ABU BAKR PADA MASA NABI
ABU BAKR
AS-SIDDIQ dan rifadah, untuk Banu Abdid-Dar, liwa', hijabah dan nadwah,
yang sudah berjalan sejak sebelum Hasyim kakek Nabi lahir. Sedang pimpinan tentara
di pegang oleh Banu Makhzum, nenek moyang Khalid bin Walid, dan Banu Taim bin
Murrah menyusun masalah diat (tebusan darah) dan segala macam ganti rugi. Pada
zaman jahiliah masalah penebusan darah ini di tangan Abu Bakr tatkala posisinya
cukup kuat, dan dia juga yang memegang pimpinan kabilahnya. Oleh karena itu
bila ia harus menanggung sesuatu tebusan dan ia meminta bantuan Kuraisy, mereka
pun percaya dan mau memberikan tebusan itu, yang tak akan dipenuhi sekiranya
orang lain yang memintanya. Banyak buku yang ditulis orang kemudian
menceritakan adanya pujian ketika menyinggung Banu Taim ini serta kedudukannya
di tengahtengah kabilah-kabilah Arab. Diceritakan bahwa ketika Munzir bin Ma'as-Sama'
menuntut Imru'ul-Qais bin Hujr al-Kindi, ia mendapat perlindungan Mu'alla
at-Taimi (dari Banu Taim), sehingga dalam hal ini penyair Imru'ul-Qais berkata:
Imru'ul-Qais bin Hujr Telah didudukkan oleh Banu Taim,
"Masabihuz-Zalami" Karena bait tersebut, Banu Taim dijuluki "Masabihuz-Zalami"
(pelita- pelita di waktu gelap). Tetapi sumber-sumber yang beraneka ragam yang
melukiskan sifatsifat Banu Taim itu tidak berbeda dengan yang biasa dilukiskan
untuk kabilah-kabilah lain. Juga tidak ada suatu ciri khas yang bisa dibedakan dan
dapat digunakan oleh penulis sejarah atau menunjukkan suatu sifat tertentu
kepada kabilah mana ia dapat digolongkan. Sumber-sumber itu melukiskan Banu
Taim dengan sifat-sifat terpuji: pemberani, pemurah, kesatria, suka menolong
dan melindungi tetangga dan sebagainya yang biasa dipunyai oleh kabilah-kabilah
Arab yang hidup dalam iklim jazirah Arab.
Nama dan julukannya
Para penulis
biografi Abu Bakr itu tidak terbatas hanya pada kabilahnya saja seperti yang
sudah saya sebutkan, tetapi mereka memulai juga dengan menyebut namanya dan
nama kedua orangtuanya. Lalu melangkah ke masa anak-anak, masa muda dan masa
remaja, sampai pada apa yang dikerjakannya. Disebutkan bahwa namanya Abdullah
bin Abi Quhafah, dan Abu Quhafah ini pun nama sebenarnya Usman bin Amir, dan
ibunya, Ummul-Khair, sebenarnya bernama Salma bint Sakhr bin Amir. Disebutkan
juga, bahwa sebelum Islam ia bernama Abdul
Ka'bah. Setelah
masuk Islam oleh Rasulullah ia dipanggil Abdullah. Ada juga yang mengatakan
bahwa tadinya ia bernama Atiq, karena dari pihak ibunya tak pernah ada anak laki-laki
yang hidup. Lalu ibunya bernazar jika ia melahirkan anak laki-laki akan diberi
nama Abdul Ka'bah dan akan disedekahkan kepada Ka'bah. Sesudah Abu Bakr
hidup dan
menjadi besar, ia diberi nama Atiq, seolah ia telah dibebaskan dari maut. Tetapi
sumber-sumber itu lebih jauh menyebutkan bahwa Atiq itu bukan namanya,
melainkan suatu julukan karena warna kulitnya yang putih. Sumber yang lain lagi
malah menyebutkan, bahwa ketika Aisyah putrinya ditanyai: mengapa Abu Bakr
diberi nama Atiq ia menjawab: Rasulullah memandang kepadanya lalu katanya: Ini
yang dibebaskan Allah dari neraka; atau karena suatu hari Abu Bakr datang
bersama sahabat-sahabatnya lalu Rasulullah berkata: Barang siapa ingin melihat
orang yang dibebaskan
dari neraka lihatlah ini. Mengenai gelar Abu Bakr yang dibawanya dalam hidup
sehari-hari
sumber-sumber
itu tidak menyebutkan alasannya, meskipun penulis-penulis kemudian ada yang
menyimpulkan bahwa dijuluki begitu karena ia orang paling dini2 dalam
Islam dibanding dengan yang lain.
Masa mudanya
Semasa kecil Abu
Bakr hidup seperti umumnya anak-anak di Mekah. Lepas masa anak-anak ke masa
usia remaja ia bekerja sebagai pedagang pakaian. Usahanya ini mendapat sukses.
Dalam usia muda itu ia kawin dengan Qutailah bint Abdul Uzza. Dari perkawinan
ini lahir Abdullah dan Asma'. Asma' inilah yang kemudian dijuluki Zatun-Nitaqain.
Sesudah dengan Qutailah ia kawin lagi dengan Umm Rauman bint Amir bin Uwaimir.
Dari perkawinan ini lahir pula Abdur-Rahman dan Aisyah. Kemudian di Medinah ia
kawin dengan Habibah bint Kharijah, setelah itu dengan Asma' bint Umais yang
melahirkan Muhammad. Sementara itu usaha dagangnya berkembang pesat dan dengan
sendirinya ia memperoleh laba yang cukup besar.
Perawakan dan perangainya
Keberhasilannya
dalam perdagangan itu mungkin saja disebabkan oleh pribadi dan wataknya.
Berperawakan kurus, putih, Mungkin juga dinisbahkan pada nama Ka'bah yang lain,
yakni al-Baitul-'Atiq atau "Rumah Purba". Kata 'Atiq berarti
juga "yang dibebaskan". —Pnj. Bakr berarti dini (A). —
Pnj.
sang bahu yang
kecil dan muka lancip dengan mata yang cekung disertai dahi yang agak menonjol
dan urat-urat tangan yang tampak jelas — begitulah dilukiskan oleh putrinya,
Aisyah Ummulmukminin. Begitu damai , sangat lemah lembut dan sikapnya tenang sekali.
Tak mudah ia terdorong oleh hawa nafsu. Dibawa oleh sikapnya yang selalu
tenang, pandangannya yang jernih serta pikiran yang tajam, banyak kepercayaan
dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang tidak diikutinya. Aisyah menyebutkan bahwa
ia tak pernah minum minuman keras, di zaman jahiliah atau Islam, meskipun
penduduk Mekah umumnya sudah begitu hanyut ke dalam khamar dan mabuk-mabukan.
Ia seorang genealogi — ahli silsilah — bicaranya sedap dan pandai bergaul. Seperti
dilukiskan oleh Ibn Hisyam, penulis kitab Sirah: "Abu Bakr adalah
laki-laki yang akrab di kalangan masyarakatnya, disukai karena ia serba mudah.
Ia dari keluarga Kuraisy yang paling dekat dan paling banyak mengetahui seluk-beluk
kabilah itu, yang baik dan yang jahat. Ia seorang pedagang dengan perangai yang
sudah cukup terkenal. Karena suatu masalah, pemuka-pemuka masyarakatnya sering
datang menemuinya, mungkin karena pengetahuannya, karena perdagangannya atau
mungkin juga karena cara bergaulnya yang enak." Kecintaannya pada Mekah
dan hubungannya dengan Muhammad Ia tinggal di Mekah, di kampung yang sama
dengan Khadijah bint Khuwailid, tempat saudagar-saudagar terkemuka yang membawa
perdagangan dalam perjalanan musim dingin dan musim panas ke Syam dan ke Yaman.
Karena bertempat tinggal di kampung itu, itulah yang membuat hubungannya dengan
Muhammad begitu akrab setelah Muhammad kawin dengan Khadijah dan kemudian
tinggal serumah. Hanya dua tahun beberapa bulan saja Abu Bakr lebih muda dari
Muhammad. Besar sekali kemungkinannya, usia yang tidak berjauhan itu, persamaan
bidang usaha serta ketenangan jiwa dan perangainya, di samping
ketidaksenangannya pada kebiasaan-kebiasaan Kuraisy — dalam kepercayaan dan
adat — mungkin sekali itulah semua yang berpengaruh dalam persahabatan Muhammad
dengan Abu Bakr. Beberapa sumber berbeda pendapat, sampai berapa jauh eratnya
persahabatan itu sebelum Muhammad menjadi Rasul. Di antara mereka ada yang
menyebutkan bahwa persahabatan itu sudah begitu akrab sejak sebelum kerasulan, dan
bahwa keakraban itu pula yang membuat Abu Bakr cepat-cepat
menerima Islam. Meliputi
Suria, Ubanon, Palestina dan Yordan sekarang. — Pnj.
Ada pula yang
lain menyebutkan, bahwa akrabnya hubungan itu baru kemudian dan bahwa keakraban
pertama itu tidak lebih hanya karena bertetangga dan adanya kecenderungan yang
sama. Mereka yang mendukung pendapat ini barangkali karena kecenderungan
Muhammad yang suka menyendiri dan selama bertahun-tahun sebelum kerasulannya menjauhi
orang banyak. Setelah Allah mengangkatnya sebagai Rasul teringat ia pada Abu
Bakr dan kecerdasan otaknya. Lalu diajaknya ia bicara dan diajaknya menganut
ajaran tauhid. Tanpa ragu Abu Bakr pun menerima ajakan itu. Sejak itu
terjadilah hubungan yang lebih akrab antara kedua orang itu. Kemudian keimanan
Abu Bakr makin mendalam dan kepercayaannya kepada Muhammad dan risalahnya pun bertambah
kuat. Seperti dikatakan oleh Aisyah: "Yang kuketahui kedua orangtuaku
sudah memeluk agama ini, dan setiap kali lewat di depan
rumah kami,
Rasulullah selalu singgah ke tempat kami, pagi atau sore." Menerima
dakwah tanpa ragu dan sebabnya Sejak hari pertama Abu Bakr sudah
bersama-sama dengan Muhammad melakukan dakwah demi agama Allah. Keakraban
masyarakatnya dengan dia, kesenangannya bergaul dan mendengarkan
pembicaraannya, besar pengaruhnya terhadap Muslimin yang mula-mula itu dalam
masuk Islam itu. Yang mengikuti jejak Abu Bakr menerima Islam ialah Usman bin
Affan, Abdur-Rahman bin Auf, Talhah bin Ubaidillah, Sa'd bin Abi Waqqas dan
Zubair bin Awwam. Sesudah mereka yang kemudian menyusul masuk Islam — atas
ajakan Abu Bakr — ialah Abu
Ubaidah bin
larrah dan banyak lagi yang lain dari penduduk Mekah. Adakalanya orang akan
merasa heran betapa Abu Bakr. Tidak merasa ragu menerima Islam ketika pertama
kali disampaikan Muhammad kepadanya itu. Dan karena menerimanya tanpa ragu itu
kemudian Rasulullah berkata:
"Tak
seorang pun yang pernah kuajak memeluk Islam yang tidak tersendat-sendat dengan
begitu berhati-hati dan ragu, kecuali Abu Bakr Abi Quhafah. la tidak menunggu-nunggu
dan tidak ragu ketika kusampaikan kepadanya." Sebenarnya tak perlu heran
tatkala Muhammad menerangkan kepadanya tentang tauhid dan dia diajaknya lalu
menerimanya. Bahkan yang lebih mengherankan lagi bila Muhammad menceritakan
kepadanya mengenai gua Hira dan wahyu yang diterimanya, ia mempercayainya tanpa
ragu. Malah keheranan kita bisa hilang, atau berkurang, bila
kita ketahui
bahwa Abu Bakr adalah salah seorang pemikir Mekah yang memandang penyembahan
berhala itu suatu kebodohan dan kepalsuan belaka. Ia sudah mengenai benar
Muhammad — kejujurannya, kelurusan hatinya serta kejernihan pikirannya. Semua
itu tidak memberi peluang dalam hatinya untuk merasa ragu, apa yang telah
diceritakan kepadanya, dilihatnya dan didengarnya. Apalagi karena apa yang
diceritakan Rasulullah kepadanya itu dilihatnya memang sudah sesuai dengan
pikiran yang sehat. Pikirannya tidak merasa ragu lagi, ia sudah mempercayainya
dan menerima semua itu.
Keberaniannya menerima Islam
dan menyiarkannya
Tetapi apa yang
menghilangkan kekaguman kita tidak mengubah penghargaan kita atas keberaniannya
tampil ke depan umum dalam situasi ketika orang masih serba menunggu, ragu dan
sangat berhati-hati. Keberanian Abu Bakr ini patut sekali kita hargai,
mengingat dia pedagang, yang demi perdagangannya diperlukan perhitungan guna
menjaga hubungan baik dengan orang lain serta menghindari konfrontasi dengan mereka,
yang akibatnya berarti menentang pandangan dan kepercayaan mereka. Ini
dikhawatirkan kelak akan berpengaruh buruk terhadap hubungan dengan para relasi
itu. Berapa banyak orang yang memang tidak percaya pada pandangan itu dan
dianggapnya suatu kepalsuan, suatu cakap kosong yang tak mengandung arti
apa-apa, lalu dengan sembunyi-sembunyi atau berpura-pura berlaku sebaliknya
hanya untuk mencari selamat, mencari keuntungan di balik semua itu, menjaga
hubungan dagangnya dengan mereka. Sikap munafik begini kita jumpai bukan di
kalangan awamnya, tapi di kalangan tertentu dan kalangan terpelajarnya juga.
Bahkan akan kita jumpai di kalangan mereka yang menamakan diri pemimpin dan
katanya hendak membela kebenaran. Kedudukan Abu Bakr yang sejak semula sudah
dikatakan oleh
Rasulullah itu, patut sekali ia mendapat penghargaan, patut dikagumi.
Usaha Abu Bakr melakukan
dakwah Islam itulah yang patut dikagumi. Barangkali ada juga orang yang
berpandangan semacam dia, merasa sudah cukup puas dengan mempercayainya secara
diam-diam
dan tak perlu
berterang-terang di depan umum agar perdagangannya selamat, berjalan lancar.
Dan barangkali Muhammad pun merasa cukup puas dengan sikap demikian itu dan
sudah boleh dipuji. Tetapi Abu Bakr dengan menyatakan terang-terangan keislamannya
itu, lalu mengajak orang kepada ajaran Allah dan Rasulullah dan meneruskan
dakwahnya untuk meyakinkan kaum Muslimin yang mula-mula untuk mempercayai Muhammad
dan mengikuti ajaran agamanya, inilah yang belum pernah dilakukan orang;
kecuali mereka yang sudah begitu tinggi
jiwanya, yang
sudah sampai pada tingkat membela kebenaran demi kebenaran. Orang demikian ini
sudah berada di atas kepentingan hidup pribadinya sehari hari. Kita lihat,
dalam membela agama, dalam berdakwah untuk agama, segala kebesaran dan
kemewahan hidup duniawinya dianggapnya kecil belaka. Demikianlah keadaan Abu Bakr
dalam persahabatannya dengan Muhammad, sejak ia memeluk Islam, hingga
Rasulullah berpulang ke
sisi Allah dan
Abu Bakr pun kemudian kembali ke sisi-Nya.
Abu Bakr orang pertama yang
memperkuat agama
Teringat saya
tatkala Hamzah bin Abdul Muttalib dan Umar bin Khattab masuk Islam, betapa
besar pengaruh mereka itu dalam memperkuat Islam, dan bagaimana pula Allah
memperkuat Islam dengan kedua mereka itu. Keduanya terkenal garang dan
berpendirian teguh, kuat, ditakuti oleh lawan. Juga saya ingat, betapa Abu Bakr
ketika ia masuk Islam. Tidak ragu kalau saya mengatakan, bahwa dialah orang pertama
yang ditempatkan Allah untuk memperkuat agama-Nya. Orang yang begitu damai
jiwanya, tenang, sangat lemah lembut dan perkasa.
Matanya mudah
berlinang begitu melihat kesedihan menimpa orang lain. Ternyata orang ini
menyimpan iman yang begitu kuat terhadap agama baru ini, terhadap Rasul utusan
Allah. Ternyata ia tak dapat ditaklukkan. Adakah suatu kekuatan di dunia ini
yang dapat melebihi kekuatan iman! Adakah suatu kemampuan seperti kemampuan
iman dalam hidup ini! Orang yang mengira, bahwa kekuatan despotisma dan
kekuasaan punya pengaruh besar di dunia ini, ia sudah terjerumus ke dalam
jurang kesalahan. Jiwa yang begitu damai, begitu yakin dengan keimanannyaakan
kebenaran, yang mengajak orang berdakwah dengan cara yang bijaksana dan nasihat
yang baik, dengan cara yang lemah lembut, yangbersumber dari akhlak yang mulia
dan perangai yang lembut, bergauldengan orang-orang lemah, orang-orang papa dan
kaum duafa, yangdalam penderitaannya sebagai salah satu sarana dakwahnya — jiwa
inilah
yang sepantasnya
mencapai sasaran sebagaimana dikehendaki, karena ia mudah diacu dan keluar
sesuai dengan pola yang ada padanya. Itulah jejak Abu Bakr r.a. pada tahun-tahun
pertama dakwah Islam, dan terus berjalan sampai pada waktu ia memangku jabatan
selaku Khalifah, dan berlangsung terus sampai akhir hayatnya.
Melindungi golongan lemah
dengan hartanya
Dalam
menjalankan dakwah itu tidak hanya berbicara saja dengan kawan-kawannya dan
meyakinkan mereka, dan dalam menghibur kaum duafa dan orang-orang miskin yang
disiksa dan dianiaya oleh musuhmusuh dakwah, tidak hanya dengan kedamaian
jiwanya, dengan sifatnya yang lemah lembut, tetapi ia menyantuni mereka dengan
hartanya. Digunakannya hartanya itu untuk membela golongan lemah dan orangorang
tak punya, yang telah mendapat petunjuk Allah ke jalan yang benar, tetapi lalu
dianiaya oleh musuh-musuh kebenaran itu. Sudah cukup diketahui, bahwa ketika ia
masuk Islam, hartanya tak kurang dari empat puluh ribu dirham yang disimpannya
dari hasil perdagangan. Dan selama dalam Islam ia terus berdagang dan mendapat laba
yang cukup besar. Tetapi setelah hijrah ke Medinah sepuluh tahun kemudian,
hartanya itu hanya tinggal lima ribu dirham. Sedang semua harta yang ada
padanya dan yang disimpannya, kemudian habis untuk kepentingan dakwah, mengajak
orang ke jalan Allah dan demi agama dan Rasul-Nya. Kekayaannya itu digunakan
untuk menebus orang-orang lemah dan budak-budak yang masuk Islam, yang oleh
majikannya disiksa dengan pelbagai cara, tak lain hanya karena mereka masuk
Islam.
Suatu hari Abu
Bakr melihat Bilal yang negro itu oleh tuannya dicampakkan ke ladang yang
sedang membara oleh panas matahari, dengan menindihkan batu di dadanya lalu dibiarkannya
agar ia mati dengan begitu, karena ia masuk Islam. Dalam keadaan semacam itu
tidak lebih Bilal hanya mengulang-ulang kata-kata: Ahad, Ahad. Ketika itulah ia
dibeli oleh Abu
Bakr kemudian dibebaskan! Begitu juga Amir bin Fuhairah oleh Abu Bakr ditebus dan ditugaskan
menggembalakan kambingnya. Tidak sedikit budak-budak itu yang disiksa,
laki-laki dan perempuan, oleh Abu Bakr dibeli lalu dibebaskan.
Peranan sebagai semenda Nabi
Tetapi Abu Bakr
sendiri pun tidak bebas dari gangguan Kuraisy. Sama halnya dengan Muhammad
sendiri yang juga tidak lepas dari gangguan itu dengan kedudukannya yang sudah
demikian rupa di kalangan kaumnya serta perlindungan Banu Hasyim kepadanya.
Setiap Abu Bakr melihat Muhammad diganggu oleh Kuraisy ia selalu siap
membelanya dan mempertaruhkan nyawanya untuk melindunginya. Ibn Hisyam
menceritakan, bahwa perlakuan yang paling jahat dilakukan Kuraisy terhadap Rasulullah
ialah setelah agama dan dewa-dewa mereka dicela. Suatu hari mereka berkumpul di
Hijr, dan satu sama lain mereka berkata: "Kalian mengatakan apa yang didengarnya
dari kalian dan apa yang kalian dengar tentang dia. Dia memperlihatkan kepadamu
apa yang tak kamu sukai lalu kamu tinggalkan dia." Sementara mereka dalam
keadaan serupa itu tiba-tiba datang Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam. Sekaligus
ia diserbu bersama-sama oleh mereka dan mengepungnya seraya berkata: Engkau
yang berkata
begini dan
begini? Maksudnya yang mencela berhala-berhala dan kepercayaan mereka. Maka
Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam pun menjawab: Ya, memang aku yang
mengatakan. Salah seorang di antara mereka langsung menarik bajunya. Abu Bakr
sambil menangis menghalanginya seraya katanya: Kamu mau membunuh orang yang
mengatakan hanya Allah Tuhanku! Mereka kemudian bubar. Itulah yang kita lihat
perbuatan Kuraisy yang luar biasa kepadanya. Tetapi peristiwa ini belum
seberapa dibandingkan dengan peristiwaperistiwa lain yang benar-benar memperlihatkan
keteguhan iman Abu Bakr kepada Muhammad dan risalahnya itu. Sedikit pun tak
pernah goyah. Dan iman itu jugalah yang membuat tidak sedikit kalangan Orientalis
tidak jadi melemparkan tuduhan kepada Nabi, seperti yang biasa dilakukan oleh
mereka yang suka berlebih-lebihan. Dengan ketenangan dan kedamaian hatinya yang
demikian rupa, keimanan Abu Bakr tidak akan sedemikian tinggi, kalau ia tidak melihat
segala perbuatan Rasulullah yang memang jauh dari segala yang meragukan, terutama
pada waktu Rasulullah sedang menjadi sasaran penindasan masyarakatnya. Iman
yang mengisi jiwa Abu Bakr ini jugalah yang telah mempertahankan Islam,
sementara yang lain banyak yang meninggalkannya tatkala Rasulullah berbicara
kepada mereka mengenai peristiwa Isra. Sikapnya mengenai kisah Isra Muhammad
berbicara kepada penduduk Mekah bahwa Allah telah memperjalankannya malam hari
dari Masjidilharam ke Masjidilaksa dan bahwa ia bersembahyang di sana. Oleh
orang-orang musyrik kisah itu diperolok, malah ada sebagian yang sudah Islam
pun merasa ragu. Tidak sedikit orang yang berkata ketika itu: Soalnya sudah
jelas. Perjalanan kafilah Mekah-Syam yang terus-menerus pun memakan waktu
sebulan pergi dan sebulan pulang. Mana mungkin hanya satu malam saja Muhammad
pergi pulang ke Mekah! Tidak sedikit mereka yang sudah Islam kemudian berbalik
murtad, dan tidak sedikit pula yang masih merasa sangsi. Mereka pergi menemui Abu
Bakr, karena mereka mengetahui keimanannya dan persahabatannya dengan Muhammad.
Mereka menceritakan apa yang telah dikatakannya kepada mereka itu mengenai Isra.
Terkejut mendengar apa yang mereka katakan itu Abu Bakr berkata: "Kalian
berdusta." "Sungguh," kata mereka. "Dia di mesjid sedang
berbicara dengan orang banyak." "Dan kalaupun itu yang
dikatakannya," kata Abu Bakr lagi, "tentu
ia mengatakan
yang sebenarnya. Dia mengatakan kepadaku, bahwa ada berita dari Tuhan, dari
langit ke bumi, pada waktu malam atau siang, aku percaya. Ini lebih lagi dari
yang kamu herankan." Abu Bakr lalu pergi ke mesjid dan mendengarkan Nabi
yang sedang melukiskan keadaan Baitulmukadas. Abu Bakr sudah pernah mengunjungi
kota itu. Selesai Nabi melukiskan keadaan mesjidnya, Abu Bakr berkata:
"Rasulullah, saya percaya." Sejak itu Muhammad memanggil Abu Bakr
dengan "as-Siddlq".1 Pernahkah suatu kali orang bertanya dalam hati:
Sekiranya Abu Bakr juga sangsi seperti yang lain mengenai apa yang diceritakan
Rasulullah tentang Isra itu, maka apa pula kiranya yang akan terjadi dengan
agama yang baru tumbuh ini, akibat kesangsian itu? Dapatkah orang memperkirakan
berapa banyak jumlah orang yang akan jadi murtad, dan goyahnya keyakinan dalam
hati kaum Muslimin yang lain? Pernahkah kita ingat, betapa jawaban Abu Bakr ini
memperkuat keyakinan orang banyak, dan betapa pula ketika itu ia telah
memperkuat kedudukan Islam? Kalau dalam hati orang sudah bertanya-tanya, sudah
memperkirakan dan sudah pula ingat, niscaya ia tak akan ragu lagi memberikan penilaian,
bahwa iman yang sungguh-sungguh adalah kekuatan yang paling besar dalam hidup
kita ini, lebih besar daripada kekuatan kekuasaan
dan despotisma
sekaligus. Kata-kata Abu Bakr itu sebenarnya merupakan salah satu inayah Ilahi
demi agama yang benar ini. Katakata itulah sebenarnya yang merupakan
pertolongan dan dukungan yang besar, melebihi dukungan yang diberikan oleh
kekuatan Hamzah dan Siddiq, orang yang selalu membenarkan, percaya, yang
menerapkan kata dengan perbuatan, yang kemudian menjadi gelar Abu Bakr (al-Mu'jam
al-Wasit); orang yang mencintai kebenaran, yakni Nabi Ibrahim dan Nabi Idris
(Qur'an, 19. 41, 56). — Pnj. Umar sebelumnya. Ini memang suatu kenyataan
apabila di dalam sejarah Islam Abu Bakr mempunyai tempat tersendiri sehingga
Rasulullah berkata: "Kalau ada di antara hamba Allah yang akan kuambil
sebagai khalil (teman kesayangan), maka Abu Bakr-lah khalil-ku. Tetapi
persahabatan dan persaudaraan ialah dalam iman, sampai tiba saatnya Allah mempertemukan
kita."
Kata-kata Abu
Bakr mengenai Isra itu menunjukkan pemahamannya yang dalam tentang wahyu dan
risalah, yang tidak dapat ditangkap oleh kebanyakan orang. Di sinilah pula
Allah telah memperlihatkan kebijakan- Nya tatkala Rasulullah memilih seorang
teman dekatnya saat ia dipilih oleh Allah menjadi Rasul-Nya untuk menyampaikan
risalah-Nya kepada umat manusia. Itulah pula bukti yang kuat, bahwa kata
yang baik seperti pohon yang baik, akarnya tertanam kukuh dan cabangnya
(menjulang) ke langit, dengan jejak yang abadi sepanjang zaman, dengan
karunia Allah.
Ia tak akan dikalahkan oleh waktu, tak akan dilupakan. Tugasnya sesudah Isra
Sesudah peristiwa Isra itu, sebagai orang yang cukup berpengalaman akan
seluk-beluk perbatasan, Abu Bakr tetap menjalankan usaha dagangnya. Sebagian
besar waktunya ia gunakan menemani Rasulullah dan untuk menjaga orang-orang
lemah yang sudah masuk Islam, melindungi mereka dari gangguan Kuraisy di
samping mengajak mereka yang mulai tergugah hatinya kepada Islam. Sementara
Kuraisy begitu keras mengganggu Nabi dan Abu Bakr serta kaum Muslimin yang
lain, belum terlintas dalam pikiran Abu Bakr akan hijrah ke Abisinia
bersama-sama kaum Muslimin yang lain yang
mau tetap
bertahan dengan agama mereka.1 Malah ia tetap tinggal di Mekah bersama
Muhammad, berjuang mati-matian demi dakwah di jalan Allah sambil belajar
tentang segala yang diwahyukan Allah kepada Nabi untuk disiarkan kepada umat manusia.
Dan dengan segala senang Ada juga sumber yang menyebutkan, bahwa Abu Bakr
bermaksud pergi bersama-sama mereka yang hijrah ke Abisinia; tetapi ia bertemu
dengan Rabiah bin ad-Dugunnah yang berkata kepadanya: "Wah, jangan ikut
hijrah. Engkau penghubung tali kekeluargaan, engkau yang membenarkan peristiwa
Isra, membantu orang tak punya dan engkau yang mengatur pasang surutnya
keadaan." Ia lalu diberi perlindungan keamanan oleh Kuraisy. Abu Bakr
tetap tinggal di Mekah dan di serambi rumahnya ia membangun sebuah mesjid. Di
tempat itu ia sembahyang dan membaca Qur'an. Sekarang Kuraisy merasa khawatir,
perempuan-perempuan
dan pemuda-pemuda mereka akan tergoda. Mereka mengadu kepada Ibn ad-Dugunnah.
Abu Bakr mengembalikan jaminan perlindungan itu dan ia tetap tinggal di Mekah
menghadapi segala gangguan. hati disertai sifatnya yang lemah lembut, semua harta
pribadinya dikorbankannya demi kebaikan mereka yang sudah masuk Islam dan demi mereka
yang diharapkan mendapat petunjuk Allah bagi yang belum masuk Islam. Kaum
Muslimin di Mekah ketika itu memang sangat memerlukan perjuangan serupa itu,
memerlukan sekali perhatian Abu Bakr. Dalam pada itu Muhammad masih menerima
wahyu dari Allah dan ia sudah tidak lagi mengharapkan penduduk Mekah akan
menyambut ajakannya itu. Maka ia mengalihkan perhatian kepada kabilah-kabilah.
Ia menawarkan diri dan mengajak mereka kepada agama Allah. Ia telah pergi ke Ta'if,
meminta pengertian penduduk kota itu. Tetapi ia ditolak dengan cara yang tidak
wajar. Dalam hubungannya dengan Tuhan selalu ia memikirkan
risalahnya itu
dan untuk berdakwah ke arah itu serta caracaranya untuk menyukseskan dakwahnya
itu. Dalam pada itu Kuraisy juga tak pernah tinggal diam dan tak pernah berhenti
mengadakan perlawanan. Di samping semua itu, Abu Bakr juga selalu memikirkan
nasib kaum Muslimin yang tinggal di Mekah, mengatur segala cara untuk ketenteraman
dan keamanan hidup mereka. Usaha mencegah gangguan Kuraisy Kalaupun
buku-buku sejarah dan mereka yang menulis biografi Abu Bakr tidak menyebutkan
usahanya, apa yang disebutkan itu sudah memadai juga. Tetapi sungguhpun begitu
dalam hati saya terbayang jelas segala perhatiannya itu, serta hubungannya yang
terus-menerus dengan Hamzah, dengan Umar, dengan Usman serta dengan
pemukapemuka Muslimin yang lain untuk melindungi golongan lemah yang sudah masuk
Islam dari gangguan Kuraisy. Bahkan saya membayangkan hubungannya dulu dengan
kalangan luar Islam, dengan mereka yang tetap berpegang pada kepercayaan mereka,
tetapi berpendapat bahwa Kuraisy tidak berhak memusuhi orang yang tidak sejalan
dengan kepercayaan mereka dalam menyembah berhala-berhala itu. Dalam sejarah
hidup Rasulullah kita sudah melihat, di antara mereka banyak juga yang membela
kaum Muslimin dari gangguan Kuraisy itu. Juga kita melihat mereka yang telah
bertindak membatalkan piagam pemboikotan tatkala orang-orang Kuraisy sepakat
hendak memboikot Muhammad dan sahabat-sahabatnya serta memblokade mereka selama
tiga tahun terus-menerus di celah-celah gunung di pinggiran kota Mekah, supaya
tak dapat berhubungan dan berbicara dengan orang di luar selain pada
bulan-bulan suci. Saya yakin, bahwa Abu Bakr, dalam menggerakkan mereka yang
bukan pengikut-pengikut agama Muhammad, namun turut marah melihat
tindakan-tindakan Kuraisy terhadapnya itu, punya pengaruh besar, karena
sifatnya yang lemah lembut, tutur katanya yang ramah serta pergaulannya yang
menarik. Tindakan Abu Bakr dalam melindungi kaum Muslimin ketika agama ini baru
tumbuh, itu pula yang menyebabkan Muhammad lebih dekat kepadanya. Inilah yang telah
mempertalikan kedua orang itu dengan tali persaudaraan dalam iman, sehingga
Muhammad memilihnya sebagai teman dekatnya (khalilnya). Setelah dengan
izin Allah agama ini mendapat kemenangan dengan kekuatan penduduk Yasrib
(Medinah) sesudah kedua ikrar Aqabah, Muhammad pun mengizinkan sahabat-sahabatnya
hijrah ke kota itu. Sama dengan sebelum itu, ia mengizinkan sahabat-sahabatnya
hijrah ke Abisinia. Orang-orang Kuraisy tidak tahu, Muhammad ikut hijrah atau
tetap tinggal di Mekah seperti tatkala kaum Muslimin dulu hijrah ke Abisinia. Tahukah
Abu Bakr maksud Muhammad, yang oleh Kuraisy tidak diketahui? Segala yang
disebutkan mengenai ini hanyalah, bahwa Abu Bakr meminta izin kepada Muhammad akan
pergi hijrah, dan dijawab: "Jangan tergesa-gesa, kalau-kalau Allah nanti
memberikan seorang teman kepadamu." Dan tidak lebih dari itu.
Bersiap-siap, kemudian hijrah
Di sini dimulai
lagi sebuah lembaran baru, lembaran iman yang begitu kuat kepada Allah dan
kepada Rasulullah. Abu Bakr sudah mengetahui benar, bahwa sejak kaum Muslimin
hijrah ke Yasrib, pihak Kuraisy memaksa mereka yang dapat dikembalikan ke Mekah
harus dikembalikan, dipaksa meninggalkan agama itu. Kemudian mereka disiksa,
dianiaya. Juga ia mengetahui, bahwa orang-orang musyrik itu berkumpul di Darun-
Nadwah, berkomplot hendak membunuh Muhammad. Kalau ia menemani Muhammad dalam
hijrahnya itu lalu Kuraisy bertindak membunuh Muhammad, tidak bisa tidak Abu
Bakr juga pasti dibunuhnya. Sungguhpun begitu, ketika ia oleh Muhammad diminta
menunda, ia pun tidak ragu. Bahkan ia merasa sangat gembira, dan yakin benar ia
bahwa kalau ia hijrah bersama Rasulullah, Allah akan memberikan pahala dan ini
suatu kebanggaan yang tiada taranya. Kalau sampai ia mati terbunuh bersama dia,
itu adalah mati syahid yang akan mendapat surga. Sejak itu Abu Bakr sudah
menyiapkan dua ekor unta sambil menunggu perkembangan lebih lanjut bersama
kawannya itu. Sementara sore itu ia di rumah tiba-tiba datang Muhammad seperti biasa
tiap sore. Ia memberitahukan bahwa Allah telah mengizinkan ia hijrah ke Yasrib.
Abu Bakr menyampaikan keinginannya kepada Rasulullah sekiranya dapat
menemaninya dalam hijrahnya itu; dan permintaannya itu pun dikabulkan. Khawatir
Muhammad akan melarikan diri sesudah kembali ke
rumahnya,
pemuda-pemuda Kuraisy segera mengepungnya. Muhammad membisikkan kepada Ali bin
Abi Talib supaya ia mengenakan mantel Hadramautnya yang hijau dan berbaring di
tempat tidurnya. Hal itu dilakukan oleh Ali. Lewat tengah malam, dengan tidak
setahu pemudapemuda Kuraisy ia keluar pergi ke rumah Abu Bakr. Ternyata Abu Bakr
memang sedang jaga menunggunya. Kedua orang itu kemudian keluar dari celah
pintu belakang dan bertolak ke arah selatan menuju Gua Saur. Di dalam gua
itulah mereka bersembunyi. Pemuda-pemuda Kuraisy itu segera bergegas ke setiap
lembah dan gunung mencari Muhammad untuk dibunuh. Sampai di Gua Saur salah
seorang dari mereka naik ke atas gua itu kalau-kalau dapat menemukan jejaknya.
Saat itu Abu Bakr sudah mandi
keringat ketika
terdengar suara mereka memanggil-manggil. Ia menahan nafas, tidak bergerak dan
hanya menyerahkan nasib kepada Allah. Tetapi Muhammad masih tetap berzikir dan
berdoa kepada Allah. Abu Bakr makin merapatkan diri ke dekat di telinganya:
kita." kawannya itu, dan Muhammad berbisik "Jangan bersedih hati.
Tuhan bersama Pemuda-pemuda Kuraisy itu melihat ke sekeliling gua dan yang
dilihatnya hanya laba-laba yang sedang menganyam sarangnya di mulut gua itu. la
kembali ke tempat teman-temannya dan mereka bertanya kenapa ia tidak masuk.
"Ada laba-laba di tempat itu, yang memang sudah ada sejak sebelum Muhammad
lahir." Dengan perasaan dongkol pemuda-pemuda itu pergi meninggalkan
tempat tersebut. Setelah mereka menjauh Muhammad berseru: "Alhamdulillah,
Allahu Akbar!" Apa yang disaksikan Abu Bakr itu sungguh makin menambah
kekuatan imannya.
Apa penyebab ketakutan Abu
Bakr ketlka dalam gua?
Adakah rasa
takut pada Abu Bakr itu sampai ia bermandi keringat dan merapatkan diri kepada
Rasulullah karena ia sangat mendambakan kehidupan dunia, takut nasibnya ditimpa
bencana? Atau karena ia tidak memikirkan dirinya lagi tapi yang dipikirkannya
hanya Rasulullah dan jika mungkin ia akan mengorbankan diri demi Rasulullah? Bersumber
dari Hasan bin Abil-Hasan al-Basri, Ibn Hisyam menuturkan: "Ketika malam
itu Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam dan Abu Bakr memasuki gua,
Abu Bakr radiallahu 'anhu masuk lebih dulu sebelum Rasulullah Sallallahu
'alaihi wasallam sambil meraba-raba gua itu untuk mengetahui kalau-kalau di
tempat itu ada binatang buas atau ular. Ia mau melindungi Rasulullah Sallallahu
'alaihi wasallam dengan dirinya." Begitu juga sikapnya ketika dalam keadaan
begitu genting demikian terdengar suara pemuda-pemuda Kuraisy, ia berbisik di
telinga Nabi: "Kalau saja mereka ada yang menjenguk ke bawah, pasti mereka
melihat kita." Pikirannya bukan apa yang akan menimpa dirinya, tetapi yang
dipikirkannya Rasulullah dan perkembangan agama, yang untuk itu ia berdakwah
atas perintah Allah, kalau sampai pemuda-pemuda itu berhasil membunuhnya.
Bahkan barangkali pada saat itu tiada lain yang dipikirkannya, seperti seorang
ibu yang khawatir akan keselamatan anaknya. Ia gemetar ketakutan, ia gelisah.
Tak lagi ia dapat berpikir. Bila ada bahaya mengancam, ia akan terjun
melemparkan diri ke dalam bahaya itu, sebab ia ingin melindungi atau mati demi
anaknya itu. Ataukah Abu Bakr memang lebih gelisah dari ibu itu, lebih
menganggap enteng segala bahaya yang datang, karena imannya kepada Allah dan
kepada Rasulullah memang sudah lebih kuat dari cintanya kepada kehidupan dunia,
dari naluri seorang ibu dan dari segala yang dapat dirasakan oleh perasaan kita
dan apa yang terlintas dalam pikiran kita?! Coba kita bayangkan, betapa iman
itu menjelma di depannya, dalam diri Rasulullah, dan dengan itu segala makna
yang kudus menjelma pula dalam bentuk kekudusan dan kerohaniannya yang agung
dan cemerlang! Saat ini saya membayangkan Abu Bakr sedang duduk dan Rasulullah di
sampingnya. Juga saya membayangkan bahaya yang sedang mengancam kedua orang
itu. Imajinasi saya tak dapat membantu mengungkapkan segala yang terkandung
dalam lukisan hidup yang luar biasa ini, tak ada bandingannya dalam bentuk yang
bagaimanapun.
Apa artinya pengorbanan
raja-raja dan para pemimpin dibandingkan
dengan
pengorbanan Rasulullah Sejarah menceritakan kepada kita kisah orang-orang
yang telah mengorbankan
diri demi
seorang pemimpin atau raja. Dan pada zaman kita ini pun banyak pemimpin yang
dikultuskan orang. Mereka lebih dicintai daripada diri mereka sendiri. Tetapi
keadaan Abu Bakr dalam gua jauh berbeda. Para pakar psikologi perlu sekali
membuat analisis yang cermat tentang dia, dan yang benar-benar dapat melukiskan
keadaannya itu. Apa artinya keyakinan orang kepada seorang pemimpin dan raja
dibandingkan dengan keyakinan Abu Bakr kepada Rasulullah yang telah menjadi
pilihan Allah dan mewahyukannya dengan agama yang benar!? Dan apa pula artinya
pengorbanan orang untuk pemimpin-pemimpin dan raja-raja itu dibandingkan dengan
apa yang berkecamuk dalam pikiran Abu Bakr saat itu, yang begitu khawatir
terjadi bahaya menimpa keselamatan Rasulullah. Lebih-lebih lagi jika tak sampai
dapat menolak bahaya itu. Inilah keagungan yang sungguh cemerlang, yang rasanya
sudah tak mungkin dapat dilukiskan lagi. Itulah sebabnya penulis- penulis
biografi tak ada yang menyinggung soal ini. Setelah putus asa mereka mencari
dua orang itu, keduanya keluar dari tempat persembunyian dan meneruskan
perjalanan. Dalam perjalanan itu pun bahaya yang mereka hadapi tidak kurang
pula dari bahaya yang mengancam mereka selama di dalam gua. Abu Bakr masih
dapat membawa sisa laba perdagangannya sebanyak lima ribu dirham. Setiba di
Medinah dan orang menyambut Rasulullah begitu meriah, Abu Bakr memulai hidupnya
di kota itu seperti halnya dengan kaum Muhajirin yang lain, meskipun
kedudukannya tetap di samping Rasulullah, kedudukan sebagai khalil, sebagai
as- Siddlq dan sebagai menteri penasehat.
Abu Bakr di Medinah
Abu Bakr tinggal
di Sunh di pinggiran kota Medinah, pada keluarga Kharijah bin Zaid dari Banu
al-Haris dari suku Khazraj. Ketika Nabi mempersaudarakan orang-orang Muhajirin
dan Ansar Abu Bakr dipersaudarakan dengan Kharijah. Abu Bakr kemudian disusul
oleh keluarganya dan anaknya yang tinggal di Mekah. la mengurus keperluan
hidup mereka.
Keluarganya mengerjakan pertanian — seperti juga keluarga Umar bin Khattab dan
Ali bin Abi Talib — di tanah orang-orang Ansar bersama-sama dengan pemiliknya.
Bolehjadi Kharijah bin Zaid ini salah seorang pemiliknya. Hubungan orang ini
lambat laun makin dekat dengan Abu Bakr. Abu Bakr kawin dengan putrinya —
Habibah — dan dari perkawinan ini kemudian lahir Umm Kulsum, yang ditinggalkan wafat
oleh Abu Bakr ketika ia sedang dalam kandungan Habibah. Keluarga Abu Bakr tidak
tinggal bersamanya di rumah Kharijah bin Zaid di Sunh, tetapi Umm Ruman dan
putrinya Aisyah serta keluarga Abu Bakr yang lain tinggal di Medinah, di sebuah
rumah berdekatan dengan rumah Abu Ayyub al-Ansari, tempat Nabi tinggal. Ia
mundarmandir ke tempat mereka, tetapi lebih banyak di tinggal di Sunh, tempat istrinya
yang baru.
Terserang demam
Tak lama tinggal
di Medinah ia mendapat serangan demam, yang juga banyak menyerang penduduk Mekah
yang baru hijrah ke Medinah, disebabkan oleh perbedaan iklim udara tempat
kelahiran mereka dengan udara tempat tinggal yang sekarang. Udara Mekah adalah
udara Sahara, kering, sedang udara Medinah lembab, karena cukup air dan
pepohonan. Menurut sumber dari Aisyah disebutkan bahwa demam yang menimpa ayahnya
cukup berat, sehingga ia mengigau. Setelah puas dengan tempat tinggal yang baru
ini, dan setelah bekerja keras sehingga keluarganya sudah tidak memerlukan lagi
bantuan Ansar, seluruh perhatiannya sekarang dicurahkan untuk membantu
Rasulullah dalam memperkuat Muslimin, tak peduli betapa beratnya pekerjaan itu
dan besarnya pengorbanan.
Kemarahan Abu Bakr
Orang yang
begitu damai dan tenang ini tak pernah mengenal marah, kecuali ketika melihat
musuh-musuh dakwah yang terdiri dari orang-orang Yahudi dan kaum Munafik itu
mulai berolok-olok dan main tipu muslihat. Rasulullah dan kaum Muslimin dengan
pihak Yahudi sudah membuat perjanjian, masing-masing menjamin kebebasan
menjalankan dakwah agamanya serta bebas melaksanakan upacara-upacara
keagamaannya masing-masing. Orang-orang Yahudi itu pada mulanya mengira bahwa mereka
mampu mengambil keuntungan dari kaum Muslimin yang datang dari Mekah dalam menghadapi
Aus dan Khazraj. Tetapi setelah ternyata tak berhasil mereka memecah belah kaum
Muhajirin dengan kaum Ansar, mulailah mereka menjalankan tipu muslihat dan memperolok
agama. Beberapa orang Yahudi berkumpul mengerumuni salah seorang dari mereka
yang bernama Finhas. Dia adalah pendeta dan pemuka agama mereka. Ketika Abu Bakr
datang dan melihat mereka, ia berkata kepada Finhas ini: "Finhas, takutlah
engkau kepada Allah dan terimalah Islam. Engkau tahu bukan bahwa Muhammad
Rasulullah. Dia
telah datang
kepada kita dengan sebenarnya sebagai utusan Allah. Kalian akan melihat itu
dalam Taurat dan Injil."
Dengan berolok
dan senyum mengejek di bibir Finhas berkata: "Abu Bakr, bukan kita yang
memerlukan Tuhan, tapi Dia yang memerlukan kita. Bukan kita yang meminta-minta
kepada-Nya, tetapi Dia yang meminta-minta kepada kita. Kita tidak
memerlukan-Nya, tapi Dialah yang memerlukan kita. Kalau Dia kaya, tentu tidak
akan minta dipinjami harta kita, seperti yang didakwakan oleh pemimpinmu itu.
Ia melarang kalian menjalankan riba, tapi kita akan diberi jasa. Kalau Ia kaya,
tentu Ia tidak akan menjalankan ini." Yang dimaksud oleh kata-kata Finhas
itu firman Allah:
"Siapakah
yang hendak meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, yang akan Ia
lipatgandakan dengan sebanyak-banyaknya."
Setelah Abu Bakr
melihat orang ini memperolok firman Allah serta wahyu-Nya kepada Nabi, ia tak
dapat menahan diri, dipukulnya muka Finhas itu keras-keras seraya katanya: "Demi
Allah, kalau tidak karena adanya perjanjian antara kami dengan kamu sekalian,
kupukul kepalamu. Engkaulah musuh Tuhan!" Bukanlah aneh juga Abu Bakr menjadi
begitu keras, orang yang begitu tenang, damai dan rendah hati itu. Ia menjadi
sedemikian rupa padahal usianya sudah melampaui lima puluh tahun! Kemarahannya
kepada Finhas ini mengingatkan kita kepada kemarahan
yang sama lebih
sepuluh tahun yang silam, yaitu ketika Persia mengalahkan Rumawi, Persia Majusi
dan Rumawi Ahli Kitab. Kaum Muslimin ketika itu merasa sedih karena diejek kaum
musyrik yang menduga bahwa pihak Rumawi kalah karena juga Ahli Kitab seperti mereka.
Ada seorang musyrik menyinggung soal ini di depan Abu Bakr dengan begitu
bersemangat bicaranya, sehingga Abu Bakr naik pitam. Diajaknya orang itu
bertaruh dengan sepuluh ekor unta bahwa kelak Rumawi yang akan mengalahkan
pihak Majusi sebelum habis tahun itu. Hal ini menunjukkan bahwa Abu Bakr akan
sangat marah jika sudah mengenai akidah dan keimanannya yang begitu tulus
kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah sikapnya tatkala ia berusia empat puluh, dan
tetap itu juga setelah sekarang usianya lima puluh tahun sampai kemudian ketika
ia sudah menjadi Khalifah dan memegang pimpinan kaum
Muslimin. Kekuasaan
iman pada Abu Bakr Keimanan yang tulus inilah yang menguasai Abu Bakr,
menguasai
segala
perasaannya, sepanjang hidupnya, sejak ia menjadi pengikut Rasulullah. Orang
akan dapat menganalisis segala peristiwa kejiwaannya dan perbuatannya serta
segala tingkah lakunya itu kalau orang mau melihatnya dari segi moral.
Sebaliknya, semua yang di luar itu, tak ada pengaruhnya dan segala keinginan
yang biasa mempengaruhi hidup manusia, dan banyak juga kaum Muslimin ketika itu
yang terpengaruh, buat dia tak ada artinya. Yang berkuasa terhadap dirinya —
hati nuraninya, pikiran dan jiwanya — semua hanyalah demi Allah dan Rasul-Nya. Semua
itu adalah iman, iman yang sudah mencapai tingkat tertinggi, tingkat siddiqin,
yang sudah begitu baik tempatnya.
Ketika Rasulullah di Badr
Kemudian kita
lihat apa yang terjadi dalam perang Badr. Pihak Mekah sudah menyusun barisan,
Nabi pun sudah pula mengatur kaum Muslimin siap menghadapi perang. Seperti
diusulkan oleh Sa'd bin Mu'az, ketika itu pihak Muslimin membangun sebuah
dangau di barisan belakang, sehingga jika nanti kemenangan berada di pihak
mereka,
Rasulullah dapat
kembali ke Medinah. Abu Bakr dan Nabi tinggal dalam dangau itu sambil mengawasi
jalannya pertempuran. Dan bila pertempuran dimulai dan Muhammad melihat jumlah
pihak musuh yang begitu besar sedang anak buahnya hanya sedikit, ia berpaling
ke arah kiblat, menghadapkan diri dengan seluruh hati sanubarinya kepada Allah.
Ia mengimbau Tuhan akan segala apa yang telah dijanjikan-Nya. Ia membisikkan
permohonan dalam hatinya agar Allah memberikan pertolongan, sambil katanya: "Allahumma
ya Allah! Inilah Kuraisy sekarang datang dengan segala kecongkakannya, berusaha
hendak mendustakan Rasul-Mu. Ya Allah, pertolongan-Mu juga yang Kaujanjikan kepadaku.
Ya Allah, jika pasukan ini sekarang binasa tidak lagi ada ibadah
kepada-Mu."
Sementara ia
masih hanyut dalam doa kepada Tuhan sambil merentangkan tangan menghadap kiblat
itu, mantelnya terjatuh. Dalam keadaan serupa itu ia terangguk sejenak terbawa
kantuk, dan ketika itu juga tampak olehnya pertolongan Allah itu datang. Ia
sadar kembali, kemudian ia bangun dengan penuh rasa gembira. Ia keluar menemui
sahabat-sahabatnya
sambil berkata kepada mereka: "Demi Dia yang memegang hidup Muhammad.
Setiap seorang yang sekarang bertempur dengan tabah, bertahan mati-matian,
terus maju dan pantang mundur, lalu ia tewas, maka Allah akan menempatkannya di
surga."
Abu Bakr di Badr
Demikianlah
keadaan Rasulullah. Tidak yakin akan kemenangan anak buahnya yang hanya sedikit
itu dalam menghadapi lawan yang jauh lebih banyak, dengan diam-diam jiwanya
mengadakan hubungan dengan Allah memohon pertolongan. Kemudian terbuka di
hadapannya tabir hari yang amat menentukan itu dalam sejarah Islam.
Abu Bakr, ia
tetap di samping Rasulullah. Dengan penuh iman ia percaya bahwa Allah pasti
akan menolong agama-Nya, dan dengan hati penuh kepercayaan akan datangnya
pertolongan itu, dengan penuh kekaguman akan Rasulullah dalam imbauannya kepada
Allah, dengan perasaan terharu kepada Rasulullah karena kekhawatiran yang
begitu besar menghadapi nasib yang akan terjadi hari itu, ketika itulah Rasulullah
berdoa, mengimbau, bermohon dan meminta kepada Allah akan memenuhi janji-Nya.
Itulah yang diulangnya, diulang sekali lagi, hingga mantelnya terjatuh, Itulah
yang membuatnya mengimbau sambil ia mengembalikan mantel itu ke bahu Nabi:
"Rasulullah, dengan doamu Allah akan memenuhi apa yang telah
dijanjikan-Nya kepadamu."
Kebenaran dan
kasih sayang menyatu dalam dirinya
Banyak orang
yang sudah biasa dengan suatu kepercayaan sudah tak ragu lagi, sampai-sampai ia
jadi fanatik dan kaku dengan kepercayaannya itu. Bahkan ada yang sudah tidak
tahan lagi melihat muka orang yang berbeda kepercayaan. Mereka menganggap bahwa
iman yang sebenarnya harus fanatik, keras, dan tegar. Sebaliknya Abu Bakr, dengan
keimanannya yang begitu agung dan begitu teguh, tak pernah ia goyah dan ragu,
jauh dari sikap kasar. Sikapnya lebih lunak, penuh pemaaf, penuh kasih bila
iman itu sudah mendapat kemenangan. Dengan begitu, dalam hatinya terpadu dua
prinsip kemanusiaan yang paling mendasari: mencintai kebenaran, dan penuh kasih
sayang. Demi kebenaran itu segalanya bukan apa-apa baginya, terutama masalah
hidup duniawi.» Apabila kebenaran itu sudah dijunjung tinggi, maka lahir pula
rasa kasih sayang, dan ia akan berpegang teguh pada prinsip ini seperti pada
yang pertama.
Terasa lemah ia menghadapi semua itu sehingga matanya basah oleh air mata yang
deras mengalir.
Sikapnya
terhadap tawanan Badr Setelah mendapat kemenangan di Badr, kaum Muslimin
kembali ke Medinah dengan membawa tawanan perang Kuraisy. Mereka ini
masih ingin hidup, ingin kembali ke Mekah, meskipun dengan tebusan yang
mahal. Tetapi mereka masih khawatir Muhammad akan bersikap keras kepada
mereka mengingat gangguan mereka terhadap sahabat-sahabatnya selama beberapa
tahun dahulu yang berada di tengah-tengah mereka. Mereka berkata satu
sama lain: "Sebaiknya kita mengutus orang kepada Abu Bakr. Ia
paling menyukai silaturahmi dengan Kuraisy, paling punya rasa belas kasihan,
dan kita tidak melihat Muhammad menyukai yang lain lebih dari dia."
Mereka lalu mengirim delegasi kepada Abu Bakr. "Abu Bakr,"
kata mereka kemudian, "di antara kita ada yang masih pernah
orangtua, saudara, paman atau mamak kita serta saudara sepupu
kita. Orang yang
jauh dari kita pun masih kerabat kita. Bicarakanlah dengan sahabatmu itu supaya
ia bermurah hati kepada kami atau menerima tebusan kami." Dalam hal ini
Abu Bakr berjanji akan berusaha. Tetapi mereka masih khawatir Umar bin Khattab
akan mempersulit urusan mereka ini. Lalu mereka juga bicara dengan Umar seperti
pcmbicaraannya dengan Abu Bakr. Tetapi Umar menatap muka mereka dengan mata
penuh curiga tanpa memberi jawaban. Kemudian Abu Bakr sendiri yang bertindak
sebagai perantara kepada Rasulullah mewakili orang-orang Kuraisy musyrik itu.
la mcngharapkan belas kasihannya dan sikap yang lebih lunak terhadap mereka. la
menolak alasan-alasan Umar yang mau main keras terhadap mereka. Diingatkannya
pertalian kerabat antara mereka dengan Nabi. Apa yang dilakukannya itu
sebenarnya karena memang sudah bawaannya sebagai orang yang lembut hati, dan
kasih sayang baginya sama dengan keimanannya pada kebenaran dan keadilan.
Barangkali dengan mata hati nuraninya ia melihat peranan kasih sayang itu juga
yang akhirnya akan menang. Manusia akan menuruti kodrat yang ada dalam dirinya
dan dalam keyakinannya sclama ia melihat sifat kasih sayang itu adalah peri
kemanusiaan yang agung, jauh daii segala sifat lcmah dan hawa nafsu. Yang
menggerakkan hatinya hanyalah kekuatan dan kemampuan. Atau, kekuasaan manusia
terhadap dirinya ialah kckuasaan yang dapat meredam bengisnya kekuatan, dapat
melunakkan kejamnya kekuasaan.
Arah hidupnya sesudah Badr
Sebenarnya
Perang Badr itu merupakan permulaan hidup baru buat kaum Muslimin, juga
merupakan permulaan arah baru dalam hidup Abu Bakr. Kaum Muslimin mulai
mengatur siasat dalam menghadapi Kuraisy dan kabilah-kabilah sekitarnya yang
melawan mereka. Abu Bakr mulai bekerja dengan Nabi dalam mengatur siasat itu
berlipat
ganda ketika
masih tinggal di Mckah dulu dalam melindungi kaum Muslimin. Pihak Muslimin
semua sudah tahu, bahwa Kuraisy tidak akan tinggal diam sebelum mereka dapat
membalas dendam kejadian di Badr itu. Juga mereka mengetahui bahwa dakwah yang
baru tumbuh ini perlu sekali mendapat perlindungan dan perlu mempertahankan
diri dari segala serangan terhadap mereka itu. Jadi harus ada perhitungan, ada
pengaturan siasat. Dengan posisinya di samping Rasulullah seperti yang sudah
kita lihat, Abu Bakr tak akan dapat bekerja tanpa adanya perhitungaji dan pengaturan
serupa itu, supaya jangan timbul kekacauan di dalam kota Medinah atas hasutan
pihak Yahudi dan golongan munafik, dan supaya jangan ada serangan pihak luar ke
Medinah.
Abu Bakr dan Umar; pembantu
Rasulullah
Kemenangan
Muslimin di Badr itu juga sebenarnya telah mengangkat martabat mereka. Inilah
yang telah menimbulkan kedengkian di pihak lawan. Pada pihak Yahudi timbul rasa
sakit hati yang tadinya biasa-biasa saja. Dalam hati kabilah-kabilah di sekitar
Medinah yang tadinya merasa aman kini timbul rasa khawatir. Tidak bisa lain,
untuk mencegah apa yang mungkin timbul dari mereka itu, diperlukan suatu siasat
yang mantap, suatu perhitungan yang saksama. Musyawarah yang terus-menerus
antara Nabi dengan sahabat-sahabat telah diadakan. Abu Bakr dan Umar oleh Nabi
diambil sebagai pembantu dekat (wazir) guna mengatur siasat baru, yang
sekaligus merupakan batu penguji mengingat adanya perbedaan watak pada kedua
orang itu, meskipun mereka sama-sama jujur dan ikhlas dalam bermusyawarah. Di
samping dengan mereka ia juga bermusyawarah dengan kaum Muslimin yang lain.
Musyawarah ini memberi pengaruh besar dalam arti persatuan dan pembagian
tanggung jawab demikian, sehingga masing-masing mereka merasa turut memberikan
saham. Sebagai penangkal akibat dendam kesumat pihak Yahudi itu kaum Muslimin
sekarang mengepung Banu Qainuqa' dan mengeluarkan mereka dari Medinah. Begitu
juga akibat rasa kekhawatiran kabilah-kabilah yang berada di sekeliling
Medinah, mereka berkumpul hendak mengadakan serangan ke dalam kota. Tetapi
begitu mendengar Muhammad keluar hendak menyongsong mereka, mereka sudah lari
ketakutan.
Dalam perang Uhud
Berita-berita
demikian itu tentu sampai juga ke Mekah, dan ini tidak menutup pikiran Kuraisy
hendak membalas dendam atas kekalahan mereka di Badr itu. Dalam upaya mereka
hendak menuntut balas itu mereka akan berhadapan dengan pihak Muslimin di Uhud.
Di sinilah terjadi pertempuran hebat. Tetapi hari itu kaum Muslimin mengalami bencana
tatkala pasukan pemanah melanggar perintah Nabi. Mereka meninggalkan posnya,
pergi memperebutkan harta rampasan perang. Saat itu Khalid bin Walid mengambil
kesempatan, Kuraisy segera mengadakan serangan dan kaum Muslimin mengalami
kekacauan. Waktu itulah Nabi terkena lemparan batu yang dilakukan oleh kaum
musyrik. Lemparan itu mengenai pipi dan wajahnya, sehingga Kuraisy berteriakteriak
mengatakan Nabi sudah meninggal. Kalau tidak karena pahlawanpahlawan Islam
ketika itu segera mengelilinginya, dengan mengorbankan diri dan nyawa mereka,
tentu Allah waktu itu sudah akan menentukan nasib lain terhadap mereka. Sejak
itu Abu Bakr lebih sering lagi mendampingi Nabi, baik dalam peperangan maupun
ketika di dalam kota di Medinah. Orang masih ingat sejarah Muslimin — sampai
keadaan jadi stabil sesudah pembebasan Mekah dan masuknya Banu Saqif di Ta'if
ke dalam pangkuan Islam — penuh tantangan berupa peristiwa-peristiwa perang,
atau dalam usaha mencegah perang atau untuk mempertahankan diri dari serangan
musuh. Belum lagi peristiwa-peristiwa kecil lainnya dalam bentuk
ekspedisi-ekspedisi atau patroli. Waktu itu orang-orang Yahudi — dipimpin oleh
Huyai bin Akhtab — tak henti-hentinya menghasut kaum Muslimin. Begitu juga
Kuraisy, mereka berusaha matimatian mau melemahkan dan menghancurkan kekuatan
Islam. Terjadinya perang Banu Nadir, Khandaq dan Banu Quraizah dan diselang seling
dengan bentrokan-bentrokan lain, semua itu akibat politik Yahudi dan kedengkian
Kuraisy. Dalam semua peristiwa dan kegiatan itu Abu Bakr lebih banyak mendampingi
Nabi. Dialah yang paling kuat kepercayaannya pada ajaran Nabi.Setelah
Rasulullah merasa aman melihat ketahanan Medinah, dan tiba waktunya untuk
mengarahkan langkah ke arah yang baru — semoga Allah membukakan jalannya untuk
menyempurnakan agama-Nya maka peranan yang dipegang Abu Bakr itu telah menambah
keyakinan kaum Muslimin bahwa sesudah Rasulullah, dialah orang yang punya tempat
dalam hati mereka, orang yang sangat mereka hargai.
Sikapnya di Hudaibiyah
Enam tahun
setelah hijrah kaum Muslimin ke Medinah Muhammad mengumumkan kepada orang
banyak untuk mengerjakan ibadah haji ke Mekah. Berita perjalanan jemaah ini
sampai juga kepada Kuraisy. Mereka bersumpah tidak akan membiarkan Muhammad
memasuki Mekah secara paksa. Maka Muhammad dan para sahabat pun tinggal di
Hudaibiyah, di pinggiran kota Mekah. Ia berpegang teguh pada perdamaian dan ia menolak
setiap usaha yang akan menimbulkan bentrokan dengan Kuraisy. Diumumkannya bahwa
kedatangannya adalah akan menunaikan ibadah haji, bukan untuk berperang.
Kemudian dilakukan tukar-menukar delegasi dengan pihak Kuraisy, yang berakhir
dengan persetujuan, bahwa tahun ini ia harus pulang dan boleh kembali lagi
tahun depan. Kaum Muslimin banyak yang marah, termasuk Umar bin Khattab, karena
harus mengalah dan harus pulang. Mereka berpendapat, isi perjanjian ini
merendahkan martabat agama mereka. Tetapi Abu Bakr langsung percaya dan yakin
akan kebijaksanaan Rasulullah. Setelah kemudian turun Surah Fath (48) bahwa persetujuan
Hudaibiyah itu adalah suatu kemenangan yang nyata, dan Abu Bakr dalam hal ini,
seperti juga dalam peristiwa-peristiwa lain, ialah as-Siddiq, yang tulus
hati, yang segera percaya.
Kekuatan Muslimin dan
mengalirnya para utusan
Integritas
dakwah Islam makin hari makin kuat. Kedudukan Muslimin di Medinah juga makin
kuat. Salah satu manifestasi kekuatan mereka, mereka telah mampu mengepung
pihak Yahudi di Khaibar, Fadak dan Taima', dan mereka menyerah pada kekuasaan
Muslimin, sebagai pendahuluan untuk kemudian mereka dikeluarkan dari tanah
Arab. Di samping
itu, manifestasi lain kuatnya Muslimin waktu itu serta tanda kukuhnya dakwah
Islam ialah dengan dikirimnya surat-surat oleh Muhammad kepada raja-raja dan
para amir (penguasa) di Persia, Bizantium, Mesir, Hira, Yaman dan negeri-negeri
Arab di sekitarnya atau yang termasuk amirat-nya.Adapun gejala yang
paling menonjol tentang sempurna dan kuatnya dakwah itu ialah bebasnya Mekah
dan pengepungan Ta'if. Dengan itu cahaya agama yang baru ini sekarang sudah
bersinar ke seluruh Semenanjung, sampai ke perbatasan kedua imperium besar yang
memegang tampuk pimpinan dunia ketika itu: Rumawi dan Persia. Dengan demikian
Rasulullah dan kaum Muslimin sudah merasa lega atas pertolongan Allah itu,
meskipun tetap harus waspada terhadap kemungkinan adanya serangan dari pihak-pihak
yang ingin memadamkan cahaya agama yang baru ini.
Bersinarnya cahaya Islam
Setelah
orang-orang Arab melihat adanya kekuatan ini delegasi mereka datang
berturut-turut dari segenap Semenanjung, menyatakan keimanannya pada agama baru
ini. Bukankah pembawa dakwah ini pada mulanya hanya seorang diri?! Sekarang ia
sudah dapat mengalahkan Yahudi, Nasrani, Majusi dan kaum musyrik. Bukankah
hanya kebenaran yang akan mendapat kemenangan? Adakah tanda yang lebih jelas
bahwa memang dakwahnya itulah yang benar, yang mutlak mendapat kemenangan atas
mereka semua itu? Ia tidak bermaksud menguasai mereka. Yang dimintanya hanyalah
beriman kepada Allah, dan berbuat segala yang baik. Inilah logika yang amat
manusiawi, diakui oleh umat manusia pada setiap zaman dan mereka beriman di
mana pun mereka berada. Ini juga logika yang diakui oleh akal pikiran manusia.
Kekuatan argumentasinya yang tak dapat dikalahkan itu sudah dibuktikan oleh
sejarah.
Abu Bakr memimpin jamaah haji
Allah telah
mengizinkan kaum Muslimin melengkapi kewajiban agamanya, dan ibadah haji itulah
kelengkapannya. Oleh karena itu dengan adanya delegasi yang berturut-turut itu
tidak memungkinkan Rasulullah meninggalkan Medinah pergi ke Baitullah. Maka
dimintanya Abu Bakr memimpin jamaah pergi menunaikan ibadah haji. la berangkat bersama
tiga ratus orang. Mereka melaksanakan ibadah itu, melaksanakan tawaf dan sai.
Dalam musim haji inilah Ali bin Abi Talib mengumumkan sumber lain menyebutkan
Abu Bakr yang mengumumkan bahwa sesudah tahun itu tak boleh lagi kaum musyrik
ikut berhaji. Kemudian orang menunda empat bulan lagi supaya setiap golongan dapat
kembali ke tempat tinggal dan negeri masing-masing. Sejak hari itu, sampai
sekarang, dan sampai waktu yang dikehendaki Allah, tak akan ada lagi orang musyrik
pergi berhaji ke Baitullah, dan tidak akan ada.
Haji Perpisahan dan
keberangkatan Usamah
Tahun kesepuluh
Hijri Rasulullah melaksanakan ibadah haji perpisahan. Abu Bakr juga ikut serta.
Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam berangkat bersama semua istrinya,
yang juga diikuti oleh seratus ribu orang Arab atau lebih. Sepulang dari
melaksanakan ibadah haji, Nabi tidak lama lagi tinggal di Medinah. Ketika itu
dikeluarkannya perintah supaya satu pasukan besar disiapkan berangkat ke Syam,
terdiri dari kaum Muhajirin yang mula-mula, termasuk Abu Bakr dan Umar. Pasukan
itu sudah bermarkas di Jurf (tidak jauh dari Medinah) tatkala tersiar berita,
bahwa Rasulullah jatuh sakit. Perjalanan itu tidak diteruskan dan karena sakit
Rasulullah bertambah keras, orang makin cemas.
Abu Bakr memimpin salat
Karena sakit
bertambah berat juga maka Nabi meminta Abu Bakr memimpin sembahyang. Disebutkan
bahwa Aisyah pernah mengatakan: "Setelah sakit Rasulullah Sallallahu
'alaihi wasallam semakin berat Bilal datang mengajak bersembayang: 'Suruh
Abu Bakr memimpin salat!' Kataku: Rasulullah, Abu Bakr cepat terharu dan mudah
menangis. Kalau dia menggantikanmu suaranya tak akan terdengar. Bagaimana kalau
perintahkan kepada Umar saja! Katanya: 'Suruh Abu Bakr memimpin sembahyang!'
Lalu kataku kepada Hafsah: Beritahukanlah kepadanya bahwa Abu Bakr orang yang
cepat terharu dan kalau dia menggantikanmu suaranya tak akan terdengar.
Bagaimana kalau perintahkan kepada Umar saja! Usul itu disampaikan oleh Hafsah.
Tetapi kata Nabi lagi: Kamu seperti perempuan-perempuan yang di sekeliling Yusuf.
Suruhlah Abu Bakr memimpin sembahyang. Kemudian kata Hafsah kepada Aisyah:
Usahaku tidak lebih baik dari yang kaulakukan." Sekarang Abu Bakr
bertindak memimpin salat sesuai dengan perintah Nabi. Suatu hari, karena Abu
Bakr tidak ada di tempat ketika oleh Bilal dipanggil hendak bersembahyang, maka
Umar yang diminta mengimami salat. Suara Umar cukup lantang, sehingga ketika
mengucapkan takbir di mesjid terdengar oleh Muhammad dari rumah Aisyah, maka
katanya: "Mana Abu Bakr? Allah dan kaum Muslimin tidak menghendaki yang
demikian." Dengan itu orang menduga, bahwa Nabi menghendaki Abu Bakr sebagai
penggantinya kelak, karena memimpin orang-orang salat merupakan tanda pertama
untuk menggantikan kedudukan Rasulullah. Sementara masih dalam sakitnya itu suatu
hari Muhammad keluar ke tengah-tengah kaum Muslimin di mesjid, dan antara lain
ia berkata: "Seorang hamba oleh Allah disuruh memilih tinggal di dunia ini
atau di sisi-Nya, maka ia memilih berada di sisi Allah." Kemudian diam. Abu
Bakr segera mengerti, bahwa yang dimaksud oleh Nabi dirinya. Ia tak dapat
menahan air mata dan ia menangis, seraya katanya: "Kami akan menebus Tuan
dengan jiwa kami dan anak-anak kami." Setelah itu Muhammad minta semua
pintu mesjid ditutup kecuali pintu yang ke tempat Abu Bakr. Kemudian katanya
sambil menunjuk kepada Abu Bakr: "Aku belum tahu ada orang yang lebih
bermurah hati dalam bersahabat dengan aku seperti dia. Kalau ada dari hamba Allah
yang akan kuambil sebagai khalil (teman) maka Abu Bakr-lah khalil-ku.
Tetapi persahabatan dan persaudaraan ini dalam iman, sampai tiba saatnya
Allah mempertemukan kita di sisi-Nya."Pada hari ketika ajal Nabi tiba ia
keluar waktu subuh ke masjid sambil bertopang kepada Ali bin Abi Talib dan Fadl
bin al-Abbas. Abu Bakr waktu itu sedang mengimami orang-orang bersembahyang.
Ketika kaum Muslimin melihat kehadiran Nabi, mereka bergembira luar biasa. Tetapi
Nabi memberi isyarat supaya mereka meneruskan salat. Abu Bakr merasa bahwa
mereka berlaku demikian karena ada Rasulullah. Abu Bakr surut dari tempatnya. Tetapi
Nabi memberi isyarat agar diteruskan. Lalu Rasulullah duduk di sebelah Abu
Bakr, salat sambil duduk. Lepas salat Nabi kembali ke rumah Aisyah. Tetapi tak
lama kemudian demamnya kambuh lagi. Ia minta dibawakan sebuah bejana berisi air
dingin. Diletakkannya tangannya ke dalam bejana itu dan dengan begini ia
mengusap air ke wajahnya. Tak lama kemudian ia telah kembali kepada Zat Maha
Tinggi, kembali ke sisi Allah. Rasulullah telah meninggalkan dunia kita setelah
Allah menyempurnakan agama ini bagi umat manusia, dan melengkapi kenikmatan hidup
bagi mereka. Apa pulakah yang dilakukan orang-orang Arab itu kemudian? Ia tidak
meninggalkan seorang pengganti, juga tidak membuat
suatu sistem
hukum negara yang terinci. Hendaklah mereka berusaha (berijtihad) sendiri.
Setiap orang yang berijtihad akan mendapat bagian.
Muslimin terkejut karena
kematian Rasulullah
Rasulullah telah
berpulang ke sisi Tuhannya pada 12 Rabiulawal tahun 11 Hijri (3 Juni 632 M.).
Subuh hari itu Rasulullah Sallallahn 'alaihi wasallam merasa
sudah sembuh dari sakitnya. la keluar dari rumah Aisyah ke mesjid dan ia sempat
berbicara dengan kaum Muslimin. Dipanggilnya Usamah bin Zaid dan
diperintahkannya berangkat
untuk menghadapi
Rumawi. Setelah tersiar berita bahwa Rasulullah telah wafat tak lama setelah duduk-duduk
dan berbicara dengan mereka, mereka sangat terkejut sekali. Umar bin Khattab
yang berada di tengah-tengah mereka berdiri dan berpidato, membantah berita
itu. Ia mengatakan bahwa Rasulullah tidak meninggal, melainkan sedang pergi
menghadap Tuhan seperti halnya dengan Musa bin Imran, yang menghilang dari masyarakatnya
selama empat puluh malam, kemudian kembali lagi setelah tadinya dikatakan meninggal.
Umar terus mengancam orang-orang yang mengatakan bahwa Rasulullah telah wafat.
Dikatakannya bahwa Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam akan
kembali kepada mereka dan akan memotong tangan dan kaki mereka.
Peranan Abu Bakr ketika Nabi
wafat
Abu Bakr sudah
pulang ke rumahnya di Sunh di pinggiran kota Medinah setelah Nabi 'alaihis-salam
kembali dari mesjid ke rumah Aisyah. Sesudah tersiar berita kematian Nabi
orang menyusul Abu Bakr Dalam terjemahan ini dipakai kata-kata
"pelantikan", "sumpah atau ikrar setia" atau "baiat"
dalam pengertian yang sama, yakni: bai'ah, atau mubaya'ah yang di
dalam Qur'an berarti 'saling berjanji' (Mu'jam Alfazil Qur'anil Karim). Dalam
kamus-kamus bahasa: 'pengangkatan, pelantikan, sumpah atau ikrar setia'.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusLuar biasa
BalasHapus