PELANTIKAN ABU BAKR
menyampaikan
berita sedih itu. Abu Bakr segera kembali. la melihat Muslimin dan Umar yang
sedang berpidato. la tidak berhenti tetapi terus menuju ke rumah Aisyah. Dilihatnya
Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam di salah satu bagian dalam rumah itu,
sudah diselubungi kain. la maju menyingkap kain itu dari wajah Nabi lalu
menciumnya dan katanya: "Alangkah sedapnya sewaktu engkau hidup,
dan alangkah sedapnya sewaktu engkau wafat." la keluar lagi menemui
orang banyak lalu berkata kepada mereka: "Saudara-saudara! Barang
siapa mau menyembah Muhammad, Muhammad sudah meninggal. Tetapi barang
siapa menyembah Allah, Allah hidup selalu, tak pernah mati." Selanjutnya
ia membacakan firman Allah: "Muhammad hanyalah seorang Rasul; sebelumnya
pun telah berlalu rasul-rasul. Apabila dia mati atau terbunuh kamu akan
berbalik belakang? Barang siapa berbalik belakang samasekali tak akan merugikan
Allah tetapi Allah akan memberi pahala kepada orang-orang yang bersyukur."
(Qur'an, 3. 144). Setelah didengarnya Abu Bakr membacakan ayat itu,
Umar jatuh tersungkur ke tanah. Kedua kakinya sudah tak dapat menahan lagi, setelah
dia yakin bahwa Rasulullah memang sudah wafat. Orang semua terdiam setelah mendengar
dan melihat kenyataan itu. Setelah sadar dari rasa kebingungan demikian, mereka
tidak tahu apa yang hendak mereka perbuat. Satu segi dari kejiwaannya Di
sini kita berhenti pula sejenak untuk melukiskan Abu Bakr dari segi psikologi
dan di sini akan kita lihat pula peranannya dengan lebih jelas. Kalaupun ada di
kalangan Muslimin yang akan merasa tercekam perasaannya karena meninggalnya
Rasulullah seperti yang dialami Umar itu. maka Abu Bakr-lah orangnya. Dia teman
dekat dan pilihan Nabi, dia yang diminta oleh Nabi berada di dekatnya dalam
setiap kesempatan. Dia yang menangis ketika Nabi mengatakan: "Seorang
hamba oleh Allah disuruh memilih tinggal di dunia ini atau di sisi-Nya, maka ia
akan memilih di sisi Allah," dan dia pula yang mengatakan ketika mendengar
kata-kata itu dengan air mata yang sudah tak tertahankan: "Kami akan
menebus Tuan dengan jiwa kami dan anak-anak kami." Tetapi keterharuannya
dengan berpulangnya Rasulullah itu tidak sampai membuatnya kebingungan seperti
yang terjadi pada Umar. Begitu ia yakin bahwa Rasulullah sudah berpulang, ia
keluar dan berpidato di depan orang banyak seperti sudah kita baca tadi.
Kekuatan jiwa dan pandangannya
yang jauh ke hari depan
Kata-kata yang
diucapkannya serta ayat Qur'an yang dibacakannya untuk meyakinkan orang,
menunjukkan adanya suatu kekuatan dalam dirinya dalam menghadapi kenyataan. Ini
yang menyebabkannya tidak sampai jatuh kebingungan dalam menerima berita yang
menyedihkan seperti berpulangnya Rasulullah itu. Kekuatan jiwanya itu ditambah lagi
oleh suatu sifat lain yang lebih lagi memperlihatkan keagungan dan kehebatannya,
yaitu pandangannya yang jauh ke hari depan. Kedua sifat ini sungguh
mengagumkan, sebab adanya justru pada orang yang begitu lemah lembut, begitu
menjunjung tinggi dan begitu besar kecintaannya kepada Muhammad, melebihi
cintanya pada kehidupan dunia ini dengan segala isinya. Kekuatan jiwa yang
besar inilah yang menjadi pegangan Abu Bakr pada detik-detik yang sangat
menentukan dan pelik. Saat kesedihan dan duka yang sedang menimpa kaum Muslimin
karena kematian Rasulullah, itu jugalah sandarannya pada saat-saat genting
berikutnya yang harus dialaminya dan dialami kaum Muslimin. Pada saat itulah
Islam dan umat Islam terhindar dari bencana besar, yang kalau tidak karenanya
mereka akan terjerurnus ke dalam bahaya. Sebagai akibatnya, hanya Allah yang tahu,
apa yang akan menimpa mereka dan menimpa generasi berikutnya.
Sesudah Rasulullah, di tangan
siapakah pimpinan umat
Baik Umar maupun
kaum Muslimin yang ada di sekelilingnya dan yang merasa puas dengan apa yang
dikatakannya bahwa Nabi sudah wafat, kecuali mereka yang tak dapat berpikir apa
yang ada di balik itu, karena mereka dalam kebingungan setelah berita tersebut.
Tetapi mereka yang sudah yakin akan kenyataan berita itu begitu pertama kali mereka
mengetahui, tidak sampai kesedihan itu membuat mereka kehilangan akal. Keadaan
Medinah sudah stabil di tangan Rasulullah dan agama pun sudah merata ke seluruh
daerah. Tetapi setelah Nabi tiada, ke tangan siapakah semua itu harus
berpindah, sementara pengaruh Rasulullah sudah meluas ke kawasan Arab yang lain
setelah mereka menganut Islam dan sesudah Ahli Kitab yang tetap pada agama
masingmasing bersedia membayar jizyah? Masih akan berlanjutkah pengaruh Medinah
itu? Kalau ya, siapakah dari penduduk kota itu yang akan memegang tanggung
jawab?
Kemarahan Ansar kepada
Muhajirin
Golongan Ansar
penduduk Medinah pernah marah kepada kaum Muhajirin, karena pertama kali mereka
datang sebagai tamu bersama Rasulullah, kaum Ansar jugalah yang memberi tempat
perlindungan dan membela mereka. Setelah sekarang mereka dalam keadaan aman mereka
mau menguasai sendiri keadaan. Demikian perasaan mereka pada masa Nabi, dan
sudah wajar apabila setelah Nabi wafat hal ini akan jelas naik ke permukaan. Bahkan
pada masa Nabi pun pernah terasa juga, yakni setelah Mekah dibebaskan dan
sesudah perang Hunain dan Ta'if. Tindakan Muhammad memberikan rampasan perang yang
cukup banyak kepada golongan "mualaf' penduduk Mekah telah menjadi bahan
pembicaraan kalangan Ansar: "Rasulullah telah bertemu dengan masyarakatnya
sendiri," kata mereka. Setelah hal ini disampaikan kepada Nabi, dimintanya
Sa'd bin Ubadah pemimpin Khazraj — mengumpulkan mereka. Sesudah mereka berkumpul
kata Nabi kepada mereka: "Saudara-saudara kaum Ansar. Ada desas-desus
disampaikan kepadaku, yang merupakan perasaan yang ada dalam hati kamu terhadap
diriku, bukan? Bukankah kamu dalam kesesatan ketika aku datang lalu Allah
membimbing kamu? Kamu dalam kesengsaraan lalu Allah memberikan kecukupan kepada
kamu, kamu dalam permusuhan, Allah raempersatukan kamu?" Mendengar itu
Ansar hanya menekur, dan jawaban mereka hanyalah: "Ya benar. Allah dan
Rasulullah juga yang lebih bermurah hati." Nabi bertanya lagi:
"Saudara-saudara Ansar, kamu tidak menjawab kata-kataku!" Mereka masih
menekur, dan tak lebih hanya mengatakan: "Dengan apa harus kami jawab, ya
Rasulullah? Segala kemurahan hati dan kebaikan ada pada Allah dan Rasul-Nya
juga." Mendengar jawaban itu Rasulullah berkata lagi: "Ya, sungguh,
demi Allah. Kalau kamu mau, tentu kamu masih dapat mengatakan kamu benar dan pasti
dibenarkan "Engkau dating kepada kami didustakan orang, kamilah yang
mempercayaimu; engkau ditinggalkan orang, kamilah yang menolongmu; engkau diusir,
kamilah yang memberimu tempat; engkau dalam sengsara, kami yang menghiburmu."
Kata-kata itu diucapkan oleh Nabi dengan jelas sekali dan penuh keharuan.
Kemudian katanya lagi. "Kamu marah, Saudara-saudara Ansar, hanya karena
sekelumit harta dunia yang hendak kuberikan kepada orang-orang yang perlu
diambil hatinya agar mereka sudi masuk Islam, sedang keislamanmu sudah dapat
dipercaya. Tidakkah kamu rela Saudara-saudara Ansar, apabila orang-orang itu
pergi membawa kambing, membawa unta, sedang kamu pulang membawa Rasulullah ke
tempat kamu? Demi Dia Yang memegang hidup Muhammad! Kalau tidak karena hijrah,
tentu aku termasuk orang Ansar. Jika orang menempuh suatu jalan di celah gunung,
dan Ansar menempuh jalan yang lain, niscaya aku akan menempuh jalan Ansar.
Allahumma ya Allah, rahmatilah orang-orang Ansar, anak-anak Ansar dan cucu-cucu
Ansar." Begitu terharu orang-orang Ansar mendengar kata-kata Nabi yang keluar
dari lubuk hati yang ikhlas diucapkan dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang,
terutama kepada mereka yang dulu pernah memberikan ikrar, pernah memberikan pertolongan
dengan satu sama saling memberikan kekuatan — sehingga orang-orang Ansar itu
menangis seraya berkata: "Kami rela dengan Rasulullah sebagai bagian
kami."
Ansar dan pembebasan Mekah
Pemberian harta
rampasan perang Hunain kepada golongan mualaf bukan yang pertama kali
menimbulkan kegelisahan dalam hati orangorang Ansar. Kegelisahan demikian sudah
pernah timbul tatkala Mekah dibebaskan. Mereka melihat Rasulullah berdiri di
Safa sambil berdoa, dan ketika mereka melihatnya sedang menghancurkan berhala-berhala,
yang dalam suatu hari berhasil diselesaikannya apa yang diserukannya selama dua
puluh tahun. Sekarang terbayang oleh mereka bahwa ia pasti meninggalkan
Medinah, kembali ke tempat tumpah darah semula. Mereka berkata satu sama lain:
"Bagaimana pendapatmu, setelah Allah memberi kemenangan, akan menetapkah
Rasulullah di negerinya sendiri?" Setelah Muhammad mengetahui rasa
kekhawatiran itu, ia langsung berkata: "Berlindunglah kita kepada Allah!
Hidup dan matiku akan bersama kamu." Ansar di Saqifah Banu Sa 'idah Wajar
sekali dengan perasaan yang demikian itu kaum Ansar akan cepat-cepat berpikir
mengenai kota mereka begitu mereka mengetahui Rasulullah sudah wafat. Adakah
orang-orang Medinah dan orang-orang Arab itu akan diurus oleh kaum Muhajirin,
yang ketika tinggal di Mekah dulu mereka masih lemah, tak ada tempat
berlindung, tak ada pembelaan sebelum mereka diangkat oleh Medinah, ataukah
akan diurus oleh penduduk Medinah sendiri, yang seperti kata Rasulullah ia
datang kepada mereka didustakan orang, lalu mereka yang mempercayainya, ia ditinggalkan
orang, mereka yang menolongnya, ia diusir mereka yang memberi tempat dan ia
sengsara mereka yang menghiburnya. Beberapa orang dari kalangan Ansar
membicarakan masalah ini. Mereka lalu berkumpul di Saqifah Banu Sa'idah. Ketika
itu Sa'd sedang sakit di rumahnya. Oleh mereka diminta keluar sebagai orang
yang akan menentukan pendapat di kalangan Ansar. Setelah mendengar laporan itu ia
berkata kepada anaknya atau kepada salah seorang sepupunya: "Karena
sakitku ini kata-kataku tak akan terdengar oleh khalayak itu semua. Tetapi
teruskanlah kata-kataku biar terdengar oleh mereka."
Pidato Sa 'd di hadapan kaum
Ansar
Kemudian ia
mulai berbicara. Salah seorang meneruskan kata-katanya itu kepada hadirin.
Sesudah mengucapkan syukur dan puji kepada Allah ia berkata: "Saudara-saudara
Ansar, kamu adalah orang-orang terkemuka dalam agama dan yang mulia dalam
Islam, yang tak ada pada kabilah-kabilah Arab yang lain. Muhammad 'alaihis-salam
selama sekitar sepuluh tahun di tengah-tengah masyarakatnya itu mengajak
mereka beribadah kepada Allah, dan menjauhi penyembahan berhala, tetapi hanya
sedikit saja dari mereka yang beriman. Mereka tidak mampu melindungi Rasulullah
atau mengangkat kedudukan agama, juga mereka tak dapat membela diri mereka
sendiri dari kezaliman lawan yang sudah begitu merajalela. Karena Allah
menghendaki kamu menjadi orang yang bermartabat, maka kamu telah diberi
kehormatan dan kenikmatan. Karunia Allah kepada kamu ialah kamu telah beriman kepada-Nya
dan kepada Rasul-Nya, dapat memberikan perlindungan kepadanya dan kepada
sahabat-sahabatnya, sama-sama mendukungnya dalam mengangkat martabat serta memperkuat
agamanya, berjuang menghadapi musuh-musuhnya. Kamu adalah orang-orang yang
paling keras menghadapi musuhnya itu, baik yang datang dari dalam kalangan kamu
ataupun dari luar. Sampai akhirnya kawasan Arab itu mau tak mau tunduk kepada
perintah Allah, sampai ke tempat yang jauh semua tunduk menyerah, sehingga
Allah memberikan kemenangan kepada Rasulullah. Dengan pedang kamu orang-orang Arab
itu tunduk kepadanya. Dengan kehendak Allah Rasulullah sekarang telah berpulang
ke sisi-Nya, dengan senang hati terhadap kamu sekalian, Oleh karena itu
Saudara-saudara, pertahankanlah kekuasaan ini di luar orang lain, karena itu memang
hak kamu, bukan hak orang lain." Mendengar kata-kata Sa'd itu, serentak
mereka menjawab: "Tepat sekali pendapatmu, dan kami tak akan beranjak dari
pendapat itu. Kami serahkan persoalan ini ke tanganmu. Demi kepentingan kaum
Muslimin engkaulah pemimpin kami." Adakah kebulatan suara ini suatu
keputusan yang sudah mantap, keluar dari kehendak hati yang benar-benar sudah
tak tergoyahkan lagi? Kalau memang demikian halnya tentu cepat mereka akan
memberi ikrar dan dengan ikrar atau baiat itu orang-orang akan ramai-ramai pula
mendukungnya. Tetapi ternyata mereka masih berdiskusi sebelum ada yang tampil
membaiat Sa'd. Di antara mereka masih ada yang berkata: "Kalau kaum
Muhajirin Kuraisy itu menolak lalu mereka berkata "Kami adalah kaum
Muhajirin, sahabat-sahabat Rasulullah yang mulamula, kami masih sesuku dari
keluarga dekatnya, lalu dengan apa harus kita hadapi mereka dalam hal
ini?" Kata-kata ini mendapat perhatian hadirin. Mereka berpendapat ini benar
juga. Tadinya menurut anggapan sebagian mereka sudah tak dapat dibantah. Ketika
itulah ada sekelompok orang berkata: "Kalau begitu, kita bisa mengatakan,
dari kita seorang amir dan dari kamu seorang amir. Di luar ini
kami samasekali tidak setuju."
Kelemahan pertama
Sa'd bin Ubadah
bukan tidak tahu adanya sikap ragu-ragu yang akhirnya akan membuat orang
menyimpang dari tujuan semula, seperti yang tersirat dalam kata-kata itu.
Karenanya, ketika mendengar hal itu ia berkata: "Ini adalah kelemahan
pertama." Barangkali ia melihat adanya kelemahan pertama itu ketika mereka
yang berpendapat demikian datang dari kalangan Aus. Sebaliknya pihak Khazraj
tidak mungkin akan mengatakan demikian mengingat Sa'd bin Ubadah adalah
pemimpin mereka yang memang sudah mereka calonkan untuk memegang pimpinan
Muslimin sesudah Rasulullah. Antara Banu Aus dengan Banu Khazraj ini sejak
dahulu selalu dalam sengketa selalu, yaitu sejak kedatangan nenek moyang mereka
ke Medinah dari Yaman tatkala kabilah Azd berimigrasi ke utara. Nenek moyang
mereka di Medinah bertemu dengan orang-orang Yahudi dan sarnpai sekian lama mereka
berada di bawah kekuasaannya. Kemudian mereka berontak dan berhasil melepaskan
diri dari kekuasaan itu. Sejak itu, antara kedua kabilah ini terjadi permusuhan
sengit. Dalam pada itu kekuasaan itu kembali lagi ke tangan orang Yahudi. Kedua
kabilah ini kemudian melihat bahwa apa yang terjadi itu akan membawa kelemahan
kepada mereka sendiri. Maka mereka bermaksud hendak mengangkat Abdullah bin
Muhammad sebagai pemimpin mereka, sesudah tidak sedikit menelan korban di pihak
mereka akibat perang Bu'as. Di sinilah pihak Israil memang lebih unggul dari
mereka. Sementara itu ada beberapa orang yang datang ke Mekah hendak berziarah.
Ketika itulah mereka bertemu dengan Nabi yang kemudian mengajak mereka kepada
agama Tauhid. Mereka saling berkata satu sama lain: "Sungguh inilah Nabi
yang pernah dijanjikan orang-orang Yahudi kepada kita. Jangan sampailah mereka
mendahului kita." Kemudian setelah menerima ajakan itu mereka pun masuk
Islam. "Kami telah meninggalkan golongan kami," kata mereka — yakni Aus
dan Khazraj — dan tidak ada lagi golongan yang akan saling bermusuhan dan
saling mengancam. Mudah-mudahan Allah mempertemukan Tuan dengan mereka. Kalau
Allah mempertemukan mereka dengan Tuan, tak ada orang yang lebih mulia dari
Tuan." Sesudah itu mereka kembali ke Medinah. Pengalaman mereka itu mereka
sampaikan kepada kabilah mereka. Inilah pendahuluan Ikrar Akabah (Bai'atul
'Aqabah al-Kubra) dan pendahuluan hijrah Rasulullah ke Medinah serta
permulaan tersebarnya Islam di sana. Agama baru ini telah mempersatukan
orang-orang beriman dan mempererat rasa persaudaraan dan kasih sayang mereka
yang ada di sekeliling Nabi. Dengan demikian kedudukan Yahudi makin lemah, dan ini
yang membuka jalan keluarnya mereka dari Medinah dan dari seluruh kawasan Arab.
Tetapi bekas permusuhan lama dalam hati Aus dan Khazraj itu masih belum hilang.
Hal itu timbul bila orang-orang Yahudi dan orangorang munafik yang pura-pura
masuk Islam menghasut mereka. Inilah yang menimbulkan dugaan, bahwa ketika
melihat orang yang berkumpul di Saqifah1 Banu Sa'idah mengatakan
"Dari kami seorang amir dan dari Kuraisy seorang amir" Sa'd
bin Ubadah tidak akan mengatakan "Ini adalah kelemahan pertama,"
kalau bukan golongan Aus yang mengatakan itu.
Umar dan Abu Ubaidah tentang
kekhalifahan
Sementara Ansar
masih di Saqifah Banu Sa'idah bertukar pikiran antara sesama mereka yang ingin
memegang kekuasaan di kawasan Saqifah, 'serambi bcratap' (A) (LA) atau
'ruangan besar beratap' (LA), semacam balairung.Arab itu, Umar bin
Khattab, Abu Ubaidah bin Jarrah dan beberapa kalangan terkemuka Muslimin
lainnya dan yang awam, sedang sibuk membicarakan kematian Rasulullah. Ketika
itu Abu Bakr, Ali bin Abi Talib dan keluarga Nabi yang lain sedang berada di sekeliling jenazah, menyiapkan
segala sesuatunya untuk pemakaman. Umar, setelah yakin benar bahwa Nabi memang
sudah wafat, mulai berpikir apa yang akan terjadi sesudah itu. Tak terlintas
dalam pikirannya bahwa pihak Ansar sudah lebih dulu berpikir ke arah itu, atau
mereka ingin menguasai keadaan di luar yang lain. Dalam at-Tabaqat Ibn
Sa'd mengatakan: "Umar mendatangi Abu Ubaidah bin Jarrah dengan
mengatakan: 'Bentangkan tanganmu akan kubaiat engkau. Engkaulah orang
kepercayaan umat ini atas dasar ucapan Rasulullah. Abu Ubaidah segera menjawab:
"Sejak engkau masuk Islam tak pernah kau tergelincir. Engkau akan memberikan
sumpah setia kepadaku padahal masih ada Abu Bakr?'" Sementara mereka
sedang berdialog demikian itu, berita tentang Ansar serta pertemuan mereka di
Saqifah Banu Sa'idah sampai kepada Umar dan kawan-kawan. Umar mengutus orang
menyusul Abu Bakr di rumah Aisyah dan memintanya segera datang. Abu Bakr
mengatakan kepada utusan itu: Saya sedang sibuk. Tetapi Umar menyuruh kembali lagi
utusan itu dengan pesan kepada Abu Bakr: "Ada suatu kejadian penting
memerlukan kedatanganmu." Dengan penuh keheranan Abu Bakr datang menemui
Umar. Ada persoalan apa meminta ia datang sampai harus meninggalkan persiapan jenazah
Rasulullah. "Engkau tidak tahu," kata Umar kemudian, "bahwa
Ansar sudah berkumpul di Saqifah Banu Sa'idah. Mereka ingin menyerahkan
pimpinan ini ke tangan Sa'd bin Ubadah. Ucapan yang paling baik ketika ada yang
mengatakan: Dari kami seorang amir dan dari Kuraisy seorang amir."
Mendengar itu, tanpa ragu lagi Abu Bakr bersama Umar berangkat cepat-cepat
ke Saqifah disertai juga oleh Abu Ubaidah bin Jarrah. Bagaimana ia akan
ragu sedang masalah yang dihadapinya kini masalah Muslimin dan hari depannya,
bahkan masalah agama yang telah diwahyukan kepada Muhammad serta masa depannya
juga. Dalam- mengurus jenazah Rasulullah sudah ada keluarganya, mereka yang
akan mempersiapkan pemakaman. Maka sebaliknya ia dan kedua sahabatnya itu pergi
ke Saqifah. Ini sudah menjadi kewajiban; suatu hal yang tak dapat
dipikulkan kepada orang lain. Tak boleh sehari pun dibiarkan tanpa suatu tanggung
jawab serta memikul beban yang betapapun beratnya, meskipun harus dengan
pengorbanan harta dan nyawa. Dalam perjalanan ketiga orang itu bertemu dengan
Asim bin Adi dan Uwaim bin Sa'idah yang lalu berkata kepada mereka: "Kembalilah,
tak akan tercapai apa yang kamu inginkan." Dan setelah mereka berkata:
"Jangan mendatangi mereka, selesaikan saja urusanmu." "Tidak!
Akan kami datangi mereka!" jawab Umar.
Pertemuan Saqifah dan bahaya
yang mengancam
Tatkala ketiga
orang itu tiba, pihak Ansar masih berdiskusi, belum mengangkat Sa'd, juga belum
mengambil suatu keputusan mengenai kekuasaan itu. Seperti menyesali keadaan,
orang-orang Ansar itu terkejut melihat kedatangan mereka bertiga. Orang-orang
Ansar berhenti bicara. Di tengah-tengah mereka ada seorang laki-laki
berselimut, yang oleh Umar bin Khattab ditanya siapa orang itu. "Ini Sa'd
bin Ubadah, sedang sakit," jawab mereka. Abu Bakr dan kedua kawannya itu
juga duduk di tengah-tengah mereka dengan pikiran masing-masing sudah ditimbuni
oleh pelbagai pertanyaan, apa yang akan dihasilkan oleh pertemuan itu. Sebenarnya
pertemuan ini sangat penting dalam sejarah Islam yang baru tumbuh itu. Dalam
pertemuan serupa ini, kalau Abu Bakr tidak memperlihatkan sikap tegas dan
kemauan yang keras seperti juga di kawasan Arab yang lain justru di kandang
sendiri hampir saja agama baru ini menimbulkan perselisihan, sementara jenazah
pembawa risalah itu masih berada di dalam rumah, belum lagi dikebumikan. Andaikata
pihak Ansar tetap bersikeras akan memegang tampuk pimpinan sesuai dengan seruan
Sa'd bin Ubadah, sedang pihak Kuraisy sebaliknya tidak mau menyerahkannya
kepada pihak lain, maka dapat kita bayangkan, betapa jadinya Medinah Rasulullah
ini akjbat tragedy pemberontakan itu kelak! Betapa hebatnya ledakan
pemberontakan bersenjata itu sementara pasukan Usamah masih berada di
tengah-tengah mereka, terdiri dari kaum Muhajirin dan Ansar, masing-masing
sudah bersenjata lengkap, sudah dengan baju besi dan sudah sama-sama siap tempur!
Andaikata kaum Muhajirin yang hadir di Saqifah itu bukan Abu Bakr, bukan Umar
dan bukan Abu Ubaidah, melainkan orang-orang yang belum punya tempat dalam hati
segenap kaum Muslimin seperti pada kedua wazir (pendamping) Rasulullah
dan orang-orang kepercayaan umat ini, niscaya timbul perselisihan hebat antara
mereka dengan Ansar, niscaya berkecamuk pertentangan.antara kaum Muslimin
dengan segala akibatnya yang sampai sekarang belum terpikirkan oleh para
sejarawan dan niscaya sebagian besar yang hadir dalam pertemuan Saqifah itu tak
akan berhenti hanya pada peristiwa dan pertukarpikiran yang berakhir dengan
dilantiknya Abu Bakr itu saja. Tetapi mereka yang dapat menilai peristiwa itu
sebagaimana mestinya akan melihat pengaruh pertemuan bersejarah itu dalam
sejarah Islam, seperti pada waktu Ikrar Aqabah dan pada hijrah Rasulullah dari
Mekah ke Medinah. Orang akan melihat bahwa sikap Abu Bakr menghadapi situasi
itu adalah sikap seorang politikus, bahkan seorang negarawan yang punya pandangan
jauh, yang dapat memperhitungkan hasil-hasil dan segala kemungkinannya, dengan
terus mengarahkan segala usahanya dengan tujuan hendak mencapai yang baik dan
mencegah bahaya dan segala yang buruk.
Abu Bakr mulai dengan serangan
damainya
Dalam kehidupan
kita dewasa ini kita sudah biasa mengenal istilahistilah yang dilakukan oleh
kaum politisi untuk menggambarkan situasi dan tindakan-tindakan yang mereka
anggap baru dan belum pernah dilakukan orang sebelumnya. Yang mudah biasa kita
dengar masa kita sekarang ini ialah istilah "serangan damai." Pada
masa-masa dahulu serangan damai demikian ini sudah tidak asing lagi. Malah cara
inilah yang telah dilakukan oleh Abu Bakr dan juga dilaksanakan oleh kedua sahabatnya
dalam pertemuan bersejarah yang sangat penting itu. Setelah ketiga Muhajirin
itu merasa puas dengan pertemuan tersebut, pihak Ansar tidak lagi berani
meneruskan dan mereka sadar. Tetapi pihak-pihak yang masih keras ingin memegang
pimpinan setelah Rasulullah tak dapat menahan diri.
"Aku sudah
menyusun kata-kata yang akan kusampaikan kepada mereka," kata Umar,
"tetapi waktu akan mulai berbicara, Abu Bakr berkata kepadaku: Sabarlah,
aku yang akan bicara. Sesudah itu boleh kau bicara sesukamu."
Pidato Abu Bakr
yang pertama kepada Ansar
Yang
dikhawatirkan Abu Bakr sikap Umar yang terlalu keras bila berbicara, sedang
situasinya tidak mengizinkan cara-cara kekerasan. Yang diperlukan ialah taktik
yang bijak dan pengantar yang baik. Waktu itu Abu Bakr berdiri. Setelah
mengucapkan syukur kepada Allah dan mengingatkan mereka kepada Rasulullah serta
risalah tauhid yang dibawanya, ia berkata: "...Orang-orang Arab itu berat sekali
untuk meninggalkan agama nenek moyang mereka. Kaum Muhajirin yang mula-mula
dari masyarakat Nabi sendiri telah mendapat karunia Allah, mereka percaya
kepadanya, beriman kepadanya, senasib seperjuangan dengan menanggung segala
macam penderitaan, yang datangnya justru dari masyarakat mereka sendiri. Mereka
didustakan, ditolak dan dimusuhi. Mereka tak merasa gentar, meskipun jumlah
fhereka kecil, menghadapi kebencian dan permusuhan lawan yang begitu besar.
Mereka itulah yang telah lebih dulu menyembah Allah di muka bumi, beriman
kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Mereka itu termasuk sahabat-sahabatnya dan
keluarganya. Sepeninggal Nabi, merekalah orang-orang yang paling berhak
memegang pimpinan ini. Tak ada orang yang akan menentang kecuali orang yang
zalim. "Dan kalian, Saudara-saudara Ansar! Siapa yang akan membantah jasa
kalian dalam agama serta sambutanmu yang mula-mula, yang begitu besar artinya
dalam Islam. Allah telah memilih kamu sebagai pembela{ansar) agama dan
Rasul-Nya. Ke tempat kalian inilah ia hijrah dan dari kalangan kalian ini pula
sebagian besar istri-istri dan sahabatsahabatnya.
Posisi itu hanya
ada pada kamu sekalym setelah kami. Karena itu, maka kamilah para amir1
dan Tuan-tuan para wazir. Kami tak akan meninggalkan Tuan-tuan dalam
musyawarah dan tak akan memutuskan sesuatu tanpa Tuan-tuan" Kami para amir
dan Tuan-tuan para wazir. Kami tidak akan meninggalkan Tuan-tuan
dalam musyawarah, dan kami takkan memutuskan sesuatu tanpa Tuan-tuan. Kata-kata
ini mirip sekali dengan pendapat Ansar yang mengatakan: dari kami seorang amir
dan dari Muhajirin seorang amir. Kata-kata yang lebih teratur ini
dan akan membawa segala persoalan ke arah yang lebih baik dan membangun. Barang
kali ini pula tujuan Abu Bakr — tujuan yang sangat bijaksana dengan pandangan yang jauh.
Barangkali pihak Aus pun yang tadinya masih bersaing dengan Khazraj, sekarang
sudah puas menerima Abu Bakr. Dari kalangan Khazraj sendiri barangkali banyak
yang tidak keberatan terhadapnya. Abu Bakr tidak menginginkan pihak Muhajirin
akan memegang kekuasaan tanpa mengajak orang lain seperti yang dilakukan oleh
Sa'd bin Ubadah. Malah dimintanya Ansar sebagai para wazir, bekerja sama
tanpa
menyertakan yang lain, meskipun yang lain itu di beberapa bagi Amir jamak
umara', harfiah 'pangeran,' 'pemimpin,' 'yang memerintah, pemcrintah' dapat
diartikan juga 'kepala negara.' Wazir jamak wuzara' 'yang memberi
dukungan ‘pendamping.' 'pembantu,' 'menteri'. Semenanjung ada yang lebih kuat
dan lebih banyak jumlahnya. la
mengajak Ansar
atas dasar pimpinan berada di tangan Muhajirin karena kedudukan mereka yang
sudah lebih dulu dalam membela dan mendukung Rasulullah. Sudah tentu, dengan
kata-kata itu mereka semua akan merasa puas, karena ini memang sudah sangat
adil, dengan dasar demi kebenaran semata.
Jawaban Ansar kepada Abu Bakr
Orang-orang yang
masih diliputi semangat mempertahankan Ansar merasakan pengaruh kata-kata Abu
Bakr itu dalam hati kalangan Saqifah. Mereka khawatir kesepakatan yang semula
sudah ada akan buyar. Keadaan itu dipaksakan oleh pihak Muhajirin dan kekuasaan
akan dipegang mereka sendiri. Maka salah seorang dari Ansar berdiri dan
berkata: "'Kemudian daripada itu. Kami adalah Ansarullah dan pasukan
Islam, dan kalian dari kalangan Muhajirin sekelompok kecil dari kami, dating ke
mari mewakili golongan Tuan-tuan. Tetapi ternyata sekarang Tuantuan mau mengambil
hak kami secara paksa." Dalam kedudukannya itu, apa yang didengarnya tentu
tidak menyenangkan Abu Bakr. Sekali lagi ia menunjukkan kata-katanya kepada
Ansar, seraya katanya: "Saudara-saudara! Kami dari Muhajirin orang yang
pertama menerima Islam. Keturunan kami orang baik-baik, keluarga kami
terpandang, kedudukan kami baik pula. Di kalangan Arab kamilah yang banyak memberikan
keturunan, dan kami sangat sayang kepada Rasulullah. Kami sudah memeluk Islam
sebelum Tuan-tuan, di dalam Qur'an juga kami didahulukan dari Tuan-tuan,
seperti dalam firman Allah: "Pelopor-pelopor pertama dari Muhajirin dan
Ansar, dan yang mengikuti mereka dalam segala perbuatan yang baik (Qur'an,
9. 100).
Jadi kami
Muhajirin dan Tuan-tuan adalah Ansar, Saudara-saudara kami seagama,
bersama-sama menghadapi rampasan perang dan penolongpenolong kami dalam
menghadapi musuh. Apa yang telah Tuan-tuan katakan, bahwa segala kebaikan ada
pada Tuan-tuan itu sudah pada tempatnya. Dari segenap penghuni bumi ini
Tuan-tuanlah yang patutdipuji. Tetapi dalam hal ini orang-orang Arab itu hanya
mengenal lingkungan Kuraisy. Jadi dari pihak kami para amir dan dari
pihak Tuantuan para wazir."!
Memasuki situasi yang serba
sulit
Oleh Abu Bakr
kata-kata terakhir itu diulang-ulang, yang sekaligus ketika pertama kali
disampaikan telah memberi kesan dalam hati orangorang Ansar yang keras, yang
merasa khawatir sekali dengan situasi demikian. Maka ketika itu al-Hubab bin
al-Munzir bin al-Jamuh berdiri: "Saudara-saudara Ansar!" katanya.
"Hendaklah kita pertahankan
hak kita.
Orang-orang akan berada di belakang kita. Tak akan ada yang berani menentang
kita dan orang tak akan menjalankan suatu keputusan tanpa meminta pendapat
kita. Kekayaan dan kehormatan ada pada kita, begitu juga jumlah orang. Kita
punya pertahanan dan pengalaman, kekuatan dan kesiagaan. Orang hanya akan
melihat apa yang kamu perbuat. Janganlah kamu berselisih, agar pendapat kita
tidak terpecah
belah, kekuasaan
kita tidak pula goyah. Kemauan mereka hanya seperti yang sudah kalian dengar.
Sekarang Saudara-saudara, dari kami seorang amir dan dari Tuan-tuan
seorang amir." Begitu Hubab berhenti bicara Umar bin Khattab segera
berdiri — yang sejak tadi hanya menahan diri tidak bicara, sebab mematuhi
perintah Abu Bakr — seraya katanya: "Bah! Jangan ada dua kemudi dalam satu
perahu. Orang-orang Arab tidak akan mau mengangkat kamu sedang nabinya bukan
dari kalangan kamu. Tetapi mereka tidak akan keberatan mengangkat seorang pemimpin
selama kenabian itu dari kalangan mereka. Alasan dan kewenangan kami sudah
jelas buat mereka yang masih menolak semua itu. Siapakah yang mau membantah
kewenangan dan kepemimpinan Muhammad sedang kami adalah kawan dan kerabat
dekatnya — kecuali buat orang yang memang cenderung hendak berbuat batil,
berbuat dosa dan gemar mencari-cari malapetaka!" Ucapan Umar itu dibalas
oleh Hubab: "Saudara-saudara Ansar! Tetaplah kalian bertahan dan jangan
mendengar kata-kata orang ini dan kawan-kawannya, kalian akan kehilangan
hak kalian.
Kalau mereka menolak tuntutan kita, kita keluarkan mereka dari negeri ini, dan
kekuasaan kita ambil dari mereka. Dalam hal ini kalian lebih berhak daripada mereka.
Dengan pedang kalianlah orang yang tadinya tak beragama itu telah menerima
agama ini. Saya tongkat lagi senjata.1 Demi Allah, kalau perlu biar kita yang
memulai
peperangan."
Mendengar ancaman itu Umar membalas: "Mudah-mudahan Allah memerangi
kamu." "Bahkan kaulah yang harus diperangi," kata Hubab lagi. Kata-kata
terakhir ini sudah merupakan ancaman yang sangat berbahaya.
Jika di pihak
Hubab kaum Ansar cukup banyak jumlahnya tentu akan mudah sekali timbul
huru-hara dan mereka cepat-cepat membantunya dan mendukung pengangkatan Sa'd
bin Ubadah. Sesudah itu terserah apa yang akan dilakukan oleh pihak Muhajirin.
Atau bisa jadi masing-masing pihak ada yang sudah bermain mata atau yang serupa
itu sebagai
reaksi atas dialog yang begitu keras antara Umar dengan Hubab.
Abu Ubaidah turun tangan
At-Tabari malah
menyebutkan bahwa sambil berbicara itu Hubab menghunus pedang, tapi tangannya ditepis
oleh Umar dan pedang itu jatuh. Diambilnya pedang itu oleh Umar dan ia melompat
ke arah Sa'd bin Ubadah. Tetapi dalam menghadapi persoalan ini Abu Ubaidah bin Jarrah
segera turun tangan. Selama ini ia memang berdiam diri. Sambil ditujukan kepada
penduduk Medinah itu ia berkata : "Saudara-saudara Ansar! Kalian adalah
orang yang pertama memberikan bantuan dan dukungan, janganlah sekarang jadi
orang yang pertama pula mengadakan perubahan dan perombakan."
Suara Basyir bin Sa 'd
Dalam kesempatan
ini Basyir bin Sa'd Abu an-Nu'man bin Basyir, salah seorang pemimpin Khazraj,
berdiri menyambut ucapan Abu Ubaidah yang bijaksana itu: "Kalau kita sudah
mendapat tempat pertama dalam perang melawan kaum musyrik dan juga yang
mula-mula menyambut agama ini, yang kita tuju hanya rida Allah serta kepatuhan
kita kepada Nabi kita yang sudah bekerja keras untuk kita. Maka tidakiah pada
tempatnya kita akan menyombongkan diri kepada orang lain, juga bukan tujuan kita
ganjaran duniawi ini sebagai balasan buat kita. Tuhanlah yang Harfiah 'Saya
kayu pasak tempat ternak bergerak dan setandan kurma yang bertopang' yakni
'saya tempat orang yang incncari pengobatan dengan pendapatnya, seperti unta
mengobati sakit gatalnya dengan menggaruk-garukkan badannya ke kayu pasak'. Perumpamaan
Melayu di atas berarti 'saya yang memberi dua pertolongan dalam perjalanan'. akan
memberikan ganjaran kepada kita untuk itu semua. Ya, Muhammad Sallallahu 'alaihi
wasallam dari Kuraisy, maka kabilah inilah yang lebih berhak atas semua
itu. Demi Allah aku bersumpah, janganlah sekali-kali kita disaksikan Allah dalam
keadaan bersengketa mengenai hal ini. Takutlah kalian kepada Allah, dan janganlah
menentang dan bertengkar dengan mereka." Abu Bakr mengitarkan pandangannya
kepada Ansar, ingin melihat kesan apa yang timbul dari kata-kata Basyir itu.
Dilihatnya Aus seolah mereka saling berbisik dan banyak pula dari pihak Khazraj
yang tampaknya merasa puas dengan kata-kata Basyir itu. la yakin, bahwa keadaannya
sekarang sudah reda dan sudah tiba pula saatnya mengambil keputusan. Kesempatan
ini tak boleh dibiarkan. Oleh karena waktu itu ia sedang duduk di
tengah-tengah, antara Umar dan Abu Ubaidah, maka dipegangnya tangan mereka itu
masing-masing dan katanya seraya mengajak Ansar menjaga persatuan dan
menghindari perpecahan: "Ini Umar dan ini Abu Ubaidah, berikanlah ikrar
Tuan-tuan kepada yang mana saja yang Tuan-tuan sukai." Ketika itu timbul
pula kegaduhan dan perselisihan pun mulai merebak lagi. Umarkah yang akan dibaiat
dengan sikapnya yang begitu keras, tetapi dalam pada itu ia pendamping (wazTr)
Nabi dan ayah Hafsah Ummulmukminin?! Atau Abu Ubaidah yang akan dilantik,
yang sampai saat itu wibawa dan kedudukannya belum seperti Umar dalam hati kaum
Muslimin?!
Umar dan Abu Ubaidah melantik
Abu Bakr
Tetapi Umar
tidak akan membiarkan perselisihan itu menjadi perkelahian yang berkepanjangan.
Dengan suaranya yang lantang menggelegar ia berkata: "Abu Bakr, bentangkan
tanganmu." Abu Bakr membentangkan tangan dan oleh Umar ia diikrarkan
seraya katanya: Abu Bakr, bukanlah Nabi menyuruhmu memimpin Muslimin
bersembahyang? Engkaulah penggantinya (khalifahnya). Kami akan mengikrarkan orang
yang paling disukai oleh Rasulullah di antara kita semua ini." Menyusul
Abu Ubaidah memberikan ikrar. "Engkaulah di kalangan Muhajirin yang paling
mulia," katanya, "dan yang kedua dari dua orang dalam gua,
menggantikan Rasulullah dalam salat, sesuatu yang paling mulia dan utama dalam
agama kita. Siapa lagi yang lebih pantas dari engkau untuk ditampilkan dan
memegang pimpinan ini!" Sementara Umar dan Abu Ubaidah membaiat,
cepat-cepat dating pula Basyir bin Sa'd memberikan ikrarnya. Ketika itu juga
Hubab bin al-Munzir berseru: Basyir bin Sa'd! Engkau tidak patuh. Apa gunanya
kau berbuat begitu. Engkau telah menyaingi kepemimpinan itu dengan sepupumu sendiri
(maksudnya Sa'd bin Ubadah)." "Tidak," kata Basyir, "saya
tidak mau menentang hak suatu golongan yang sudah ditentukan Allah."
Baiat Saqifah oleh Aus dan
Khazraj
Usaid bin
Hudair, pemimpin Aus, sambil menoleh kepada kaumnya yang juga sedang
memperhatikan apa yang dilakukan oleh Basyir bin Sa'd, berkata: "Kalau
sekali Khazraj memerintah kita, maka akan tetap mereka mempunyai kelebihan atas
kita dan dengan mereka samasekali kita tidak akan mendapat hak apa-apa. Maka
marilah sekarang kita baiat Abu Bakr." Ketika itu Aus segera bertindak
memberikan ikrar kepada Abu Bakr, kemudian disusul oleh Khazraj yang sudah
merasa puas dengan kata-kata Basyir itu; mereka juga cepat-cepat membaiat,
sehingga tempat di Saqifah itu penuh sesak. Karena makin banyak orang yang
dating memberi ikrar hampir-hampir saja Sa'd bin Ubadah terinjak-injak.
"Hatihati, Sa'd jangan diinjak," suara orang-orang yang pro Sa'd. "Bunuh
saja dia," kata Umar. "Dia berbahaya!" dilanjutkan dengan kata-kata
keras yang ditujukan kepada Sa'd. "Hati-hatilah, Umar," kata Abu Bakr
mengingatkan Umar. "Dalam suasana begini perlu lebih bijaksana." Sekarang
oleh kawan-kawannya Sa'd dibawa masuk ke rumahnya. Selama beberapa hari ia
tinggal tii rumah. Kemudian ia diminta agar juga membaiat: "Datanglah dan
baiat dia. Orang semua sudah membaiat, juga golonganmu." Sa 'd menolak
Tetapi Sa'd tetap tidak mau. "Tidak. Daripada aku membaiat, biarlah kulepaskan
anak-anak panah dalam tabungku ini kepada kalian, biar kepala tombakku
berlumuran darah dan pedang yang ada di tanganku kupukulkan kepadamu. Aku akan
memerangi kalian bersama keluargaku, bersama pengikut-pengikutku yang masih
setia." Setelah ucapan demikian itu sampai kepada Abu Bakr, Umar berkata kepadanya:
"Jangan biarkan dia sebelum ikut memberi ikrar!"
Tetapi Basyir
menolak pendapat Umar itu dengan mengatakan: "Dia keras kepala dan sudah menolak.
Dia tidak akan memberi ikrar sebelum dia sendiri, anaknya, keluarganya dan
kerabatnya semua terbunuh. Biarkan sajalah. Kalaupun dibiarkan dia tidak akan
membahayakan kita. Dia hanya seorang din." Abu Bakr yang mendengar pendapat
Basyir itu membenarkan. Oleh mereka Sa'd ditinggalkan. la tidak ikut salat berjamaah
dengan yang lain, tidak ikut berhaji dan bertolak dari Arafah bersama yang
lain. La tetap bertahan dengan caranya itu sampai Abu Bakr wafat.
Sesudah ba'at Saqifah
Ketika
pelantikan Abu Bakr selesai sudah di Saqifah, jenazah Nabi di rumah masih
dikelilingi keluarga: Ali bin Abi Talib, Abbas bin Abdul Muttalib bersama
beberapa orang yang lurut menyelenggarakan. Tidak jauh dari mereka, di dalam
mesjid ada juga beberapa orang dari kalangan Muhajirin. Seperti kita lihat,
baiat ini selesai dalam keadaan yang membuat beberapa sumber menghubungkan kata-kata
ini pada Umar: "Peristiwa sangat tiba-tiba1 sekali." Tetapi
sumber-sumber lain berpendapat, bahwa Abu Bakr, Umar dan Abu Ubaidah sudah
sepakat, bahwa pimpinan memang akan berada di tangan Abu Bakr. Apa pun yang akan
dikatakan kedua sumber itu, yang tak jelas ialah, bahwa keputusan Saqifah ini
telah menyelamatkan Islam yang baru tumbuh itu dari malapetaka, yang hanya
Allah saja yang tahu akan segala akibatnya. Abu Bakr telah meratakan jalan
untuk menghilangkan segala perselisihan di kalangan Muslimin. la juga telah
meratakan jalan menuju politik yang polanya sudah diletakkan oleh Rasulullah
untuk mencapai keberhasilan sehingga membuka pula jalan ke arah kedaulatan
Islam kemudian hari. Dengan karunia Tuhan juga, akhirnya agama ini tersebar ke
segenap penjuru dunia. Sejak kejadian Saqifah itu pihak Ansar sudah tidak lagi
berambisi untuk memegang pimpinan Muslimin. Baik pada waktu pelantikan Umar bin
Khattab, pelantikan Usman bin Affan sampai pada waktu terjadinya pertentangan
antara Ali dengan Muawiyah, hak Ansar tidak berbeda dengan apa yang sudah
diperoleh oleh kalangan Arab lainnya, seolah mereka sudah yakin benar apa yang pernah
dikatakan oleh Abu Bakr, bahwa dalam hal ini orang-orang Arab itu hanya mengenal
lingkungan Faltatan. mengacu pada kata-kata Umar, yakni sangat
tiba-tiba, di luar dugaan ". Saudara-saudara Muhajirin, jagalah kaum Ansar
itu baik-baik; sebab selama orang bertambah banyak, orang-orang Ansar akan
seperti itu juga keadaannya, tidak bertambah. Mereka orang-orang tempat aku menyimpan
rahasiaku dan yang telah memberi perlindungan kepadaku. Hendaklah kamu berbuat
baik atas kebaikan mereka itu dan maafkanlah kesalahan mereka."
Tak lama setelah
selesai pelantikan itu Abu Bakr dan mereka yang hadir di Saqifah kembali ke
mesjid. Waktu itu sudah sore. Kaum Muslimin sedang mengikuti berita-berita dari
rumah Aisyah mengenai penyelenggaraan pemakaman Rasulullah. Keesokan harinya
ketika Abu Bakr sedang duduk di mesjid, Umar datang meminta maaf atas peristiwa
kemarin tatkala ia berkata kepada kaum Muslimin, bahwa Nabi tidak mati.
"Kepada
Saudara-saudara kemarin saya mengucapkan kata-kata yang tidak terdapat dalam
Kitabullah, juga bukan suatu pesan yang diberikan Rasulullah kepada saya. Ketika
itu saya berpendapat, bahwa Rasulullah yang akan mengurus soal kita, sebagai
orang terakhir yang tinggal bersama-sama kita. Tetapi Allah telah memberikan
Qur'an untuk selamanya kepada kita, yang juga menjadi penuntun Rasul-Nya. Kalau
kita berpegang teguh pada Qur'an, Allah akan membimbing kita yang juga telah
membimbing Rasulullah. Sekarang Allah telah menyatukan segala persoalan kita di
tangan sahabat Rasulullah — Sallallahu 'alaihl wasallam — orang
yang terbaik di antara kita dan dia salah seorang dari dua orang
ketika keduanya berada dalam gua. Maka marilah kita baiat dia, kita
ikrarkan."
1 Tajawaza
'an, 'afa 'an (N), memaafkan. — Pnj.
2 Kutipan
sebagian ayat Qur'an, 9. 40. — Pnj.
Kuraisy. Bahkan
sesudah itu mereka merasa cukup senang hidup di samping Muhajirin. Mereka pun
puas sekali dengan wasiat Rasulullah dalam sakitnya yang terakhir tatkala
berkata:
Baiat Umum dan pidato Abu Bakr
yang pertama
Ketika itu orang
ramai pun sama-sama memberikan ikrar sebagai Baiat Umum sesudah Baiat Khusus di
Saqifah. Selesai baiat itu Abu Bakr berdiri. Di hadapan mereka ia mengucapkan
sebuah pidato yang merupakan pernyataan pertama setelah ia memangku jabatan
sebagai Khalifah. Di samping itu pidato ini adalah teladan yang sungguh
bijaksana dan sangat menentukan. Setelah mengucapkan puji syukur kepada Allah
Abu Bakr radiallahu 'anhu berkata: "Kemudian, Saudara-saudara. Saya
sudah terpilih untuk rnemimpin kamu sekalian, dan saya bukanlah orang yang
terbaik di antara kamu sekalian. Kalau saya berlaku baik, bantulah saya.
Kebenaran adalah suatu kepercayaan, dan dusta adalah pengkhianatan. Orang yang
lemah di kalangan kamu adalah kuat di mata saya, sesudah haknya saya berikan kepadanya
— insya Allah, dan orang yang kuat buat saya adalah lemah sesudah haknya nanti
saya ambil — insya Allah. Apabila ada golongan yang meninggalkan perjuangan di
jalan Allah, maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada mereka. Apabila
kejahatan itu sudah meluas pada suatu golongan, maka Allah akan menyebarkan
bencana kepada mereka. Taatilah saya selama saya taat kepada (perintah) Allah
dan Rasul-
Nya. Tetapi
apabila saya melanggar (perintah) Allah dan Rasulullah maka gugurlah
kesetiaanmu kepada saya. Laksanakanlah salat kamu, Allah akan merahmati kamu
sekalian." Masih adakah yang belum memberikan ikrar dari Muhajirin? Adakah
ikrar umum ini sudah merupakan konsensus semua Muslimin, tak ada lagi yang
tertinggal seperti Sa'd bin Ubadah dalam Ikrar Khusus di Saqifah? Yang sudah
menjadi kesepakatan umum, bahwa ada segolongan Muhajirin terkemuka yang tidak
turut, dan bahwa Ali bin Abi Talib dan Abbas bin Abdul Muttalib dari Banu
Hasyim termasuk yang tidak ikut.
Menurut sumber
Ya 'qubi Menurut
al-Ya'qubi, "Mereka yang tidak ikut membaiat Abu Bakr dari kalangan
Muhajirin dan Ansar dan ikut Ali bin Abi Talib di antaranya ialah Abbas bin Abdul
Muttalib, Fadl bin al-Abbas, Zubair bin al-
Awwam bin al-As,
Khalid bin Sa'id, Miqdad bin Amr, Salman al- Farisi, Abu Zar al-Gifari, Ammar
bin Yasir, Bara' bin Azib dan Ubai bin Ka'b, dan bahwa dalam hal ini Abu Bakr
meminta pendapat Umar bin Khattab, Abu Ubaidah bin Jarrah dan Mugirah bin
Syu'ba. Saran ketiga tokoh itu ialah agar menemui Abbas bin Abdul Muttalib dan agar
dia juga dilibatkan dan berperan dalam masalah ini, baik untuk kepentingannya
sendiri maupun penerusnya kemudian. Mengenai ini tcrjadi perbedaan pendapat
antara dia dengan sepupunya, Ali bin Abi Talib. Dengan demikian Abu Bakr dan sahabat-sahabatnya
punya argument dalam menghadapi Ali. Apa yang sudah disarankan mereka tadi oleh
Abu Bakr dilaksanakan. Dalam suatu percakapan panjang ia berkata kepada Abbas: "Kami
telah datang kepadamu dan yang kami inginkan engkau dapat berperan juga dalam
hal ini, baik untukmu sendiri maupun untuk penerusmu kemudian, mengingat engkau
adalah paman Rasulullah."
Abbas menjawab
tawaran itu setelah terjadi dialog seperti dilukiskan oleh Ya'qubi;
"Kalaupun ini yang akan menjadi hak kami, kami
tidak mau
sebagian-scbagian."
Pertemuan di rumah Fatimah
putri Rasulullah
Dalam sebuah
sumber yang discbutkan oleh Ya'qubi, juga penulispenulis
sejarah yang
lain menyebutkan, dan masih cukup terkenal,
bahwa ada
kelompok Muhajirin dan Ansar yang mengadakan pertemuan
dengan Ali bin
Abi Talib di rumah Fatimah putri Rasulullah dengan
maksud hendak
membaiat Ali. Di antara mereka itu Khalid bin Sa'id
yang mengatakan:
"Sungguh, tak ada orang yang lebih patut menempati
kedudukan
Muhammad selain engkau."
Pertemuan di
rumah Fatimah itu sampai juga beritanya kepada Abu
Bakr dan Umar,
dan kedua orang ini bersama-sama dengan yang lain
datang dan
menyerbu rumah itu. Ketika Ali keluar membawa pedang,
yang disambut
oleh Umar, maka terjadi pertarungan. Pedang Ali dipatahkan dan mereka menyerbu
masuk kc dalam rumah. Saat itu Fatimah keluar dengan mengatakan: "Keluarlah
kalau tidak rambutku akan kuperlihatkan dan aku akan berseru kepada Allah."
Mereka keluar, juga orang-orang yang berada dalam rumah itu. Keadaan demikian
berjalan selama beberapa hari. Kemudian satu demi satu mereka memberikan ikrar
— kecuali Ali yang baru membaiat setelah Fatimah wafat, yakni sesudah cnam
bulan. Sumber lain mcnyebutkan bahwa ia membaiat sesudah empat puluh hari.
Discbutkan lagi bahwa Umar bin Khattab telah menimbun kayu di sekeliling rumah
Fatimah dengan maksud hendak membakar rumah itu atau Ali harus membaiat Abu
Bakr. ! 'Ajja, mengucapkan talbiah dengan suara keras (N). — Pnj.
Sebab-sebabnya Ali terlambat
membaiat
Tetapi
sumber-sumber yang terkenal dan lebih umum mengenai tidak hadirnya atau
terlambatnya Ali dan Banu Hasyim itu ialah seperti yang diuraikan oleh Ibn
Qutaibah dalam al-Imamah was-Siyasah dan sumber-sumber serupa, baik yang
sezaman atau yang datang kemudian, yakni selesai memberikan ikrar kepada Abu
Bakr Umar dan rombongan berangkat menemui Banu Hasyim. Mereka diminta agar juga
dating memberikan ikrar seperti yang lain. Ketika itu Banu Hasyim di rumah Ali.
Baik Ali maupun yang lain menolak ajakan Umar itu. Malah Zubair bin al-Awwam
dan sahabat-sahabatnya keluar menemui Umar dengan membawa pedang. Kepada
sahabat-sahabatnya Umar berkata, "Awas orang itu dan ambil
pedangnya!" Mereka merampas pedang itu dari tangannya. Kemudian ia pun
pergi dan membaiat. Ketika kepada Ali bin Abi Talib dikatakan: Baiatlah Abu
Bakr, ia menjawab: "Aku tidak akan membaiat, karena dalam hal ini aku
lebih berhak daripada kalian. Kamulah yang lebih pantas membaiat aku. Kamu telah
mengambil kekuasaan itu dari Ansar dengan alasan kalian kerabat Nabi Sallallahu
'alaihi wasallam dan kalian mengambil dari kami ahlulbait secara paksa.
Bukankah kalian mengatakan kepada Ansar bahwa kalian lebih berhak daripada mereka
dalarn hal ini karena Muhammad dari kalian, lalu pimpinan dan kekuasaan
diserahkan kepada kalian! Sekarang aku akan menuntut kepada kalian sebagaimana kalian
menuntut kepada Ansar. Kami lebih berhak terhadap Rasulullah selama masih hidup
dan sesudah mati. Jika kamu beriman berlaku adillah terhadap kami, kalau tidak
berarti dengan sengaja kamu berlaku zalim." "Kau tak akan dibiarkan
sebelum membaiat," kata Umar.
"Dalam
bertindak orang harus berlaku adil. Umar, sungguh aku tidak dapat menerima
kata-katamu itu dan aku tidak akan membaiat," kata Ali bersemangat dan
dengan nada keras. Dikhawatirkan dialog itu akan jadi semakin panas, maka Abu
Bakr segera campur tangan dengan katanya: "Kalau engkau memang tidak mau
membaiat, aku tidak akan memaksamu." Abu Ubaidah segera mendekati Ali
seraya katanya dengan nada lembut: "Sepupuku, engkau masih muda, dan
mereka itu orang tua-tua kita. Tentu dalam bidang ini engkau tidak punya
pengalaman dan pengetahuan
seperti mereka.
Menurut hematku Abu Bakr lebih mampu dari engkau dan lebih dapat mengatasi
segala persoalan. Serahkanlah pimpinan itu kepada Abu Bakr. Jika engkau masih
akan panjang umur, maka engkaulah kelak yang pantas memegang pimpinan ini
semua, mengingat jasamu, ketaatanmu dalam agama, amalmu, pengetahuanmu,
kedinianmu dalam Islam, nasabmu serta hubunganmu sebagai menantu." Di sini
Ali berontak seraya berkata:
"Hebat
sekali kalian ini Muhajirin! Janganlah kalian mencoba mengeluarkan kekuasaan
Muhammad atas orang-orang Arab itu dari keluarganya dan dari dalam rumahnya ke
keluarga dan ke dalam rumah kalian lalu mengenyahkan kedudukan dan hak
keluarganya dari rakyat. Demi Allah, Saudara-saudara Muhajirin, kamilah yang
lebih berhak dari semua orang, karena kami adalah keluarganya, kami ahlulbait.
Dalam pimpinan ini kami lebih berhak dari kalian. Dari kalangan kamilah
yang membaca Qur'an, yang mengetahui hukum-hukum agama, mengenal
benar sunah
Rasulullah, mengikuti perkembangan rakyat serta melindungi mereka dari hal-hal
yang tidak baik. Kami yang mengadakan pemerataan dengan mereka. Dia adalah dari
kami. Janganlah kamu memperturutkan hawa nafsu, kalian akan sesat dari jalan
Allah dan akan lebih jauh menyimpang dari kebenaran." Menurut beberapa
sumber, ketika itu Basyir bin Sa'd juga hadir. Mendengar kata-kata itu ia
berkata: "Ali, kalau kata-katamu itu didengar oleh Ansar sebelum
pengukuhan terhadap Abu Bakr, aku pun tak akan berbeda pendapat dengan
kau." Dengan marah Ali keluar. Ia pergi menemui Fatimah dan keluar rumah
bersama-sama. Dengan dinaikkan di atas binatang beban malam itu Fatimah
berkeliling menemui kelompok-kelompok Ansar meminta dukungan. Mereka itu
berkata: "Putri Rasulullah, baiat kami atas orang itu sudah selesai.
Sekiranya suamimu dan sepupumu itu yang lebih dulu menemui kami sebelum Abu
Bakr, tentu kami tak akan menyamakannya." Jawaban ini menambah kemarahan
Ali dan ia berkata lagi: "Apa aku akan meninggalkan Rasulullah di rumah
tanpa dimakamkan dan keluar memperebutkan kekuasaan?" "Apa yang
dilakukan Abu al-Hasan," sela Fatimah, "memang yang sudah semestinya
dilakukan. Tetapi apa yang mereka lakukan, biarlah Allah nanti yang membuat
perhitungan dan yang menentukan."
Abu Bakr dikukuhkan secara
aklamasi
Demikian inilah
kesan yang masyhur (yang sudah umum) mengenai sikap Ali bin Abi Talib dan
sahabat-sahabatnya sehubungan dengan baiat Abu Bakr itu. Beberapa sejarawan
dengan tegas sekali membantah kesan
yang sudah umum mengenai tertinggalnya Banu
Hasyim dan beberapa kalangan Muhajirin itu. Mereka menyebutkan bahwa sesudah
Saqifah, Abu Bakr dibaiat secara aklamasi tanpa ada yang ketinggalan. Tabari menyebutkan
sebuah sumber lengkap dengan isnadnya, bahwa Sa'd bin Zaid ketika ditanya:
Engkau menyaksikan kematian Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam? Ya,
jawabnya. Ditanya lagi: Kapan Abu Bakr dibaiat? Dijawab: Ketika Rasulullah Sallallahu
'alaihi wasallatn wafat; mereka tidak mau ada yang lowong sehari pun tanpa
berada dalam satu jamaah. Apa ada yang menentang? Tidak, katanya, tak ada,
kecuali mereka yang murtad atau orang-orang Ansar yang nyaris murtad kalau tidak
segera mendapat pertolongan Allah. Ketika ditanya lagi: Apa ada dari Muhajirin
yang tidak ikut? Tidak, katanya. Kaum Muhajirin secara berturut-turut
memberikan baiat tanpa diminta.
Dalam sebuah
sumber disebutkan, bahwa ketika itu Ali bin Abi Talib sedang duduk-duduk di rumahnya
tatkala ada orang datang memberitahukan bahwa Abu Bakr sudah siap hendak
diikrarkan. Karena khawatir akan terlambat Ali keluar cepat-cepat hanya
mengenakan baju kemeja tanpa mantel dan jubah. Kemudian ia pun membaiat.
Sesudah
itu ia duduk dan
menyuruh orang mengambilkan pakaiannya itu lalu dipakainya, dan ia tetap duduk.
Sumber jalan tengah
Ada pula
beberapa sumber mengenai Ali dan ikrarnya itu yang mengambil jalan tengah dari
apa yang kita kemukakan itu. Di antaranya seperti dituturkan, bahwa setelah
selesai pengukuhan itu Abu Bakr naik ke mimbar dan ketika melihat di antara
hadirin Zubair tidak tampak, dipanggilnya. Ketika Zubair datang ia berkata:
"Oh sepupu Rasulullah saw. dan pembantu dekatnya, engkau mau menimbulkan
perpecahan di kalangan Muslimin?" "Tak ada cacat apa-apa ya Khalifah
Rasulullah," katanya, lalu ia bangun dan membaiat Abu Bakr. Kemudian Abu
Bakr melihat kepada hadirin. Ia tidak melihat Ali. Bila Ali datang setelah
dipanggil ia bertanya: "Sepupu Rasulullah Sallallahu 'alaihi
wasallatn dan menantunya, engkau mau menimbulkan perpecahan di kalangan
Muslimin?"
"Tak ada
cela apa-apa ya Khalifah Rasulullah," katanya, lalu ia pun bangun dan
membaiat Abu Bakr.
Pendapat sekitar sikap Banu
Umayyah
Ada juga
beberapa sumber yang mengatakan, bahwa Banu Umayyahlah yang memang ingin
menimbulkan ketegangan antara Banu Hasyim dengan Abu Bakr. Setelah orang datang
berkumpul hendak mengikrarkan Abu Bakr, konon datang pula Abu Sufyan
mengatakan: Sungguh, hanya darah yang akan dapat memadamkan sampah ini. Hai
Keluarga Abdu Manaf mengapa mesti Abu Bakr yang memerintah kamu? Mana kedua
orang yang dihina itu, yang diperlemah, Ali dan Abbas! Tetapi sumber-sumber
yang menyebutkan peristiwa yang dihubungkan kepada Abu Sufyan ini hampir semua
sepakat, bahwa Ali menolak ajakannya itu. Malah ia berkata kepadanya:
"Engkau memang mau membuat fitnah dengan cara itu. Selalu kau mau membawa
Islam ke dalam bencana." Atau katanya juga: "Abu Sufyan, engkau
selalu mau memusuhi Islam dan pemeluknya. Tetapi engkau tak akan berhasil. Aku berpendapat,
Abu Bakr memang pantas untuk itu."
Abbas dan Fatimah menuntut
warisan
Orang-orang yang
menafikan terlambatnya Ali memberikan baiat berpendapat bahwa cerita-cerita
tentang keterlambatan itu dibuat orang kemudian. Bahkan mereka menekankan bahwa
cerita-cerita itu dibuat pada masa kekuasaan Banu Abbas untuk maksud-maksud
politik, dan lebih jauh mereka mengatakan bahwa cerita itu dikaitkan dengan
suatu peristiwa yang sebenarnya memang sudah sama-sama disepakati, namun samasekali
tak ada hubungannya dengan peristiwa baiat itu. Peristiwa itu ialah bahwa
Fatimah putri Rasulullah dan Abbas pamannya menemui Abu Bakr setelah ia menjadi
Khalifah. Mereka menuntut warisan tanah Rasulullah yang di Fadak dan bagian
Abbas di Khaibar. Kepada mereka itu Abu Bakr berkata: "Aku mendengar
Rasulullah berkata: 'Kami, para nabi, tidak mewariskan; apa yang kami
tinggalkan buat sedekah.' Tetapi keluarga Muhammad boleh makan dari harta itu. Demi
Allah, setiap sesuatu yang dikerjakan oleh Rasulullah pasti akan
kukerjakan." Fatimah marah karenanya. Ia menjauhi Abu Bakr dan tidak
mengajaknya bicara sampai ia wafat. Oleh Ali ia dikebumikan malam hari dan Abu
Bakr tidak diberi tahu. Fatimah masih hidup enam bulan lagi setelah ayahanda
wafat. Karena kemarahan Fatimah itu Ali juga marah kepada Abu Bakr. Sesudah
Fatimah wafat ia cenderung berbaik kembali dan Abu Bakr pun menerimanya. Demikianlah
cerita mengenai Fatimah dan Ali serta pemboikotannya terhadap Abu Bakr setelah
pengukuhannya itu. Sebaliknya apa yang ditambahkan orang dalam cerita ini,
bahwa Ali menolak dan baru membaiat setelah Fatimah wafat dan bahwa Abu Bakr
menemui Ali di rumahnya dan dijumpainya ia di rumah Banu Hasyim, dan bahwa
ketika itu AH berdiri seraya berkata: Kami tidak berkeberatan mengukuhkan engkau,
hanya saja dalam hal ini kami berpendapat bahwa kamilah yang berhak tetapi
kalian memperkosa hak-hak kami, dan bahwa Abu Bakr menyebutkan dalam jawabannya:
"Demi Allah, aku menahan harta ini hanya untuk kebaikan kita
bersama." Semua tambahan ini membantah tertundanya AH memberikan baiat
karena peristiwa itu tak ada hubungannya dengan soal harta peninggalan, dan
bahwa Fatimah dan Abbas tidak pula menuntut kepada Abu Bakr sebelum semua kaum Muslimin
memberikan ikrar kepadanya, sebab sebelum itu ia pun tidak memberikan pendapat
mengenai hal itu. Sebagian besar mereka yang menolak cerita tertundanya
pemberian ikrar itu menegaskan bahwa cerita-cerita demikian dibuat-buat orang pada
masa kekuasaan Abbasi untuk maksud politik. Yang lain menegaskan
bahwa cerita itu
sudah dibuat orang sebelumnya, yaitu setelah timbul pertentangan antara Banu Hasyim
dengan Banu Umayyah selama pecah perang antara Ali dengan Muawiyah. Mereka
mengatakan bahwa terjadinya perluasan Islam ke Irak dan Persia menyebabkan
sekelompok orang-orang Persia mengarang-ngarang cerita semacam itu. Setelah
pihak Banu Umayyah mendapat kemenangan perhatian kelompok itu dicurahkan untuk memberi
kesempatan kepada Abu Muslim al-Khurasani bersiap-siap, dan orang inilah yang
telah berhasil membuat sejarah lahirnya dinasti Banu Abbas.
Alasan mereka yang berpendapat
tentang tertundanya baiat
Sebaliknya
mereka yang mengatakan bahwa tertundanya Ali dan Banu Hasyim memberikan ikrar
sampai empat puluh hari atau sampai enam bulan — dan pendapat ini yang masyhur sebagaimana
sudah dikemukakan — mereka berpegang pada sumber-sumber di atas, dan disebutkan
bahwa Ali dan orang-orang yang tak hadir itu tidak ikut dalam pasukan Usamah;
padahal Ali dalam pertempuran di berbagai peperangan bersamasama dengan Nabi,
keberanian dan ketangkasannya sudah cukup terkenal. Juga kedua sikap demikian
ini dalam segala perjuangan hidupnya sesudah itu, cukup pula terkenal. Mereka ini
menolak pendapat orang yang tidak mengakui keterlambatan dalam baiat itu karena
alasan kaum Muhajirin kepada Ansar mengenai kekuasaan bahwa pertalian mereka
lebih dekat kepada Nabi, bahwa orang-orang Arab itu hanya mengenai Kuraisy karena
mereka adalah penjaga-penjaga Ka'bah dan bahwa perhatian orang semua di
Semenanjung itu pun hanya ditujukan kepada mereka. Inilah alasan satu-satunya
yang menjadi pegangan Banu Hasyim untuk tampil ke depan sebagai pengganti
Rasulullah. Tidak heran bila mana ini yang menjadi pegangan mereka dan membuat
mereka tidak hadir waktu pengukuhan (baiat) Abu Bakr itu. Itulah yang telah
dilakukan oleh Ali dan itu pula alasannya dan alasan sahabat-sahabatnya. Kalaupun
mereka kemudian mau juga membaiat, hanya karena mereka tidak menginginkan
timbulnya fitnah yang akibatnya akan merusak persatuan kaum Muslimin. Terutama
setelah kemudian timbul gejala-gejala kemurtadan di kalangan orang-orang Arab
pinggiran, dan setelah mereka membangkang terhadap kekuasaan Medinah dengan
akibat hampir-hampir mengancam penyebaran Islam yang dibawa Muhammad sebagai
wahyu Allah itu.
Tak ada yang menentang Abu
Bakr sebagai Khalifah
Lepas dari soal
perbedaan pendapat di kalangan para ahli sejarah itu mengenai baiat serta ikut
sertanya Keluarga Hasyim dan pihak Muhajirin yang lain atau tidak ikut sertanya
sebagian mereka, yang sudah disepakati tanpa ada perbedaan pendapat ialah,
bahwa sepeninggal Rasululiah, sejak hari pertama yang harus memegang pimpinan adalah
Abu Bakr. Dari mereka yang tertunda memberikan baiat itu tak ada yang
mengatakan bahwa dari kalangan Banu Hasyim atau yang lain mencoba mengadakan
perlawanan senjata atau berusaha menggugatgugat Khalifah yang pertama itu. Adakah
itu karena kedudukan Abu Bakr di mata Rasululiah, yang sampai mengatakan:
'Kalau ada dari
hamba Allah yang
akan kuambil sebagai khalll, maka Abu Bakr-lah khalil-ku.' Atau
karena dia diminta menemani Rasululiah dalam hijrah serta jasa-jasanya yang
begitu besar di samping kesiapannya selalu membela Rasululiah dalam pelbagai kesempatan?
Ataukah juga karena Rasululiah memintanya mewakiliiya dalam salat selama dalam
sakitnya yang terakhir? Apa pun alasan yang menyebabkan kaum Muslimin
memberikan ikrar kepada Abu Bakr sebagai Khalifah setelah Rasululiah berpulang,
yang jelas tak seorang pun ada yang menentangnya, juga tak ada yang bergabung
kepada mereka yang belum ikut membaiat. Ini merupakan suatu bukti, bahwa
pandangan Muslimin yang mula-mula itu tentang kekhalifahan tidak sama dengan
pandangan mereka yang datang kemudian, yakni sejak masa kedaulatan dinasti
Umayyah. Pandangan mereka lebih dekat dengan nilai-nilai orang Arab asli di
sekitar mereka, dan yang memang sudah cukup dikenal di seluruh Semenanjung itu
sejak sebelum kerasulan Nabi 'alaihis-salam. Sesudah kawasan Islam
bertambah luas dan masyarakat Arab bergaul dengan bangsa-bangsa lain yang
mereka datangi, gambaran masyarakat Muslimin tentang konsep kekhalifahan itu
juga ikut berubah, sesuai dengan pengaruh pergaulan dan luasnya kawasan
pemerintahan Islam.
Kekhalifahan pada masa-masa
kekuasaan Arab
Kaum Muslimin
berpikir tentang kekhalifahan itu menurut pandangan Arab murni. Kebetulan pula
Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam tidak mewasiatkan kekhalifahan
itu kepada siapa pun. Perselisihan yang terjadi antara kaum Ansar dengan Muhajirin
di Saqifah Banu Sa'idah ketika Rasulullah wafat, serta perselisihan yang
agaknya juga terjadi antara Banu Hasyim dengan Muhajirin yang lain sesudah
baiat umum, tak ada alasan untuk meragukan, bahwa sebenarnya penduduk Medinah sudah
cukup bersungguh-sungguh dalam memikirkan pemilihan Khalifah pertama itu, dan
dasarnya memang tak terdapat, baik dalam Qur'an maupun dalam Sunah. Maka mereka
waktu itu memilih penduduk yang tinggal di Medinah yang di kalangan Muslimin
dipandang lebih tepat untuk memegang pimpinan. Andaikata masalah ini sampai
melampaui batas ke luar Medinah, sampai kepada suku-suku Arab di luar kota Medinah
tentu soalnya akan jadi lain. Dan pengukuhan Abu Bakr itu adalah suatu hal
tiba-tiba yang menguntungkan — memakai kata-kata Umar bin Khattab. Tradisi yang
dipakai dalam memilih Abu Bakr bukan itu pula yang dipakai dalam memilih kedua
Khalifah sesudah itu — Umar dan Usman. Sebelum meninggal Abu Bakr sudah
berwasiat agar memilih Umar bin Khattab. Kemudian pengganti berikutnya oleh
Umar diserahkan kepada enam orang yang nama-namanya disebutkan,1 agar memilih
seorang di antara sesama mereka. Setelah Usman terbunuh serta timbul
perselisihan sesudah itu antara Ali dengan Muawiyah, pihak Banu Umayyah melanjutkan
kekuasaan itu secara turun-temurun dengan warisan yang diterima anak dari
bapak. Kalau demikian sumber peristiwa itu tak ada alasan untuk mengatakan,
bahwa dalam menjalankan kekuasaan, dalam Islam sudah ada suatu sistem yang
baku. Tetapi yang ada ialah ijtihad yang didasarkan kepada peristiwa-peristiwa
yang terjadi dalam masyarakat Islam yang berubah-ubah dan didasarkan pada aneka
macam bentuk sesuai dengan perubahan situasi.
Sistem pemerintahan dalam
Islam
Sistem yang
dijalankan oleh Abu Bakr dalam hal ini menurut pola Arab yang murni-.
Hubungannya dengan masa Nabi yang masih dekat, serta hubungan Abu Bakr sendiri
secara pribadi dengan Rasulullah dan pengaruhnya dalam dirinya seperti yang
sudah kita gambarkan di atas, memberi bekas padanya yang kemudian mengalami
perubahan karena situasi dan meluasnya kawasan Islam. Perubahan dalam sistem
pemerintahan ini berlangsung mengikuti perkembangan lingkungan yang ada, sehingga
dengan demikian, sedikit pun tak terdapat persamaan antara masa kekuasaan
Abbasi dalam puncak kejayaannya dengan masa Khalifah pertama Abu Bakr, juga
antara masa Abu Bakr dengan masa-masa Umar, Usman dan Ali. Masa Abu Bakr dapat
dikatakan masa yang sungguh unik. Masa itu adalah masa transisi yang wajar saja
dengan masa Rasulullah, baik dalam politik agama maupun dalam politik sekuler.
Memang benar, ketika itu agama sudah sempurna, dan tak ada lagi orang dapat
mengubahubah atau menukar-nukar apa yang sudah ada dalam agama itu. Tetapi begitu
Nabi wafat, orang-orang Arab pinggiran mulai berpikir-pikir mau jadi murtad,
atau memang sudah banyak kabilah yang murtad. Maka tak ada jalan Abu Bakr harus
bertindak menentukan langkah demi mengatasi keadaan yang sangat genting itu.
Langkah itu sudah dimulai oleh Nabi sendiri ketika mengadakan hubungan dengan
negara-negara tetangga dalam menjalankan politik dakwahnya itu. Jadi tak ada
jalan lain buat Abu Bakr daripada harus meneruskan langkah itu. Bagaimana ia
bertindak dalam menghadapi semua itu? Itulah yang akan kita uraikan berikut
ini. Sementara penduduk Medinah berselisih pendapat tetapi kemudian sepakat
dalam memberikan ikrar kepada Abu Bakr, berita kematian Nabi dengan cepat
sekali menyebar dibawa orang kepada kabilahkabilah. Tak ada suatu berita di
kawasan Arab yang begitu cepat tersebar seperti berita ketika Rasulullah wafat.
Begitu berita itu sampai kepada mereka, dari segenap penjuru mereka sudah
memasang telinga dengan penuh perhatian. Mereka ingin melepaskan diri dari
kekuasaan Medinah dan kembali kepada keadaan sebelum datangnya kerasulan Muhammad
dan tersebarnya Islam ke tengah-tengah mereka. Oleh karena itu orang-orang Arab
pada setiap kabilah jadi murtad, dan timbul pula sifat-sifat munafik. Dalam
pada itu, orang-orang Yahudi dan Nasrani pun sudah pula mengintai. Lawan Islam
jadi semakin banyak. Dengan tak adanya Nabi, mereka sudah seperti sekumpulan
kambing pada malam musim hujan.
Perbedaan pendapat Muhajirin
dengan Ansar di Medinah
Kita sudah
melihat betapa perselisihan itu timbul di Medinah antara kaum Muhajirin dengan
kaum Ansar mengenai penggantian Rasulullah. Kalau tidak karena tindakan Abu
Bakr dan Umar yang sangat bijaksana, serta kehendak Allah memberikan pertolongan,
perselisihan demikian itu tidak akan dapat diselesaikan dan berakhir dengan
memuaskan.
Penduduk Mekah bersiap-siap
murtad
Apa yang telah
terjadi di Medinah sebenarnya tidak seberapa dibandingkan dengan
kejadian-kejadian di tempat-tempat lain. Penduduk Mekah sendiri malah sudah
bersiap-siap mau murtad meninggalkan Islam. Attab bin Asid, kuasa Rasulullah di
Mekah sampai merasa khawatir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar