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada mereka. Apabila kejahatan itu sudah meluas pada suatu golongan, maka Allah akan menyebarkan bencana kepada mereka. Taatilah saya selama saya taat kepada (perintah) Allah dan Rasul-
Nya. Tetapi apabila saya melanggar (perintah) Allah dan Rasulullah maka gugurlah kesetiaanmu kepada saya. Laksanakanlah salat kamu, Allah akan merahmati kamu sekalian." Masih adakah yang belum memberikan ikrar dari Muhajirin? Adakah ikrar umum ini sudah merupakan konsensus semua Muslimin, tak ada lagi yang tertinggal seperti Sa'd bin Ubadah dalam Ikrar Khusus di Saqifah? Yang sudah menjadi kesepakatan umum, bahwa ada segolongan Muhajirin terkemuka yang tidak turut, dan bahwa Ali bin Abi Talib dan Abbas bin Abdul Muttalib dari Banu Hasyim termasuk yang tidak ikut.
Menurut sumber Ya 'qubi Menurut al-Ya'qubi, "Mereka yang tidak ikut membaiat Abu Bakr dari kalangan Muhajirin dan Ansar dan ikut Ali bin Abi Talib di antaranya ialah Abbas bin Abdul Muttalib, Fadl bin al-Abbas, Zubair bin al-
Awwam bin al-As, Khalid bin Sa'id, Miqdad bin Amr, Salman al- Farisi, Abu Zar al-Gifari, Ammar bin Yasir, Bara' bin Azib dan Ubai bin Ka'b, dan bahwa dalam hal ini Abu Bakr meminta pendapat Umar bin Khattab, Abu Ubaidah bin Jarrah dan Mugirah bin Syu'ba. Saran ketiga tokoh itu ialah agar menemui Abbas bin Abdul Muttalib dan agar dia juga dilibatkan dan berperan dalam masalah ini, baik untuk kepentingannya sendiri maupun penerusnya kemudian. Mengenai ini tcrjadi perbedaan pendapat antara dia dengan sepupunya, Ali bin Abi Talib. Dengan demikian Abu Bakr dan sahabat-sahabatnya punya argument dalam menghadapi Ali. Apa yang sudah disarankan mereka tadi oleh Abu Bakr dilaksanakan. Dalam suatu percakapan panjang ia berkata kepada Abbas: "Kami telah datang kepadamu dan yang kami inginkan engkau dapat berperan juga dalam hal ini, baik untukmu sendiri maupun untuk penerusmu kemudian, mengingat engkau adalah paman Rasulullah."
Abbas menjawab tawaran itu setelah terjadi dialog seperti dilukiskan oleh Ya'qubi; "Kalaupun ini yang akan menjadi hak kami, kami
tidak mau sebagian-scbagian."

Pertemuan di rumah Fatimah putri Rasulullah
Dalam sebuah sumber yang discbutkan oleh Ya'qubi, juga penulispenulis
sejarah yang lain menyebutkan, dan masih cukup terkenal,
bahwa ada kelompok Muhajirin dan Ansar yang mengadakan pertemuan
dengan Ali bin Abi Talib di rumah Fatimah putri Rasulullah dengan
maksud hendak membaiat Ali. Di antara mereka itu Khalid bin Sa'id
yang mengatakan: "Sungguh, tak ada orang yang lebih patut menempati
kedudukan Muhammad selain engkau."
Pertemuan di rumah Fatimah itu sampai juga beritanya kepada Abu
Bakr dan Umar, dan kedua orang ini bersama-sama dengan yang lain
datang dan menyerbu rumah itu. Ketika Ali keluar membawa pedang,
yang disambut oleh Umar, maka terjadi pertarungan. Pedang Ali dipatahkan dan mereka menyerbu masuk kc dalam rumah. Saat itu Fatimah keluar dengan mengatakan: "Keluarlah kalau tidak rambutku akan kuperlihatkan dan aku akan berseru kepada Allah." Mereka keluar, juga orang-orang yang berada dalam rumah itu. Keadaan demikian berjalan selama beberapa hari. Kemudian satu demi satu mereka memberikan ikrar — kecuali Ali yang baru membaiat setelah Fatimah wafat, yakni sesudah cnam bulan. Sumber lain mcnyebutkan bahwa ia membaiat sesudah empat puluh hari. Discbutkan lagi bahwa Umar bin Khattab telah menimbun kayu di sekeliling rumah Fatimah dengan maksud hendak membakar rumah itu atau Ali harus membaiat Abu Bakr. ! 'Ajja, mengucapkan talbiah dengan suara keras (N). — Pnj.

Sebab-sebabnya Ali terlambat membaiat
Tetapi sumber-sumber yang terkenal dan lebih umum mengenai tidak hadirnya atau terlambatnya Ali dan Banu Hasyim itu ialah seperti yang diuraikan oleh Ibn Qutaibah dalam al-Imamah was-Siyasah dan sumber-sumber serupa, baik yang sezaman atau yang datang kemudian, yakni selesai memberikan ikrar kepada Abu Bakr Umar dan rombongan berangkat menemui Banu Hasyim. Mereka diminta agar juga dating memberikan ikrar seperti yang lain. Ketika itu Banu Hasyim di rumah Ali. Baik Ali maupun yang lain menolak ajakan Umar itu. Malah Zubair bin al-Awwam dan sahabat-sahabatnya keluar menemui Umar dengan membawa pedang. Kepada sahabat-sahabatnya Umar berkata, "Awas orang itu dan ambil pedangnya!" Mereka merampas pedang itu dari tangannya. Kemudian ia pun pergi dan membaiat. Ketika kepada Ali bin Abi Talib dikatakan: Baiatlah Abu Bakr, ia menjawab: "Aku tidak akan membaiat, karena dalam hal ini aku lebih berhak daripada kalian. Kamulah yang lebih pantas membaiat aku. Kamu telah mengambil kekuasaan itu dari Ansar dengan alasan kalian kerabat Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam dan kalian mengambil dari kami ahlulbait secara paksa. Bukankah kalian mengatakan kepada Ansar bahwa kalian lebih berhak daripada mereka dalarn hal ini karena Muhammad dari kalian, lalu pimpinan dan kekuasaan diserahkan kepada kalian! Sekarang aku akan menuntut kepada kalian sebagaimana kalian menuntut kepada Ansar. Kami lebih berhak terhadap Rasulullah selama masih hidup dan sesudah mati. Jika kamu beriman berlaku adillah terhadap kami, kalau tidak berarti dengan sengaja kamu berlaku zalim." "Kau tak akan dibiarkan sebelum membaiat," kata Umar.
"Dalam bertindak orang harus berlaku adil. Umar, sungguh aku tidak dapat menerima kata-katamu itu dan aku tidak akan membaiat," kata Ali bersemangat dan dengan nada keras. Dikhawatirkan dialog itu akan jadi semakin panas, maka Abu Bakr segera campur tangan dengan katanya: "Kalau engkau memang tidak mau membaiat, aku tidak akan memaksamu." Abu Ubaidah segera mendekati Ali seraya katanya dengan nada lembut: "Sepupuku, engkau masih muda, dan mereka itu orang tua-tua kita. Tentu dalam bidang ini engkau tidak punya pengalaman dan pengetahuan
seperti mereka. Menurut hematku Abu Bakr lebih mampu dari engkau dan lebih dapat mengatasi segala persoalan. Serahkanlah pimpinan itu kepada Abu Bakr. Jika engkau masih akan panjang umur, maka engkaulah kelak yang pantas memegang pimpinan ini semua, mengingat jasamu, ketaatanmu dalam agama, amalmu, pengetahuanmu, kedinianmu dalam Islam, nasabmu serta hubunganmu sebagai menantu." Di sini Ali berontak seraya berkata:
"Hebat sekali kalian ini Muhajirin! Janganlah kalian mencoba mengeluarkan kekuasaan Muhammad atas orang-orang Arab itu dari keluarganya dan dari dalam rumahnya ke keluarga dan ke dalam rumah kalian lalu mengenyahkan kedudukan dan hak keluarganya dari rakyat. Demi Allah, Saudara-saudara Muhajirin, kamilah yang lebih berhak dari semua orang, karena kami adalah keluarganya, kami ahlulbait. Dalam pimpinan ini kami lebih berhak dari kalian. Dari kalangan kamilah yang membaca Qur'an, yang mengetahui hukum-hukum agama, mengenal
benar sunah Rasulullah, mengikuti perkembangan rakyat serta melindungi mereka dari hal-hal yang tidak baik. Kami yang mengadakan pemerataan dengan mereka. Dia adalah dari kami. Janganlah kamu memperturutkan hawa nafsu, kalian akan sesat dari jalan Allah dan akan lebih jauh menyimpang dari kebenaran." Menurut beberapa sumber, ketika itu Basyir bin Sa'd juga hadir. Mendengar kata-kata itu ia berkata: "Ali, kalau kata-katamu itu didengar oleh Ansar sebelum pengukuhan terhadap Abu Bakr, aku pun tak akan berbeda pendapat dengan kau." Dengan marah Ali keluar. Ia pergi menemui Fatimah dan keluar rumah bersama-sama. Dengan dinaikkan di atas binatang beban malam itu Fatimah berkeliling menemui kelompok-kelompok Ansar meminta dukungan. Mereka itu berkata: "Putri Rasulullah, baiat kami atas orang itu sudah selesai. Sekiranya suamimu dan sepupumu itu yang lebih dulu menemui kami sebelum Abu Bakr, tentu kami tak akan menyamakannya." Jawaban ini menambah kemarahan Ali dan ia berkata lagi: "Apa aku akan meninggalkan Rasulullah di rumah tanpa dimakamkan dan keluar memperebutkan kekuasaan?" "Apa yang dilakukan Abu al-Hasan," sela Fatimah, "memang yang sudah semestinya dilakukan. Tetapi apa yang mereka lakukan, biarlah Allah nanti yang membuat perhitungan dan yang menentukan."

Abu Bakr dikukuhkan secara aklamasi
Demikian inilah kesan yang masyhur (yang sudah umum) mengenai sikap Ali bin Abi Talib dan sahabat-sahabatnya sehubungan dengan baiat Abu Bakr itu. Beberapa sejarawan dengan tegas sekali membantah kesan
 yang sudah umum mengenai tertinggalnya Banu Hasyim dan beberapa kalangan Muhajirin itu. Mereka menyebutkan bahwa sesudah Saqifah, Abu Bakr dibaiat secara aklamasi tanpa ada yang ketinggalan. Tabari menyebutkan sebuah sumber lengkap dengan isnadnya, bahwa Sa'd bin Zaid ketika ditanya: Engkau menyaksikan kematian Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam? Ya, jawabnya. Ditanya lagi: Kapan Abu Bakr dibaiat? Dijawab: Ketika Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallatn wafat; mereka tidak mau ada yang lowong sehari pun tanpa berada dalam satu jamaah. Apa ada yang menentang? Tidak, katanya, tak ada, kecuali mereka yang murtad atau orang-orang Ansar yang nyaris murtad kalau tidak segera mendapat pertolongan Allah. Ketika ditanya lagi: Apa ada dari Muhajirin yang tidak ikut? Tidak, katanya. Kaum Muhajirin secara berturut-turut memberikan baiat tanpa diminta.
Dalam sebuah sumber disebutkan, bahwa ketika itu Ali bin Abi Talib sedang duduk-duduk di rumahnya tatkala ada orang datang memberitahukan bahwa Abu Bakr sudah siap hendak diikrarkan. Karena khawatir akan terlambat Ali keluar cepat-cepat hanya mengenakan baju kemeja tanpa mantel dan jubah. Kemudian ia pun membaiat. Sesudah
itu ia duduk dan menyuruh orang mengambilkan pakaiannya itu lalu dipakainya, dan ia tetap duduk.

Sumber jalan tengah
Ada pula beberapa sumber mengenai Ali dan ikrarnya itu yang mengambil jalan tengah dari apa yang kita kemukakan itu. Di antaranya seperti dituturkan, bahwa setelah selesai pengukuhan itu Abu Bakr naik ke mimbar dan ketika melihat di antara hadirin Zubair tidak tampak, dipanggilnya. Ketika Zubair datang ia berkata: "Oh sepupu Rasulullah saw. dan pembantu dekatnya, engkau mau menimbulkan perpecahan di kalangan Muslimin?" "Tak ada cacat apa-apa ya Khalifah Rasulullah," katanya, lalu ia bangun dan membaiat Abu Bakr. Kemudian Abu Bakr melihat kepada hadirin. Ia tidak melihat Ali. Bila Ali datang setelah dipanggil ia bertanya: "Sepupu Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallatn dan menantunya, engkau mau menimbulkan perpecahan di kalangan Muslimin?"
"Tak ada cela apa-apa ya Khalifah Rasulullah," katanya, lalu ia pun bangun dan membaiat Abu Bakr.

Pendapat sekitar sikap Banu Umayyah
Ada juga beberapa sumber yang mengatakan, bahwa Banu Umayyahlah yang memang ingin menimbulkan ketegangan antara Banu Hasyim dengan Abu Bakr. Setelah orang datang berkumpul hendak mengikrarkan Abu Bakr, konon datang pula Abu Sufyan mengatakan: Sungguh, hanya darah yang akan dapat memadamkan sampah ini. Hai Keluarga Abdu Manaf mengapa mesti Abu Bakr yang memerintah kamu? Mana kedua orang yang dihina itu, yang diperlemah, Ali dan Abbas! Tetapi sumber-sumber yang menyebutkan peristiwa yang dihubungkan kepada Abu Sufyan ini hampir semua sepakat, bahwa Ali menolak ajakannya itu. Malah ia berkata kepadanya: "Engkau memang mau membuat fitnah dengan cara itu. Selalu kau mau membawa Islam ke dalam bencana." Atau katanya juga: "Abu Sufyan, engkau selalu mau memusuhi Islam dan pemeluknya. Tetapi engkau tak akan berhasil. Aku berpendapat, Abu Bakr memang pantas untuk itu."

Abbas dan Fatimah menuntut warisan
Orang-orang yang menafikan terlambatnya Ali memberikan baiat berpendapat bahwa cerita-cerita tentang keterlambatan itu dibuat orang kemudian. Bahkan mereka menekankan bahwa cerita-cerita itu dibuat pada masa kekuasaan Banu Abbas untuk maksud-maksud politik, dan lebih jauh mereka mengatakan bahwa cerita itu dikaitkan dengan suatu peristiwa yang sebenarnya memang sudah sama-sama disepakati, namun samasekali tak ada hubungannya dengan peristiwa baiat itu. Peristiwa itu ialah bahwa Fatimah putri Rasulullah dan Abbas pamannya menemui Abu Bakr setelah ia menjadi Khalifah. Mereka menuntut warisan tanah Rasulullah yang di Fadak dan bagian Abbas di Khaibar. Kepada mereka itu Abu Bakr berkata: "Aku mendengar Rasulullah berkata: 'Kami, para nabi, tidak mewariskan; apa yang kami tinggalkan buat sedekah.' Tetapi keluarga Muhammad boleh makan dari harta itu. Demi Allah, setiap sesuatu yang dikerjakan oleh Rasulullah pasti akan kukerjakan." Fatimah marah karenanya. Ia menjauhi Abu Bakr dan tidak mengajaknya bicara sampai ia wafat. Oleh Ali ia dikebumikan malam hari dan Abu Bakr tidak diberi tahu. Fatimah masih hidup enam bulan lagi setelah ayahanda wafat. Karena kemarahan Fatimah itu Ali juga marah kepada Abu Bakr. Sesudah Fatimah wafat ia cenderung berbaik kembali dan Abu Bakr pun menerimanya. Demikianlah cerita mengenai Fatimah dan Ali serta pemboikotannya terhadap Abu Bakr setelah pengukuhannya itu. Sebaliknya apa yang ditambahkan orang dalam cerita ini, bahwa Ali menolak dan baru membaiat setelah Fatimah wafat dan bahwa Abu Bakr menemui Ali di rumahnya dan dijumpainya ia di rumah Banu Hasyim, dan bahwa ketika itu AH berdiri seraya berkata: Kami tidak berkeberatan mengukuhkan engkau, hanya saja dalam hal ini kami berpendapat bahwa kamilah yang berhak tetapi kalian memperkosa hak-hak kami, dan bahwa Abu Bakr menyebutkan dalam jawabannya: "Demi Allah, aku menahan harta ini hanya untuk kebaikan kita bersama." Semua tambahan ini membantah tertundanya AH memberikan baiat karena peristiwa itu tak ada hubungannya dengan soal harta peninggalan, dan bahwa Fatimah dan Abbas tidak pula menuntut kepada Abu Bakr sebelum semua kaum Muslimin memberikan ikrar kepadanya, sebab sebelum itu ia pun tidak memberikan pendapat mengenai hal itu. Sebagian besar mereka yang menolak cerita tertundanya pemberian ikrar itu menegaskan bahwa cerita-cerita demikian dibuat-buat orang pada masa kekuasaan Abbasi untuk maksud politik. Yang lain menegaskan
bahwa cerita itu sudah dibuat orang sebelumnya, yaitu setelah timbul pertentangan antara Banu Hasyim dengan Banu Umayyah selama pecah perang antara Ali dengan Muawiyah. Mereka mengatakan bahwa terjadinya perluasan Islam ke Irak dan Persia menyebabkan sekelompok orang-orang Persia mengarang-ngarang cerita semacam itu. Setelah pihak Banu Umayyah mendapat kemenangan perhatian kelompok itu dicurahkan untuk memberi kesempatan kepada Abu Muslim al-Khurasani bersiap-siap, dan orang inilah yang telah berhasil membuat sejarah lahirnya dinasti Banu Abbas.

Alasan mereka yang berpendapat tentang tertundanya baiat
Sebaliknya mereka yang mengatakan bahwa tertundanya Ali dan Banu Hasyim memberikan ikrar sampai empat puluh hari atau sampai enam bulan — dan pendapat ini yang masyhur sebagaimana sudah dikemukakan — mereka berpegang pada sumber-sumber di atas, dan disebutkan bahwa Ali dan orang-orang yang tak hadir itu tidak ikut dalam pasukan Usamah; padahal Ali dalam pertempuran di berbagai peperangan bersamasama dengan Nabi, keberanian dan ketangkasannya sudah cukup terkenal. Juga kedua sikap demikian ini dalam segala perjuangan hidupnya sesudah itu, cukup pula terkenal. Mereka ini menolak pendapat orang yang tidak mengakui keterlambatan dalam baiat itu karena alasan kaum Muhajirin kepada Ansar mengenai kekuasaan bahwa pertalian mereka lebih dekat kepada Nabi, bahwa orang-orang Arab itu hanya mengenai Kuraisy karena mereka adalah penjaga-penjaga Ka'bah dan bahwa perhatian orang semua di Semenanjung itu pun hanya ditujukan kepada mereka. Inilah alasan satu-satunya yang menjadi pegangan Banu Hasyim untuk tampil ke depan sebagai pengganti Rasulullah. Tidak heran bila mana ini yang menjadi pegangan mereka dan membuat mereka tidak hadir waktu pengukuhan (baiat) Abu Bakr itu. Itulah yang telah dilakukan oleh Ali dan itu pula alasannya dan alasan sahabat-sahabatnya. Kalaupun mereka kemudian mau juga membaiat, hanya karena mereka tidak menginginkan timbulnya fitnah yang akibatnya akan merusak persatuan kaum Muslimin. Terutama setelah kemudian timbul gejala-gejala kemurtadan di kalangan orang-orang Arab pinggiran, dan setelah mereka membangkang terhadap kekuasaan Medinah dengan akibat hampir-hampir mengancam penyebaran Islam yang dibawa Muhammad sebagai wahyu Allah itu.

Tak ada yang menentang Abu Bakr sebagai Khalifah
Lepas dari soal perbedaan pendapat di kalangan para ahli sejarah itu mengenai baiat serta ikut sertanya Keluarga Hasyim dan pihak Muhajirin yang lain atau tidak ikut sertanya sebagian mereka, yang sudah disepakati tanpa ada perbedaan pendapat ialah, bahwa sepeninggal Rasululiah, sejak hari pertama yang harus memegang pimpinan adalah Abu Bakr. Dari mereka yang tertunda memberikan baiat itu tak ada yang mengatakan bahwa dari kalangan Banu Hasyim atau yang lain mencoba mengadakan perlawanan senjata atau berusaha menggugatgugat Khalifah yang pertama itu. Adakah itu karena kedudukan Abu Bakr di mata Rasululiah, yang sampai mengatakan: 'Kalau ada dari
hamba Allah yang akan kuambil sebagai khalll, maka Abu Bakr-lah khalil-ku.' Atau karena dia diminta menemani Rasululiah dalam hijrah serta jasa-jasanya yang begitu besar di samping kesiapannya selalu membela Rasululiah dalam pelbagai kesempatan? Ataukah juga karena Rasululiah memintanya mewakiliiya dalam salat selama dalam sakitnya yang terakhir? Apa pun alasan yang menyebabkan kaum Muslimin memberikan ikrar kepada Abu Bakr sebagai Khalifah setelah Rasululiah berpulang, yang jelas tak seorang pun ada yang menentangnya, juga tak ada yang bergabung kepada mereka yang belum ikut membaiat. Ini merupakan suatu bukti, bahwa pandangan Muslimin yang mula-mula itu tentang kekhalifahan tidak sama dengan pandangan mereka yang datang kemudian, yakni sejak masa kedaulatan dinasti Umayyah. Pandangan mereka lebih dekat dengan nilai-nilai orang Arab asli di sekitar mereka, dan yang memang sudah cukup dikenal di seluruh Semenanjung itu sejak sebelum kerasulan Nabi 'alaihis-salam. Sesudah kawasan Islam bertambah luas dan masyarakat Arab bergaul dengan bangsa-bangsa lain yang mereka datangi, gambaran masyarakat Muslimin tentang konsep kekhalifahan itu juga ikut berubah, sesuai dengan pengaruh pergaulan dan luasnya kawasan pemerintahan Islam.

Kekhalifahan pada masa-masa kekuasaan Arab
Kaum Muslimin berpikir tentang kekhalifahan itu menurut pandangan Arab murni. Kebetulan pula Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam tidak mewasiatkan kekhalifahan itu kepada siapa pun. Perselisihan yang terjadi antara kaum Ansar dengan Muhajirin di Saqifah Banu Sa'idah ketika Rasulullah wafat, serta perselisihan yang agaknya juga terjadi antara Banu Hasyim dengan Muhajirin yang lain sesudah baiat umum, tak ada alasan untuk meragukan, bahwa sebenarnya penduduk Medinah sudah cukup bersungguh-sungguh dalam memikirkan pemilihan Khalifah pertama itu, dan dasarnya memang tak terdapat, baik dalam Qur'an maupun dalam Sunah. Maka mereka waktu itu memilih penduduk yang tinggal di Medinah yang di kalangan Muslimin dipandang lebih tepat untuk memegang pimpinan. Andaikata masalah ini sampai melampaui batas ke luar Medinah, sampai kepada suku-suku Arab di luar kota Medinah tentu soalnya akan jadi lain. Dan pengukuhan Abu Bakr itu adalah suatu hal tiba-tiba yang menguntungkan — memakai kata-kata Umar bin Khattab. Tradisi yang dipakai dalam memilih Abu Bakr bukan itu pula yang dipakai dalam memilih kedua Khalifah sesudah itu — Umar dan Usman. Sebelum meninggal Abu Bakr sudah berwasiat agar memilih Umar bin Khattab. Kemudian pengganti berikutnya oleh Umar diserahkan kepada enam orang yang nama-namanya disebutkan,1 agar memilih seorang di antara sesama mereka. Setelah Usman terbunuh serta timbul perselisihan sesudah itu antara Ali dengan Muawiyah, pihak Banu Umayyah melanjutkan kekuasaan itu secara turun-temurun dengan warisan yang diterima anak dari bapak. Kalau demikian sumber peristiwa itu tak ada alasan untuk mengatakan, bahwa dalam menjalankan kekuasaan, dalam Islam sudah ada suatu sistem yang baku. Tetapi yang ada ialah ijtihad yang didasarkan kepada peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat Islam yang berubah-ubah dan didasarkan pada aneka macam bentuk sesuai dengan perubahan situasi.

Sistem pemerintahan dalam Islam
Sistem yang dijalankan oleh Abu Bakr dalam hal ini menurut pola Arab yang murni-. Hubungannya dengan masa Nabi yang masih dekat, serta hubungan Abu Bakr sendiri secara pribadi dengan Rasulullah dan pengaruhnya dalam dirinya seperti yang sudah kita gambarkan di atas, memberi bekas padanya yang kemudian mengalami perubahan karena situasi dan meluasnya kawasan Islam. Perubahan dalam sistem pemerintahan ini berlangsung mengikuti perkembangan lingkungan yang ada, sehingga dengan demikian, sedikit pun tak terdapat persamaan antara masa kekuasaan Abbasi dalam puncak kejayaannya dengan masa Khalifah pertama Abu Bakr, juga antara masa Abu Bakr dengan masa-masa Umar, Usman dan Ali. Masa Abu Bakr dapat dikatakan masa yang sungguh unik. Masa itu adalah masa transisi yang wajar saja dengan masa Rasulullah, baik dalam politik agama maupun dalam politik sekuler. Memang benar, ketika itu agama sudah sempurna, dan tak ada lagi orang dapat mengubahubah atau menukar-nukar apa yang sudah ada dalam agama itu. Tetapi begitu Nabi wafat, orang-orang Arab pinggiran mulai berpikir-pikir mau jadi murtad, atau memang sudah banyak kabilah yang murtad. Maka tak ada jalan Abu Bakr harus bertindak menentukan langkah demi mengatasi keadaan yang sangat genting itu. Langkah itu sudah dimulai oleh Nabi sendiri ketika mengadakan hubungan dengan negara-negara tetangga dalam menjalankan politik dakwahnya itu. Jadi tak ada jalan lain buat Abu Bakr daripada harus meneruskan langkah itu. Bagaimana ia bertindak dalam menghadapi semua itu? Itulah yang akan kita uraikan berikut ini. Sementara penduduk Medinah berselisih pendapat tetapi kemudian sepakat dalam memberikan ikrar kepada Abu Bakr, berita kematian Nabi dengan cepat sekali menyebar dibawa orang kepada kabilahkabilah. Tak ada suatu berita di kawasan Arab yang begitu cepat tersebar seperti berita ketika Rasulullah wafat. Begitu berita itu sampai kepada mereka, dari segenap penjuru mereka sudah memasang telinga dengan penuh perhatian. Mereka ingin melepaskan diri dari kekuasaan Medinah dan kembali kepada keadaan sebelum datangnya kerasulan Muhammad dan tersebarnya Islam ke tengah-tengah mereka. Oleh karena itu orang-orang Arab pada setiap kabilah jadi murtad, dan timbul pula sifat-sifat munafik. Dalam pada itu, orang-orang Yahudi dan Nasrani pun sudah pula mengintai. Lawan Islam jadi semakin banyak. Dengan tak adanya Nabi, mereka sudah seperti sekumpulan kambing pada malam musim hujan.

Perbedaan pendapat Muhajirin dengan Ansar di Medinah
Kita sudah melihat betapa perselisihan itu timbul di Medinah antara kaum Muhajirin dengan kaum Ansar mengenai penggantian Rasulullah. Kalau tidak karena tindakan Abu Bakr dan Umar yang sangat bijaksana, serta kehendak Allah memberikan pertolongan, perselisihan demikian itu tidak akan dapat diselesaikan dan berakhir dengan memuaskan.
Penduduk Mekah bersiap-siap murtad
Apa yang telah terjadi di Medinah sebenarnya tidak seberapa dibandingkan dengan kejadian-kejadian di tempat-tempat lain. Penduduk Mekah sendiri malah sudah bersiap-siap mau murtad meninggalkan Islam. Attab bin Asid, kuasa Rasulullah di Mekah sampai merasa khawatir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar